BAGIAN 4
Pada hari kamis aku menyambang Iliong, suami dari adik perempuan ibu mertuaku. Iliong sebetulnya satu generasi dengan aku, beliau lebih tua beberapa tahun dari aku. Aku memanggil beliau Iliong karena istriku memamggil beliau Iliong, dan kebiasaan kebudayaan Tionghoa adalah demikian, aku dianggap segenerasi dengan istriku. Iliong sedang menderita sakit long emfisema (hilangnya elastisitet jaringan paru-paru) diakibatkan karena merokok. Aku dengan Iliong cocok baik dalam bidang kebudayaan maupun pandangan penghidupan. Kami dahulu pada tahun sebelum Orba sering berkumpul karena aku juga bekerja di Jakarta dan beliau mempunyai perusahaan di Jakarta. Perhubungan kami dengan Iliong semakin dekat setiap hari karena kecocokan dalam banyak hal.
Pada tanggal 3 desember aku menyambang beliau, dan tampak beliau sangat sesak napasnya, aku berduaan berbicara di kamar tidurnya, karena beliau tidak dapat berjalan jauh. Dalam pertemuan ini beliau berkata padaku:” Hwie-Song, bagaimana dengan keadaanku ? Apakah ada obat yang dapat menolong aku?” Pertanyaan ini berulang ulang di katakan dengan terputus-putus dan suaranya yang tidak kuat, menunjukkan kesehatannya yang terganggu sangat berat. Aku katakan pada beliau:” Iliong, obatnya sudah betul apa yang kau sekarang dapat ini, dan yang paling penting ialah gas zat asam ini, agar kau tidak sesak napasmu.” Beliau tanya lagi:” Hwie-Song apakah di Holland tidak ada obat bagiku, aku ini bagaimana ya?. Cobahlah kau terangkan padaku obatnya apa?” katanya dengan sedih. Kelihatannya beliau takut akan datangnya kematian dan sebisanya berjoang untuk mempertahankan hidupnya. Perkataan “mati” beliau tidak berani mengeluarkan dari mulutnya.
Aku menjawab:” kau harus percaya pada dirimu sendiri, pikirlah apa saja yang menyenangkan dan cobahlah ketawa. Kau juga mengerti sebagi orang kristen, bahwa mati atau hidup itu bukan kemauan kita, ini semua tergantung dari Tuhan. Orang punya kepandaian dan kemauan, tetapi tuhanlah yang menentukan.” Beliau kelihatannya lesuh karena aku tidak dapat memberikan jawaban yang positif dan lalu berkata:” aku capai, aku mau merebahkan badanku” . Dia lalu merebahkan dirinya, namun kesulitan karena sepatu sandal jepangnya belum lepas, aku membongkokkan badanku dan melepaskan sandalnya dari kedua kakinya dan membantunya agar beliau bisa berbaring.
Aku lalu mengambil pipa gas zat asam dan membuka agar gas dapat mengalir, lalu aku berikan pipa gas padanya. Kupanggil zusternya agar membantu beliau. Aku keluar menemui I-ie (tante) istri beliau. Dalam hatiku aku katakan bahwa Iliong sudah berat sakitnya, tenaganya kelihatannya sudah hampir habis dan sudah tidak mempunyai kepercayaan lagi akan penghidupannya. Istriku masuk ke kamar beliau dan berbicara tidak lama karena beliau sudah lemah dan setengah tidur sukar untuk bicara. Shueh-Yu, istriku juga mempunyai pandangan seperti aku tentang kesehatan Iliong. Satu jam kemudian kami pulang dan kami sedih melihat keadaan Iliong, famili dan teman yang lama dan terpecaya itu.
Dua hari kemudian, hari saptu tanggal 5 desember pagi hari I-ie menilpon padaku dan mengatakan bahwa Iliong telah meninggal dunia. Aku berbicara sebentar dengan I-ie untuk menghibur beliau agar kuat hatinya dalam menghadapi kehilangan yang besar ini. Kemudian aku menilpon keluarga kami untuk memberi tahu tentang kematian Iliong. Malam hari aku pikir, bagi Iliong pribadi, beliau telah dibebaskan dari penderitaan sesak napas yang hebat dan kelemahan badannya, namun bagai keluarganya terutama bagi I-ie yang ditinggalkan adalah satu kehilangan yang besar, kehilangan suami dan teman hidupnya yang paling dapat diandalkan. Saya harepkan agar beliau dapat ditrima disisih Tuhan Yang Maha Kuasa.
Karena meninggalnya Iliong maka keberangkatan kami ke Solo harus ditunda sampai beliau dikubur. Beberapa malam kami ikut maisong, bertamu untuk menghormat arwah Iliong. Disini aku bertemu dengan keluarga dan teman-teman yang sudah lama aku tidak ketemu seperti sudara sudara dari Iliong di Solo dan di Hongkong. Pertemuan ini juga « senang », memberi kesempatan untuk memperikat persaudaraan dan kesetiakawanan, namun sayang sekali pertemuan itu terjadi sewaktu kesedihan.
Orang yang seumurku ini banyak dengar tentang kematian dari keluarga dan teman-teman. Aku telah kehilangan beberapa keluarga dan teman-teman baikku. Memang ini adalah fakta penghidupan manusia yang merupahkan naik spoor disetiap setasiun ada yang turun dan ada yang naik, ada waktunya pergi, ada waktunya pulang. Setiap manusia yang dilahirkan pada sesuatu waktu dia akan meninggal. Ini adalah Tao dari penghidupan dan harus ditrima, tidak menerima kebenaran ini adalah tidak mengerti hukum alam. Untuk beliau aku secara alamiah tanpa dipikir berkata:” Slamat jalan Iliong kedunia disana, dan istirahatlah tenang-tenang di sisih Tuhan Yang Maha Kuasa.”
Jakarta, 6 januari 2005