BAGIAN 3
Di kalangan masyarakat Tionghoa orang tua dihormati, terutama pada jaman dahulu karena ini adalah budaya Tionghoa yang diajarkan terutama oleh Kong Fu Zi (Confucius) tentang Xiao atau Hao dalam bahasa Hokkian. Karena itu pada jaman dahulu orang Tionghoa suka sekali memelihara jenggotnya panjang panjang. Lain dengan orang Eropa dan Timur Tengah yang memelihara berengos yang pendek. Fenomena hierarchi ini masih dapat dilihat di beberapa kalangan orang Tionghoa meskipun pada generasi muda sudah sedikit jumblahnya. Dikeluarga saya juga di keluarga istri saya masih ada gejala ini, meskipun diluar kesadarannya. Ini mungkin juga karena aku mengetahui banyak tentang kultur Tionghoa dan ilmu pengetahuan umum, sehingga aku mempunyai kelebihan dari mereka. Karena itu generasi muda respek padaku dan banyak tanya tentang kultur dan memberi nama Tionghoa untuk anak mereka yang baru lahir.
Kalau kami datang ke Jakarta, Solo atau Surabaya pasti keluarga kami datang menyediakan kamar dan mangajak kami makan malam. Kedatangan kami sudah dengan cepat disebarkan diantara keluarga untuk berkongkow. Kami diminta untuk datang berkunjung kerumahnya disamping kota-kota yang kusebutkan dahulu, juga ada keluarga yang menilpon kami dari Bandung, Semarang dan Cepu bahkan mereka sudah menyediakan kesukaanku Kepiting dan buah duren. Mereka beberapa kali menilpon aku sampai-sampai kami tidak bisa menolaknya.
Aku kalau ke Jakarta dan Surabaya seringkali berbicara dengan generasi mudah dari keluarga kami. Mereka ini hampir semua lulusan universitas dan kebanyakan lulusan dari USA. Ada beberapa insinyur, namun kebanyakan dalam bidang ekonomi. Pikiran mereka semua sesuai dengan aku dan yang kami bicarakan ialah persoalan penghidupan, kultur dan kemasyarakatan. Berbedah dengan orangtua mereka yang dibicarakan hanya bagaimana bisa menjadi lebih kaya. Saya adalah seorang dokter dan tidak banyak pengertian tentang perdagangan. Aku bisa bicara dengan bebas dengan keponakan-keponakanku tentang topic yang mereka sangat interesan. Mereka sering tanya padaku tentang kultur Tionghoa, tentang kontribusi orang Tionghoa di dunia dan chususnya di Indonesia. Pada satu hari saptu saya diundang dirumah mereka dan diminta bicara tentang itu. Saya katakan pada mereka bahwa ekonomi Indonesia tidak bisa semaju seperti sekarang ini kalau tidak ada orang Tionghoa. Juga tentang sains, dahulu sewaktu aku masih mahasiswa banyak dosen-dosen orang Tionghoa. Dan Ilmu kedokteran Indonesia pada ituwaktu lebih baik dari pada Singapore dan Malaisia. Sayang sekarang tampak terbelakang dari kedua negara tsb. Orang Indonesia, baik orang Tionghoa maupun Pribumi kalau sakit yang komplex, mereka pergi berobat ke Singapore dan belakangan ini juga ke Malasia. Ini jelas menunjukkan keterbelakangan ilmu kedokteran Indonesia, ini harus diakui faktanya.
Di Jakarta kami dapat dikatakan setiap malam diajak makan ke restoran-restoran yang besar dan lux, terutama apabila ada restoran yang baru dibuka seperti restoran Taipan, Hongkong Village, Super kitchen, Tay Yuen, dan resto Hai-Lai, Angkeh dan resto didepan angkeh yang aku lupa namanya, dan satu lagi didaerah perumahan di villa Kelapa Gading dan lain lain sebagainya. Sayang sekali ini kali aku tidak dapat menerima dua undangan pertama dari Iwan, keponakanku yang mempunyai rumah di Puncak, tetapi aku sudah tinggal dirumah beliau. Kedua undangan dari teman-teman baikku untuk bersama makan malam, dengan sangat maaf dan hormat kami lalukan dan aku hanya dapat menilponnya karena keberadaan aku di Jakarta hanya 10 hari saja, dan juga karena Iliongku telah meninggal dunia. Kami harus ke Solo untuk menyambang dan terutama menggunakan waktu kami bagi ibu mertuaku yang terserang stroke untuk kedua kalinya. Dan lagi aku harus menyambang keluargaku yang terutama berada di Surabaya dan kami gunakan waktu juga selama 10 hari. Teman baikku Thu Siong-Wen mengajak kami pergi ke Bali dan bermalam dirumah anaknya, yang juga mempunyai rumah kedua di Bedugul yang nyaman hawanya. Namun sampai ini kali kami tiada kesempatan lagi untuk kesana. Selalu aku liwatkan undangan ke Bali, tetapi saya berjanji pada satu hari tokh aku akan mengambil waktu untuk memenuhi undangan temanku Thu Siong-Wen yang aku kenal sudah lima puluh tahun itu. Tetapi dengan beliau aku telah bermalam dua hari di desa Trawas dibawah gunung Welirang.
Jakarta 7 januari 2005