Budaya-Tionghoa.Net| Taiwan dengan statusnya yang unik tak dapat dipungkiri merupakan salah satu “negara” yang paling demokratis di Asia saat ini. Demokratisasi di Taiwan merupakan perjuangan panjang yang juga menemui tantangan dan hambatan besar pada masa pemerintahan Nasionalis Kuomintang yang otoriter. Namun, selanjutnya demokratisasi berjalan mulus oleh karena Taiwan memiliki syarat-syarat yang diperlukan untuk mendukung usaha demokratisasi tersebut di antaranya tingkat sosial, pendidikan dan kesejahteraan yang relatif tinggi, kondisi ekonomi yang baik dan juga adanya kesungguhan hati dari pemerintah saat itu untuk menjalankan reformasi politik.
|
Pemilihan umum yang merupakan perwujudan dari sistim demokrasi dalam perpolitikan adalah sangat lazim di Taiwan. Hampir tiap tahun atau paling kurang 2 tahun sekali akan ada pemilihan umum baik itu untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota legislatif pusat maupun daerah, walikota dan kepala daerah malah pemilihan lurah (Li Zhang) yang merupakan unit pemerintahan terkecil juga dilakukan serentak secara nasional. Dan seperti biasanya yang paling menyedot perhatian tentunya adalah pemilihan presiden dan wakil presiden yang dilangsungkan 4 tahun sekali dan baru meninggalkan kontroversi yang tidak habis-habisnya antara partai pemerintah Democratic Progressive Party (DPP) yang kerap disebut Pan Green dengan koalisi oposisi antara Kuomintang (KMT) dan People First Party (PFP) yang dikenal dengan sebutan Pan Blue.
Sebelum masuk ke dalam opini maju mundurnya demokrasi di Taiwan, ada baiknya kita mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dalam politik Taiwan dewasa ini. Taiwan yang sekarang bukanlah “Republic of China” dulu sewaktu Kuomintang berkuasa secara otoriter. Taiwan yang dulu jelas mewakili pihak Nasionalis yang berseteru dengan pihak Komunis yang berkuasa di Tiongkok Daratan. Namun seiring dengan demokratisasi yang merupakan perjuangan pihak oposisi (pada masa itu disebut non-partisan, karena cuma ada 1 partai berkuasa) yang akhirnya memaksa pihak berkuasa untuk melakukan reformasi politik mempercepat demokratisasi. Proses ini melahirkan kekuatan lain berkembang dan makin besar dalam peta perpolitikan Taiwan dewasa ini.
Kekuatan lain itu adalah pihak Nasionalis Taiwan (Pan Green) yang punya platform lain daripada KMT (Pan Blue). Nasionalis Taiwan ini adalah kekuatan pro-kemerdekaan Taiwan yang menganggap bahwa KMT adalah pemerintahan dari luar Taiwan yang dapat disamakan dengan penjajah. Ini dapat dimaklumi karena sebelum tahun 90-an, yang mendominasi di pemerintahan baik eksekutif, legislatif maupun judikatif adalah partisan KMT dari Tiongkok Daratan yang kalah dalam perang saudara dengan Komunis dan mundur ke Taiwan tahun 1949. Tumbuhnya kekuatan pro-kemerdekaan ini ditandai oleh kemenangan Chen Shui-bian dari DPP (Pan Green) yang mengambil alih kekuasaan dari KMT pada pemilihan presiden tahun 2000 yang lalu. Walaupun ada yang menyatakan bahwa Chen menang karena perpecahan KMT, namun setidaknya ada indikasi KMT mulai ditinggalkan pendukungnya.
DPP dalam AD/ART-nya jelas menyatakan bahwa tujuan pertama partai adalah mewujudkan Republik Taiwan yang merdeka dan berdaulat. Ini jelas lain daripada platform KMT yang mendukung proses reunifikasi bersyarat dengan Tiongkok Daratan. Peta politik Taiwan sekarang ini telah ber-evolusi menjadi ajang perseteruan 2 kekuatan yaitu pro-reunifikasi bersyarat dan pro-kemerdekaan. Kedua arus utama di Taiwan ini kemudian dijadikan sebagai kenderaan politik bagi politikus Taiwan untuk menggapai kekuasaan. Ini terutama jelas terlihat bagaimana cara DPP membentuk opini publik seakan-akan KMT adalah sekutu daripada pihak Komunis di Tiongkok Daratan.
Opini yang dilemparkan ke publik oleh DPP adalah menekankan bahwa mereka adalah orang Taiwan yang tidak akan pernah mengkhianati rakyat Taiwan. Di lain pihak mereka menuduh KMT akan mengkhianati tujuan kemerdekaan Taiwan dengan agenda reunifikasi dengan Beijing. Opini seperti ini sangat cepat berkembang di kalangan orang Taiwan yang merasa dirinya adalah orang asli Taiwan dibanding dengan orang Daratan yang datang bersama kemunduran Chiang Kai-shek ke Taiwan. Perlu diketahui, orang Taiwan yang merupakan mayoritas (84%) merupakan orang Daratan yang datang sejak penghujung Dinasti Ming di abad ke-17 setelah pengusiran Belanda oleh Zheng Cheng-gung dari Fucheng (sekarang Tainan) yang kemudian dijadikan sebagai ibukota pemerintahan Dinasti Ming di Taiwan. Selebihnya merupakan orang Daratan (14%) yang datang bersamaan dengan kekalahan KMT di Daratan pada tahun 1949 dan sisanya penduduk asli aborigin (2%).
Topik yang sebenarnya memecah-belah ini selalu digunakan oleh DPP hampir setiap kali pemilihan umum termasuk pemilihan presiden tahun 2004 yang baru lalu dengan harapan dapat menggugah semangat nasionalisme Taiwan sehingga dukungan dari orang Taiwan bertambah tinggi, sekaligus menumbuhkan rasa tidak percaya rakyat Taiwan atas KMT dan PFP yang digambarkan sebagai partai orang Daratan yang sejalan dengan Komunis Beijing. Topik-topik lainnya yang diluncurkan oleh KMT seperti pembangunan ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya tenggelam oleh topik primordialisme Taiwan yang nampaknya sangat laku dijual di kalangan masyarakat yang tidak peduli akan pentingnya rasionalitas dalam menanggapi suatu topik politik.
DPP sepintas nampaknya berhasil dalam strategi pecah belah tadi, namun mereka nampaknya tidak menyadari bahwa potensi konflik yang ditimbulkan sangatlah besar. Publik pendukung DPP terutama pendukung Chen Sui-bian menjadi radikal dan tidak rasional dalam menanggapi perbedaan yang lumrah ada dalam demokrasi. Mereka mengikuti cara pemimpin mereka untuk memberikan cap pengkhianat dan tidak cinta Taiwan kepada orang yang tidak mendukung proses menuju kemerdekaan Taiwan notabene adalah para pendukung Pan Blue. Rasa tidak percaya dan tensi permusuhan meninggi di antara pendukung kedua kubu tersebut.
Isu referendum bersamaan dengan pemilihan presiden yang baru lalu yang sedianya akan digunakan sebagai alat untuk mencapai kemerdekaan Taiwan dijadikan untuk meraih dukungan yang lebih banyak pada pemilihan presiden yang lalu. Referendum yang gagal kemudian terbukti tidak bermakna apa-apa karena apapun hasil referendum tadi, pemerintah Taiwan tetap melakukan negosiasi pembelian persenjataan dari AS sebesar USD 18 milyar yang telah dimulai dengan pembelian radar deteksi jangkauan panjang senilai USD 1.8 milyar sebagai “uang muka”.
Ironisnya, pembelian senjata besar-besaran dari AS ini menurut saya sebenarnya hanyalah suatu bentuk “penyuapan” dengan cara ikut menanggung biaya anggaran pertahanan AS yang besar itu, tentunya dengan harapan AS akan peduli akan masa depan Taiwan. Padahal, yang sebaliknya terjadi adalah Taiwan menjadi berperan sebagai “watchdog” dalam sistem pertahanan yang dibangun AS di Pasifik untuk mengamati gerak-gerik PLA Beijing. Lebih ironis lagi, Taiwan harus menjadi “watchdog” yang membeli persenjataannya sendiri. Hubungan Taiwan dan AS yang sebenarnya hanya merupakan hubungan antara pembeli dan penjual nampaknya tidak akan memberikan jaminan apa-apa untuk keamanan Taiwan. Seorang penjual senjata biasanya tidak akan turut membantu pelanggannya untuk mempertahankan diri.
Demokrasi secara eksplisit memang menjadikan Taiwan suatu “negara” yang terkenal akan kebebasan dan perwujudan HAM-nya di dunia. Terlepas dari dosa-dosa KMT di masa lalu atas rakyat Taiwan, apakah ekses-ekses negatif seperti kekacauan dan perpecahan dalam Taiwan, hubungan yang memburuk dengan Beijing, pengucilan internasional dan menjadi kartu As bagi AS dalam menghadapi Beijing pantas sebagai kompensasi bagi demokrasi itu sendiri? Pemimpin Taiwan harus memilih menjadi motor untuk mempercepat proses demokratisasi di Tiongkok Daratan melalui reunifikasi bersyarat dengan formula yang berbeda dari “Satu Negara Dua Sistem”-nya Hong Kong dan Macau; atau memerdekakan diri dengan resiko menghadapi perjuangan yang mungkin berdarah-darah itu. Tentunya semua ini hanya dapat terealisasikan dengan perundingan damai di dalam bingkai yang disepakati kedua belah pihak.
Oleh : Rinto Jiang
November 2004
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa
Pihak yang ingin mempublikasi ulang tulisan dalam web ini diharapkan untuk menyertakan link aktif : www.budaya-tionghoa.net , NAMA PENULIS dan LINK aktif yang berada didalam tulisan atau membaca lebih jauh tentang syarat dan kondisi . Mempublikasi ulang tanpa menyertakan tautan internal didalamnya termasuk tautan luar , tautan dalam , catatan kaki , referensi , video , picture , sama dengan mengurangi konten dalam tulisan ini.