Budaya-Tionghoa.Net | Saya sangat menyesal karena tidak berkesempatan untuk bertemu dengan Siauw Giok Tjhan ketika saya melakukan riset untuk disertasi gelar doctor saya di Universitas Monash. Pokok disertasi saya adalah tentang sejarah politik golongan Tionghoa di Indonesia pada tahun 1960-an. Siauw adalah seorang tokoh yang memainkan peranan penting pada masa itu.
|
Mengapa saya tidak bisa menemui Siauw? Alasannya sama untuk Siauw, adiknya, Giok Bie dan para kawan seperjuangan mereka yang bergabung di dalam Baperki yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan. Sebuah alasan yang sangat mengecewakan mereka semua. Yang saya maksud di sini tidak lain adalah penahanan mereka selama bertahun-tahun tanpa proses pengadilan oleh rezim Orde Baru.
Akan tetapi, saya masih tetap beruntung karena berkesempatan untuk berhubungan baik dengan musuh-musuh politik Siauw, terutama mereka yang bergabung dengan Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB), yang mencanangkan konsep Assimilasi.
Saya bertemu dengan Siauw pertama kali pada tanggal 10 Pebruari 1976, di tempat kediamannya di Jakarta. Pada waktu itu, ia baru dikeluarkan dari penjara, akan tetapi masih dalam status tahanan rumah. Saya ingat bahwa saya membawa sebuah titipan dari keluarganya yang bermukim di Melbourne. Salah satu anggota keluarga di Melbourne itu adalah anaknya, Tiong Djin. Di dalam buku-harian saya yang berkaitan dengan kunjungan saya ke rumah Siauw, saya beri catatan kunjungan ke rumah¡§Mr. Djin¡¨. Ini saya lakukan karena saya khawatir bilamana nama penuh Siauw berada di dalam buku harian saya yang mencantumkan nama-nama orang yang ingin saya kunjungi, akan timbul masalah. Sebagai tahanan rumah, Siauw tentunya tidak diijinkan menerima tamu. Saya tetap bersikap hati-hati, walaupun sesungguhnya, andaikata saya ditanya oleh pihak penguasa, saya bisa menyatakan bahwa saya ke rumah itu untuk menemui isteri Siauw, bukan untuk Siauw sendiri.
Pada pertemuan pertama itu saya berikan disertasi saya yang pada waktu itu baru diuji. (Disertasi itu dimasukkan secara resmi ke Universitas Monash 6 bulan sebelum pertemuan itu, yaitu sebelum Siauw dikeluarkan dari penjara). Saya menginginkan komentar tentang disertasi itu dari Siauw. Siauw dan isterinya mengundang saya untuk datang lagi, kali ini untuk makan malam. Undangan itu saya terima dengan gembira.
Pada tanggal 21 Pebruari 1976, saya mengunjungi kembali rumah ¡§Mr. Djin¡¨. Siauw dan isterinya dengan hangat menerima saya dan saya menikmati keramah-tamahan mereka malam itu.
Siauw tidak langsung berkomentar tentang disertasi saya, akan tetapi ternyata ia tidak duduk diam dalam 11 hari itu. Ia meminta saya untuk membawa sebuah manuscript karangannya untuk disampaikan ke keluarganya di Melbourne untuk kemudian dikirim ke Go Gien Tjwan di Belanda.
Karangan yang terdiri dari 120 halaman folio yang ditiknya sendiri itu berjudul: ¡§’Suatu Renungan, Sebagai Sumbangsih dalam Perjuangan Membangun Masyarakat Panca Sila¡¨. Walaupun kata pendahuluannya tertanggal 7 Januari 1976, 18 halaman terakhir jelas baru saja ditambah. Huruf tiknya berbeda, lebih jelas dan mudah untuk dibaca. Bagian baru ini menyinggung pidato Presiden Amerika Serikat, Ford, pada akhir bulan Pebruari 1976. Yang menarik perhatian saya adalah analisis yang terkandung di dalam bagian terakhir ini, karena jelas ia bersandar pada informasi yang tertuang di dalam disertasi saya, walaupun tentunya dikaitkan dengan perspektif politik Siauw sendiri. Saya menganggap kenyataan ini sebagai tanggapan positif Siauw terhadap kenetralan riset saya dalam bidang politik golongan Tionghoa di Indonesia.
Setelah pertemuan singkat itu, saya tidak pernah bertemu lagi dengannya. Siauw adalah seorang yang patut dipuji karena kepribadian dan hasil-hasil politiknya. Walaupun pertemuan dan perkenalan langsung dengannya singkat, saya kemudian mengetahui jauh lebih banyak tentang dirinya dari tulisan-tulisan Siauw sendiri dan tulisan-tulisan anaknya, Tiong Djin. Saya pun banyak mengetahui Siauw dari musuh-musuh politiknya yang tidak pernah alpa dalam mengakui kejujuran dan integritas Siauw.
Menurut saya, kedekatan Siauw dengan kelompok kiri-lah yang menyebabkan ia diisolasi bertahun-tahun, bukan karena konsep Integrasi yang ia dan organisasi yang ia pimpin, canangkan.
Seperti banyak orang yang segenerasi saya di Australia, saya sebenarnya menyambut dengan gembira adanya perubahan dalam kebijakan politik terhadap golongan Aborigine dan orang yang berimigrasi ke Australia. Di dalam proses pengenalan bangsa Australia, kebijakan yang bersandar pada konsep assimilasi telah diubah menjadi kebijakan yang berdasarkan atas konsep ¡§multiculturalism¡¨, yang jelas mendorong toleransi dan keterbukaan.
Kelompok Assimilasi yang menentang kebijakan Siauw pada umumnya sering mengartikan Moto yang didengungkan oleh Presiden Soekarno, Bhinneka Tunggal Ika, sebagai: Bhinneka itu adalah das Sein (sekarang), dan Tunggal Ika adalah das Sollen (di kemudian hari).
Akan tetapi, kita memiliki harapan bahwa iklim politik yang lebih toleran di era post-Soeharto ini, di suatu saat mendatang, akan mendorong adanya toleransi terhadap keBhinekaan yang bersifat ¡§multicultural¡¨ di dalam bangsa Indonesia. Dalam hal ini, seandainya Siauw Giok Tjhan masih hidup, ia akan menganggap kepresidenan Abdurrahman Wahid sesuai dengan impian politiknya.
Oleh: Charles A. Coppel
( Maret 2000 )
Berita dan Tulisan yang disiarkan HKSIS-Group, sekadar untuk diketahui dan sebagai bahan pertimbangan kawan-kawan, tidak berarti pasti mewakili pendapat dan pendirian HKSIS.
Berita dan Tulisan yang disiarkan Budaya Tionghua -Group, sekadar untuk diketahui dan sebagai bahan pertimbangan kawan-kawan, tidak berarti pasti mewakili pendapat dan pendirian Budaya Tionghua
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing List Budaya Tionghua 11014