Budaya-Tionghoa.Net | Pada tanggal 30 November kami berangkat dengan kapal udara Lufthansa ke Jakarta, esoknya kira kira jam 18.30 kami sampai di lapangan udara Soekarno-Hatta. Flight ini kami alami dengan nyaman. Kesatu karena tidak banyak kami di bangunkan untuk diberi santapan atau minuman, dan kedua sesudah kapal udara terbang dari airport Frankfurt dan sesudah mendapatkan makan malam, saya makan satu kapsul obat tidur. Aku tidur kira kira selama 6 jam. Aku bangun dan penerbangan masih tinggal kira kira lima jam lagi sebelum kapal udara mendarat di Lapangan Udara Soekarno-Hatta. Segi negatifnya dengan penerbangan ini bagi penumpang dari Belanda ialah kami harus naik kapal udara dahulu dari Schiphol, Amsterdam ke Frankfurt dan disana menunggu kira kira dua setengah jam sebelum boarding ke kapal udara yang terbang ke Jakarta. Meskipun demikian kami tokh memilih Lufthansa karena selama aku terbang dengan penerbangan Jerman ini belum pernah terlambat lebih dari setengah jam. Kedua harganya lebih murah dari KLM atau Singapore Airlines.
|
Di lapangan Udara Jakarta koper kami dibawa oleh pembantu dari lapangan udara, semua berjalan dengan lancar. Petugas imigrasi mengerjakan dengan baik dan koper kami diperiksa oleh pegawai duane dengan simpatik sesudah semua beres kami keluar, di sini seperti biasanya setiap tahun aku berkunjung ke Indonesia, kami dipapak oleh adik lelaki istri saya Chen-Sin.
Hujan gerimis, maka hawa udara tidak seberapa panas. Kami menuju ke Kelapa Gading, dimana aku menginap dirumah keponakan istriku si Iwan. Tanpa membersihkan badan kami diajak oleh Chen-Sin makan malam di daerah Kelapa Gading yang malam hari terang sekali dengan lampu-lampu penerangan jalan dan dengan banyaknya toko-toko dan restoran restoran yang besar dan kecil dengan lampu neonnya. Jalanan penuh sekali dengan mobil-mobil yang bagus-bagus, taxi dan mobil tuk-tuk (bajai). Kendaraan berjalan sangat semerawut, menyalip kiri atau kanan adalah biasa-biasa angsalkan ada kemungkinan dan kesempatan. Dipinggir banyak orang yang sedang berjalan untuk belanja. Daerah ini memang daerah yang terkenal dengan kemandiriannya, yang berarti bahwa di sini semua serba ada, bahkan ada satu mall yang sangat besar dan modern, didalam mall ini ada ratusan toko dari segala barang yang dijual, dari pakean sampai sepatu, dari restoran Indonesia sampai restoran Barat. Dari toko buah sampai tea room dan kuwe basah pokonya serbah komplit. Aku masih belum berani makan Indonesian food karena pedasnya, tetapi nanti beberapa hari lagi sesudah aku membiasakan keadaan, aku baru berani makan makanan chas local berbagi makanan Jawa dan Padang.
Aku adalah anak keluarga Tionghoa yang tinggal di Pecinan, mendapatkan pemeliharaan dan kecintaan dari pembantu ibu Mbok Sining, maka aku mempunyai kesukaan membaca buku-buku kultur Tionghoa, makanan Tionghoa, dan makanan chas Surabaya, bicara bahasa local Surabaya dan kultur Jawa. Karena pernah mengalami operasi usus dan mudah mendapatkan diare, maka aku in kali memilih makanan Tionghoa, masakan kanton. Aku tidak lupa untuk minum memesan kelapa mudah yanh masih utuh tidak dituang digelas. Kami dengan nikmatnya makan yang dipesan oleh iparku itu. Sebelum pulang istriku beli kuwe basah seperti lemper, bikang ambon tja-kwee d.l.l.-nya untuk dimakan besok pagi. Tjak-kwee dimakan dengan susu kedele adalah satu kenikmatan bagiku.
Makan sambil kongkow (bicara dan bersantai), mendengarkan musik mandarin, dengar tertawa klien-klien dan ramainya orang makan dan diluar penuh dengan manusia berjalan simpang-siur memberikan kesan padaku suasana yang lain dari kebiasaan yang aku lihat di Belanda, suatu keadaan yang semerawut seperti yang aku lihat didaerah Pecinan-China town di selruh dunia. Situasi ini menyentuh emosiku, karena aku ingat keadaan jaman dahulu sewaktu remajaku, sewaktu aku bekerja di Jakarta tahun 1960. Dahulu Jakarta tidak seramai sekarang, dan makanan tidak begitu beraneka warna seperti sekarang ini. Penghidupan berjalan pelahan-lahan (santai). Sebelum Perang Dunia Kedua aku pernah tinggal di Betawi, aku waktu itu masih berumur 6 sampai 9 tahun dan tinggal di Pecinan, aku tinggal di Kebon Torong Park, daerah masih baru dibangun. Aku masih ingat keramaian kulihat di Glodok daerah Pecinan, disana banyak restoran dan toko toko, malam hari daerah ini terang dan ramai dengan manusia. namun sekarang daerah Kelapa Gading ini penuh dengan toko toko kebanyakan dari pengusaha Tionghoa. Aku kira pada jaman sekarang ini Jakarta mempunyai beberapa Pecinan dan salah satu dari pecinan ini adalah Kelapa Gading. Di Kelapa Gading ada sekolah kristen yang besar dan muridnya kebanyakan murid-murid Tionghoa dan juga tidak jauh dari sekolah tersebut ada sekolah untuk murid-murid dari Taiwan.
Restoran restoran penuh sesak dengan orang yang makan malam, setiap tahun aku berkunjung ke Jakarta aku senantiasa dengar ada beberapa restoran yang baru dibuka. Keluarga istriku banyak yang tinggal di Jakarta, terutama di Kelapa Gading, karenanya setiap hari ada janji dengan salah satu dari mereka untuk makan bersama.
Jam sepuluh malam kami pulang rumah dengan perasahan yang menyenangkan dan sesudah membersihkan badan kami, kami berasa segar dan pembicaraan diteruskan sampai jam satu malam. Aku berkata:” ayo kami pergi tidur, karena besok kalian harus bekerja.
Jakarta 2 desember 2004