Photo Ilustrasi : Du Fu
Budaya-Tionghoa.Net | Ada dua orang penyair besar Tiongkok yang ingin saya tuliskan secara bersambung. Nama penyair itu adalah : Li Tai Po dan Thu Fu. Keduanya hidup ketika dinasti Tang. Dinasti Tang terkenal dengan masa keemasan Sastra-Tiongkok,- teristimewa dalam perpuisian. Bahan-bahan yang hendak saya tuliskan, terutama saya ambil dari buku lama. Yang pertama dari HIMPUNAN SADJAK TIONGHOA,- yang dikumpulkan dan diterjemahkan oleh S.Mundingsari. Tahun dikerjakannya perpuisian ini, pada tahun 1946, lalu diserahknnya kepada Penerbitan Balai Pustaka pada tahun 1948. Dan oleh Balai Pustaka, diterbitkan pada tahun 1949. Buku inilah yang jadi bahan penting tulisan ini.
|
Lalu buku kedua yalah : TU FU,- diterbitkan oleh Komite Perdamaian Indonesia,- yang tepat pada tahun 1962, oleh Komite ini, diadakan peringatan Hari Lahir Tu Fu yang ke- 1250 tahun. Ketika itu secara lengkap diuraikan oleh Pramoedya Ananta Toer. Sedangkan puisi Tu Fu, dikerjakan oleh banyak orang. Misalnya, diterjemahkan oleh Amir Hamzah Anas Ma’ruf – Ang Yan Goan – Mundingsari – Pramoedya Ananta Toer -Ramadhan KH – dan dari majalah Tiongkok Rakyat.
Mengapa selalu apabila orang membicarakan salah seorang dari mereka penyair besar itu, selalu membicarakan keduanya. Sebab pokok yalah antara mereka terjalin persahabatan yang sangat erat. Walaupun watak dan perilaku kehidupannya antara keduanya sangat berbeda – tetapi saling mengisi. Li Tai Po juga disebut Li Pai atau Li Po – juga Li Tai Pai, hidup pada tahun 701 – 762. Sedangkan Tu Fu hidup pada tahun 712 – 770.
Photo Ilustrasi : Li Bai
Li Tai Po tua 11 tahun daripada Tu Fu. Tetapi mereka sangat berhubungan erat. Bila dibandingkan antara keduanya, Tu Fu lebih banyak mempersembahkan puisinya kepada temannya itu. Tetapi oleh masyarakat Tiongkok, dua-duanya mempunyai sebutan khusus. Li Tai Po digelari Shi Seng = Pandu Sastra. Tu Fu digelari Shi Hsien = Dewa Sastra.
Saya tidak akan mempersoalkan yang mana yang hebat dan besar, antara Pandu dan Dewa,- Karena penamaan dan gelaran itu diberikan oleh ma- syarakat Tiongkok pada zaman itu.
Secara uraian dan juga merenungi isi serta cerita perpuisiannya dan juga menelisik kehidupan keduanya, ada perbedaan besar antara Li Tai Po dan Tu Fu. Li Tai Po tampaknya pernah merasai dan hidup di kalangan istana. Bahkan ada yang menyebutnya penyair istana. Juga ada yang menyebutkannya penyair anggur – penyair mabuk. Artinya Li Tai Po pernah punya pangkat – jabatan – pergaulan di kalangan istana. Tetapi “dasar seniman”, yang paling banyak dihasilkannya yalah puisi – renungan kehidupan dan bukan gagasan bagaimana memperbesar atau meluaskan kerajaan!
Sedangkan temannya ini, Tu Fu, adalah sejak mereka berkenalan selalu susah hidupnya. Kata Pram dalam uraiannya, Tu Fu selalu kapiran hidupnya, tidak seperti Li Tai Po yang masih sempat-sempatnya lirik-melirik selir raja dan wanita-wanita cantik di istana.Lain dengan Tu Fu, mau hidup berkecukupan-pun sulitnya minta ampun! Karena itu banyak orang menyebut Tu Fu, penyair cengeng – selalu sedih saja – selalu menderita saja.
Padahal, apa yang diceritakan oleh Tu Fu dalam puisinya adalah penderitaan rakyat yang luas ketika itu. Di mana kerajaan sangat mengalami kesulitan di bebera daerah – miskin dan perang dan kelaparan di mana-mana. Sebagai pembukaan saya ingin menyalinkan dua puisi dari dua penyair besar itu.
ANGGUR
Bila beribu urusan
Menggaduh memberati ingatan,
Dengan tiga ratus sloki
‘Lah sendirinya tiada berkesan.
Betapa besar djuga urusan,
Dan tiada bersua anggur barang setitik ;
Akan hilang sendirinja
Bila ‘lah faham tjaranya.
Benar sungguh,
Udjar : anggur sutji;
Setelah meneguk barang sesloki,
Jang gelap mendjadi terang, jang terikat bebas merdeka
Tu Fu :
Tak pernahkah anda dengar di Ching-hai-teu
Belulang kerangka tiada terkubur sedjak dulu
Setan lama meratap, setan baru melenguh
Waktu langit bermendung, hudjan datang, tangis menderu?
Di belakang pintu-pintu merah anggur jadi kecut
dan daging membusuk
Di djalanan bergelimpangan tulang mayat-mayat beku.
Dua puisi ini, dipetik dari puisinya yang berjudul
Nyanyian Kereta Perang dan Ratapan Dalam Perjala-
nan.
Pada seri selanjutnya, akan kita sandingkan beberapa puisi dari dua penyair besar yang bahkan sudah mendunia itu
Penyair Tu Fu banyak melukiskan tentang kehidupan biasa – dengan tema biasa – sehari-hari, yang selalu terjadi pada kehidupan manusia biasa. Dan penggambarannya bagaikan sebuah cerita – tetapi sangat plastis – transparan dan bagus serta indah. Terasa kepada siapapun yang membacanya – bahwa apa yang dikatakannya dalam sebuah puisi, tanpa terasa, kepala kita mengangguk tanda setuju dan kena! Dalam puisinya yang berjudul :
PERTEMUAN
Manusia hidup sunji, – laksana bintang,
Jang bergerak tiada hentinja dalam lautan masa
Dan edaran Dunia jang maha luas ini.
Elok kiranya, kalau kita perhatikan temanku!
Malam tjemerlang bertabur bintang ini,
Mengingatkan kita pada kelip lampu di pondokmu.
Masa muda melantjar dengan tjepatnya,
Muda bersilih tua, jang hitam ‘lah putih lagi, –
Sekali lagi kita bertemu, debar djantungku ber-talu-talu.
Siapakah gerangan yang dapat mengira,
Sesudah duapuluh tahun berselang
Aku dapat mendjedjak bendul pintu rumahmu ini?
Kala kupergi dari sini; dahulu
Engkau masih budjang belia, – Tetapi sekarang,
Anakmu ‘lah hampir selusin, sehat-sehat sekali.
Lutju pula, anak-anakmu itu berkerumun
di sekelilingku, dan bertanja kepadaku dengan djenakanja
Di mana tempat tinggalku dan dusun tempat lahirku!
Sedang tanja djawab kian meriah,
Dihidangkan oleh mereka anggur sepiala
Disusul buah-buahan jang segar-segar.
Tiada dilupakan makan berlauk kari kidjang,
Sedang ajah mereka, tersenjum bagia,
Girang menjambut sahabat lama!
Segelas demi segelas anggur masuk kerongkongan;
Kami terharu mengenang pertemuan
Jang segera akan disusul dengan pertjeraian lagi.
Wahai! Besok datang pula masanja,
Timbunan mega menghalang pandang;
Sekali lagi, pertjeraian, harus kita djelang, –
Biru luas tiada bertepi, laksana samudra raya.
Walaupun puisi kedua penyair besar ini tidak ada hubungan secara langsung, tetapi seakan ada daya keterikatan dan hubungan secara tidak langsung. Maka Li Tai Po seakan menjawab apa yang dilukiskan Tu Fu. Li Tai Po menuliskan
PERTANJAAN
Kehidupan lalu dengan derasnja, laksana gemerlap kilat,
Tetapi lambat sekali, sehingga dapat dilihat.
Sungguh tinggi tampan langit dan bumi,
Tidak digaduh oleh waktu keadaan insani.
Waktu pilu masa ria, berganti-ganti,
Meraik wadjah kehidupan manusia.
Andai kata, kau hadapi piala penuh, tetapi
Tetapi tak kau minum – wahai mengapa?
Apa jang masih kau nanti? Apa?
Dari dua puisi dua penyair besar ini, orang akan dapat melihat dan merasakan, ada perbedaan secara karakteristik yang juga berlainan. Tetapi sungguh sulit kita mengatakan mana yang lebih bagus. Karena keduanya adalah bagus-bagus, tetapi berbeda dalam membawakan – menggayakannya. Dan keduanya secara manusia, dan kemanusiawian adalah sahabat yang dekat dan akrab. Dan saling me-
ngisi susastra zaman itu – zaman dinasti Tang yang dua-duanya sangat dihargai dan disayangi rakyatnya yang luas. Romantika keduanya secara bergandengan seiring sejalan – tetapi berbeda dalam strata kehidupan maupun gaya membawakannya. Mungkin karena keberadaan mereka berdua berlainan dunia yang digelutinya. Li Tai Po yang tak jauh dari kalangan istana dan petinggi negeri kalangan bangsawan.
Sedangkan temannya Tu Fu selalu berada di kalangan dan kedekatan rakyat jelata yang luas. Tetapi istimewanya mereka berdua, selalu berhubu- ngan dekat dan akrab dan bagaikan bersahut-sahutan dalam nafas
ke-puisiannya,-
BEBERAPA PUISI LI TAI PO
MADAH PRADJURIT
Musim gugur tiba. Masa musuh turun
Dari pegunungan kediaman mereka,
Hendak merampas Tanah-Air kita, nan makmur ini.
Sekedjap, kita ‘lah siap-siaga.
Berpakaian perang, untuk berdjaga,
Menanti musuh di batas negara.
Aba “berangkat” diberikan sudah,
Djenderal kita telah siap, berkuda
Kamipun madju menempuh gurun Gobi jang mashur itu!
Sungguh sunyi! Di tengah lautan pasir seluas itu,
Kami berdjalan, terus madju, madju selalu,
Hanya bulan sebuah, penaka teman di malam sepi.
Titik embun jang bertaburan pada dahan kaju
di sepandjang djalan, gemerlap laksana intan lepas untai,
Seirama pula dengan kilat pedang-terhunus dan topi
badja jang kami pakai, –
Wahai, agaknja masa pulang sekali ini, lama ‘kan datang…
PERTJERAIAN
Kuantarkan dia, temanku
Dia ‘kan mendjelang rantau Utara,
Melalui djalan, di pegunungan permai.
Menjusur sungai, meliku-liku,
Pada suatu kelok, kami bertjerai
Dengan hati sedih-sendu.
Aku berdjalan sunji sendiri,
Menempuh djalan pulang, –
Seperti tiada ‘kan sampai,
Hatiku rusuh, laksana gumpalan awan di kepalaku.
Hari rembang datang, –
Iklim sedjuk dan tjaja taram petang,
Menambah berat pertjeraian kami.
Di sebuah bukit aku terhenti,
Kulambaikan tanganku untuk penghabisan kali
Kepadanja, ketika dia hilang di balik belukar.
Kudaku mengelu pandjang, memanggil kuda temanku
…………..Kitjau burung di dahan kaju seperti
Menjawab meraju hati!
KEKASIH
Dalam malam sedjuk sunji
Terdengar njanji, menghiba hati
Meraju merdu
Njanji burung di pohon kaju.
Agak ke dalam, di balik djendela,
Duduk gadis, menganjam bunga,
Pesunting bagi jang djauh!
Dia menengadah, tangannya terkulai,
Kenangannja ‘lah sampai di sisi dia,
Jang ‘lah lama pergi ngembara.
Bisiknya : “Burung ‘lah terdengar pula, –
Namun, air mata gadis berkasih
Tiada memanggil kekasih datang”.
Tangannja jang lunglai. ‘lah bergerak lagi,
Badannja membungkuk melandjut kerdja,
Sedang bibirnja bergerak, pandangnja saju.
Bisiknja : “Ach, biar kuanjam bunga kini,
Mendjadi untaian sadjak kekasihku, – Biar
Kekasihku segera kembali mendakap hatiku ini?
BEBERAPA PUISI TU FU
KAMPUNG HALAMAN
1
Awan gunungan di barat sana mendingin
Tersorot mentari alam merah bertukar warna
Di pintu pagar kaju burung-burung berkitjau njaring
Tatkala bagai pelantjong ‘ku pulang ke rumah.
Anak-isteriku tertjengang melihat aku masih bernyawa
Tersadar kemudian menjeka mata
Dalam huruhara aku terombang-ambing terlunta-lunta
Pulang bernjawa ini tjuma nasib baik semata.
Tetangga merubung di tembok keliling
Menarik nafas suara disumbat
Sampai larut berkampung di bawah lilin
Berhadapan tapi ah, seperti dalam mimpi.
2
Usia sudah landjut begini terpaksa mencuri hidup
Pulang ke rumah begini tapi gembira separoh hati
Anak-anak enggan menjauh dari kedua lutut
Tjemaskan hati si bapa menghilang lagi.
Kegemaran dulu menghirup udara sedjuk
Sekitar kolam serimbunan pepohonan
Santernja angin utara datang meniup
Setiap kenangan lahirkan ratusan renungan.
Lihat padi djewawut telah terungguk
Berbajang arak mengutjur dari pesulingan
Andai kini barang setjitjip dapat direguk
Diri setua ini betapa kan dapat hiburan
3
Sekawanan ajam riuh berkokok
Malah berlaga kala ku, tamu, datang mendjenguk
Kuusir terbang mereka sembunji ke pokok
Terdengar baru pintu kaju kuketuk.
Ciri perpuisian Tu Fu kebanyakannya panjang dan bercerita – berkisah, tetapi penuh dengan keindahan kata dan pengungkapan. Terbacanya sedap dan nik- mat karena kata-kata dan kalimatnya sangat plastis. Tetapi ada juga puisinya yang begitu pendek – singkat. Hanya ditulisnya sangat sedikit bila dibandingkan dengan yang biasanya panjang dan bercerita. Saya kumpulkan ada tiga puisinya yang pendek – singkat. Tetapi penggambarannya tetap utuh.
DI PEMBARINGAN
Sungai putih-putih, margasatwa lebih putih,
gunung hidjau, bunga-bunga hampir laju.
Musim semi ini kulihat hampir lalu
pabila datang tahun kepulanganku?
ACHIR TAHUN
Amtenar-amtenar tinggi, naik kuda tedji,
Bosan mereka makan daging dan minum anggur,
Perkakas-perkakas tenun dan gubuk-gubuk rakjat
Kosong samasekali tiada berisi.
KANTUNGKU KEMPES
Kutinggalkan uang sesen dalam saku,
Kantungku kempes takut malu.
Sebuah lagi puisi Tu Fu yang agak panjang,-
PERPISAHAN SEHABIS MENIKAH
Bunga kuskuta hidup menumpang di batang rami,
Tumbuh merambat tak mampu meninggi.
Daripada nikahkan gadis sendiri pada serdadu
Baik lemparkan dia di djalanan debu.
Rambut disanggul pertanda isteri orang,
Tikar di randjangpun belum sampai hangat,
Sore menikah besok pagi ke medan perang,
Aduhai sajang betapa tjepat, betapa tjepat!
Tak terlalu djauh memang kanda pergi,
Ke Hoyang djaga perbatasan negara,
Belum tegas 1) dinda sebagai isteri,
Belum lagi menghormat ajahbunda mertua.
Dahulu ibu dan bapa besarkan dinda,
Perintahkan diri siangmalam berkuntji diri,
Dilahirkan buat dipersuamikan suatu masa,
Mesti setia mengikut, ajam ataukah andjing.
Kini kanda berangkat ke medan mati,
Duka laksana sembilu mengiris hati,
Demi Allah, dinda sedia mengikuti,
Tapi keadaan ini berubah selalu berganti.
Bulan madu djangan djadikan buah pikiran,
Berdjuanglah sepenuh hati tunaikan kewadjiban,
Seorang sadja wanita ada dalam pasukan,
Keperwiraan pradjurit bakal meragukan.
Dinda datang dari keluarga miskin
Lama menabung buat gaun pengantin
Kini terlipat dia tak terpakai lagi,
Meski bersuami tjuma tjutji pakaian sendiri.
Tengadah ke atas memandang burung beterbangan,
Besarketjil masing-masing pada berpandangan,
Manusia hidup dirundung tjobaan
Tinggal lagi boleh memulai harap
Semoga dengan beberapa puisi kedua penyair besar Tiongkok ini agak tergam- barkan karakteristik keduanya. Tapi gelar yang diberikan oleh masyarakatnya ketika itu, tetap lestari. Yang seorang digelari sebagai Pandu Sastra dan seorang lagi digelari Dewa Sastra. Keduanya adalah penyair besar yang dilahirkan pada zaman dinasti Tang, abad ke 8,-
Catatan : belum tegas 1) = menurut adat-istiadat kuno Tiongkok, setelah menikah, tiga hari kemudian mempelai harus berkunjung ke pekuburan leluhur dan bersembahjang di kelenteng sebagai pengesahan terachir,-
SOBRON AIDIT , 3262
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua