HS.: Pendapat Pak Go terhadap bahasa latah “Cina menguasai ekonomi pribumi”?
Go: Ya. Baik koran koran di dalam maupun di luar negeri sering memberitakan tentang para pemimpin, yang selalu mengucapkan kata-kata klise atau stereotip. Stereotip itu prasangka rasial yang bertentangan dengan kenyataan sosial. Misalnya, bahwa orang Tionghwa yang jumlahnya 3-4% menguasai 70% kehidupan perekonomian. Ini salah satu alasan pembangkit kebencian terhadap Tionghwa. Maka terjadi di Jakarta perampokan, pembunuhan, perkosaan dll. Juga di Solo dan lain- lain tempat. Sekarang harus ditanya, mereka yang mengatakan demikian itu berdasar angka dari mana. Apa Biro Pusat Statistik? BCA Liem Sioe Liong, misalnya. Berapa prosen dia punya? Liem Sioe Liong itu memang nama Tionghwa. Tapi di BPS barangkali ia pakai nama Indonesia, Salim Sudono? Jadi dikategorikan di mana dia? Indonesia atau Tionghwa? Kemudian, pikirkan kalau itu betul. Penanaman modal asing apa cuma 1-2 milyar? Kan ratusan! Sampai sekarang hancur, ini kan karena itu? Perusahaan-perusahaan yang diusahakan berdasarkan hutang dalam bentuk dolar. Siapa yang menguasai paling banyak? Modal Jepang tidak sedikit. Sesudah Jepang, nomor dua modal Jerman. Belanda tidak begitu banyak. Tapi itu semua kan bermilyar-milyar. Kemudian minyak, mas, siapa yang punya? Pertamina plus ini dan itu, mana yang dimiliki orang Tionghwa dari sumber sumber ini? Peranan orang Tionghwa yang paling penting kan dalam distribusi. Dulu juga dalam koleksi, pengumpulan. Tapi sekarang sudah banyak berubah. Cengkih misalnya. Pengumpulan dan distribusi cengkih dimonopoli oleh Tommy. Baru akhir-akhir ini dihapuskan. Mana buktinya? Bahwa ini disebabkan oleh 3% penduduk Indonesia menguasai 70% perekonomian. Ini yang dinamakan stereotip. Tak lain yaitu prasangka yang didasarkan atas rasisme. Tapi kalau dihadapkan dengan kenyataan selalu tidak cocok. Kalau dibilang, semua orang Cina pedagang. Lupa bahwa tidak sedikit yang kaum buruh, petani di Kalimantan, di Rengasdengklok, kuli di tambang timah Bangka. Jadi itu tidak betul. Itu rasisme.
HS.: Terakhir sedikit tentang biografi Pak Go?
Go: Saya lahir di Malang 78 tahun yang lalu. Tahun ’45 ikut mendirikan dan berjuang untuk Angkatan Muda Tionghwa di Malang. Saya bagian penerangan organisasi ini, dan ketuanya adik Siauw Giok Tjhan, Siau Giok Bie, tapi lebih dikenal dengan nama Anton. Ini kegiatan politik saya dalam jaman Bung Tomo. Ikut membantu perjuangan 10 Nopember 45 di Surabaya. Saya di sana dengan dua kakak beradik Siauw. Melalui radio, tiap Rabu jam 17:45, selama lima belas menit, sebelum Bung Tomo beragitasi atau berdemagogi, saya juga demikian. Beromong kosong: “dua puluh ribu pemuda Tionghwa di belakang saya”! Kemudian saya menjadi anggota Partai Sosialis. Itu masih Amir dan Sjahrir. Tan Ling Djie itu baru kemudian. Ketika itu ada dua Partai Sosialis: Partai Rakyat Sosialis (PARAS), dan Partai Sosialis Indonesia. Suatu saat saya diminta Partai pindah ke Jakarta untuk bekerja di Kementerian Luar Negeri. Waktu itu Menlu nya Sjahrir. Tapi pecah agresi ke-1, Juli ’47. Lalu ditugasi pemerintah RI ke Eropa Barat dengan mandat dari Kementerian pemuda. Waktu itu Menteri nya Supeno, yang gugur dalam agresi itu, dan di Jakarta diwakili oleh Sekretaris Hubungan LN, Mas Bing (Moh. Said Taman Siswa). Dengan mandat itu saya dikirim ke Negeri Belanda, untuk propaganda revolusi Indonesia, khususnya mencegah pemuda Belanda agar menolak dikirim memerangi Indonesia. Itu akhir ’47. Di Belanda ditampung Dubes RI di Belanda, Sunito Joyowirono. Dia ketua Perhimpunan Indonesia (PI), sekaligus Dubes RI – tapi tidak diakui oleh pemerintah Belanda. Saya menjadi sekretaris Sunito, dan “voorman” (ketua) cabang PI terbesar di Belanda: Amsterdam. Staf kantor perwakilan RI, Raden Mas Rasono Wuryaningrat, dan ada lagi seorang perempuan. Belanda, Annie Jansen. Kedudukan kami di Amsterdam, di kota cabang PI terbesar. Sekitar tercapainya kedaulatan, ’49, oleh Adam Malik Jawoto, Direktur dan Hopdaktur KB. “Antara”, saya ditunjuk sebagai wakil KB “Antara” di Belanda. Untuk membangun perwakilan “Antara” di Eropa. Sementara itu saya berhasil, dengan magna cumlaude, mempertahankan tesis Ph.D. saya di Brussel. Dalam keadaan itu saya ditahan pemerintah Belanda. Tentu, walaupun sebagai wartawan KB tidak boleh berpolitik, saya dan Sunito juga pengurus PI. Kami memperjuangkan buntut tuntutan kita Irian Barat. Itu alasan penangkapan. Saya dan Sunito diusir kembali ke Indonesia. Dan kembali saya bekerja di “Antara”, menjadi wakil Direktur Adam Malik. Sunito menjadi sekretaris Parlemen, yang waktu itu diketuai oleh Sartono. Selain itu mengajar di sana sini, antara lain di “Airlangga”, PTIP Malang, kursus B1 dan B2 di Jakarta. Giat di “Baperki”, menjadi anggota Konstituante, mendirikan “Ureka” yaitu “Trisakti” sekarang, dsb. Ketika itu saya baru doktorandus antropologi, dari Leiden, yang saya peroleh sewaktu di Belanda bersama Sunito di PI. Kerja berjuang dan belajar. Makan dan semua biaya cari sendiri. Sebulan 250 gulden. Tiap bulan seringgit untuk membiayai kantor perwakilan RI. Sunito tidak mendapat uang dari Jakarta. Mestinya kita dapat dari Sumitro Joyohadikusumo, yang ketika itu ditugasi di Amerika. Mencari biaya, termasuk untuk kami yang di Belanda.
HS.: Siapa pendiri “Ureka” sebenarnya?
Go: Sebenarnya istri saya. “Universitas Respublika”. Ketika itu diskriminasi sangat hebat. Anak-anak keturunan Tionghwa susah masuk ke perguruan tinggi. “Si Ming Hui”, perkumpulan sosial yang besar di Jakarta, mengundang beberapa sarjana, untuk mempelajari kemungkinan mendirikan perguruan tinggi sendiri. Debat bertele-tele. Saya pulang, istri saya bilang: “Kenapa tidak berani? Dirikan, atas nama “Baperki”! Ketakutan tidak akan mendapat dukungan luas ternyata keliru. Kita tempati gedung sekolah dasar dan sekolah menengah di Pasar Baru. Itu sekolah Tionghwa-WNA, yang diserahkan kepada kita, karena memenuhi Resolusi Sutan Takdir Alisjahbana dari Kotapraja Jakarta. Anak-anak WNA itu tidak bisa sekolah. Itu kan melanggar hak-hak asasi manusia?
HS.: Apa pokok pokok isi Resolusi Sutan Takdir ? Dia dari Kotapraja Jakarta?
Go: Ya. Dia duduk di sana, wakil PSI. WNA tidak bisa masuk sekolah nasional Indonesia, tapi WN Keturunan malah diharuskan. Sedangkan WNI tidak boleh masuk sekolah asing. Sebenarnya Takdir tidak rasistis. Juga karangan-karangan nya tidak. Saya kenal dia pribadi. Sebab buku terjemahan “Riwayat AQ” Lu Hsun, itu Slamet Sukoco dan saya yang menerjemahkan nya ke Indonesia. Yang menerbitkan “Pustaka Rakjat” Takdir.
HS.: Pak Go tahun berapa ditangkap Orba?
Go: Akhir ’65 sampai awal ’66. Tanpa tuduhan. Berkat intervensi Adam Malik, saya bebas. Banyak orang “Antara” yang ditahan. Yang mati juga banyak. Adam Malik itu kawan sangat baik saya. Dia direktur “Antara”. Tapi yang mengerjakan semua pekerjaannya saya. Maka saya dia bebaskan. Ketika itu dia dalam kedudukan sebagai salah seorang triumfirat. Suharto- Sultan-Adam Malik. Begitu bebas dia peringatkan saya: Jangan lama-lama. Pamitan keluarga dan cepat keluar. Sebab nanti saya tidak bisa membantumu lagi! Betul. Saya dibantu betul-betul. Sampai diantar ke plane dengan protokol.
HS.: Tahun ’66 itu juga masuk ke Belanda lagi?
Go: Tidak. Tidak bisa masuk, kan saya dulu diusir? Jadi berkeliaran. Satu tahun kira-kira menunggu di Brussel. Ketika itu saya mempertahankan tesis Ph.D. saya. Prof.Wertheim yang membantu saya. Juga mencarikan pekerjaan, menerjemahkan disertasi Kampto Utomo ke bahasa Belanda. 1 Oktober ’68 baru masuk kembali ke Belanda, ditunggu Prof. Wertheim di “Komite Indonesia”.***
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua 2018
Pihak yang ingin mempublikasi ulang tulisan dalam web ini diharapkan untuk menyertakan link aktif : www.budaya-tionghoa.net , NAMA PENULIS dan LINK aktif yang berada didalam tulisan atau membaca lebih jauh tentang syarat dan kondisi . Mempublikasi ulang tanpa menyertakan tautan internal didalamnya termasuk tautan luar , tautan dalam , catatan kaki , referensi , video , picture , sama dengan mengurangi konten dalam tulisan ini.