2. Tiongkok〃, ¨Tionghoa〃 dan ¨Cina〃 dalam sejarah Indonesia.
Perkembangan Bahasa Indonesia berasal dan berdasarkan bahasa Melayu. Didalam karya sastra klasik bahasa Melayu, seperti ¨Riwayat Hang Tuah〃 dan ¨Peringatan Melayu〃 di abad 17 sudah menyebut ¨Tiongkok〃 sebagai ¨Cina〃. Dan disini tidak ada pengertian menghina, begitulah di Malaya dari dahulu sampai sekarang menyebut ¨Tiongkok〃 dengan ¨Cina〃. Sebelum abad 20, di Indonesia juga menyebut ¨Cina〃 pada ¨Tiongkok〃.
Seiring dengan perkembangan gerakan nasional Indonesia, ditahun 1900 orang Tionghoa di Indonesia mendirikan ¨Tionghoa Hui Kwan〃. Dan ditahun itu juga membangun sekolah-sekolah Tionghoa. Pengenalan Hoakiao terhadap tanah leluhurnya makin dalam dan hubungannya juga makin rapat, ¨dari sebelumnya menyebut Cina sebagai Zhong Guo, dan orang Cina sebagai orang Tiongkok, kemudian dirubah menjadi Tiongkok untuk negara dan Tionghoa untuk sebutan orang.〃
Pada tahun 1897, perantau Jepang di Indonesia mendapatkan hak yang sama dengan orang Eropah, ini tentunya sehubungan dengan kuatnya negara Jepang. Hal ini telah membangkitkan kesadaran nasioanal Huakiao. Tahun 1910 pemerintah kolonial Belanda menentukan 3 tingkat warga dalam undang-undang kewarganegaraan: Warga klas-1 adalah orang Eropah (Termasuk orang Jepang); Warga klas-2 adalah orang asing Timur (Terutama orang Tionghoa) dan warga klas-3 adalah orang Indonesia, yang disebut pribumi. Inilah manifestasi politik ¨Perpecahan〃 yang dilakukan kolonial Belanda. Penguasa kolonial Belanda menggunakan istilah ¨Cina〃 untuk menghina para Huakiao, oleh karenanya membuat mayoritas Huakiao sangat jengkel dengan sebutan tersebut.
Sun Yat Sen pada tahun 1905 di Tokio mendirikan Perserikatan Tiongkok, yang menentukan program ¨Pengguntingan kuncir, pemulihan Tionghoa, mendirikan nasion yang mempunayi hak sederajat〃. Dan ditahun 1911 dibawah pimpinan Sun Yat Sen, revolusi Sing-hai menggulingkan dinasti feodal ¨Qing〃, mendirikan Republik Tiongkok, dan setelah itu Huakiao di Indonesia menyebut dirinya sebagai orang Tiongkok, menggantikan istilah ¨Cina〃 dengan ¨Tiongkok〃 untuk sebutan negara dan ¨Tionghoa〃 untuk sebutan orang, sebagai satu sikap memperlakukan ¨hasil kemenangan revolusi Rakyat Tiongkok〃. Dengan demikian memastikan bahwa istilah ¨Cina〃 adalah bermakna penghinaan yang tidak seharusnya digunakan lagi.
Anggaran dasar Tionghoa Hui Kwan pada tahun 1928 juga secara resmi merubah ¨Cina〃 jadi ¨Tionghoa〃. Dan pada tahun itu juga, Gubernur Belanda juga secara resmi menggunakan istilah ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃.
Sejak saat itu, tokoh-tokoh perjuangan nasionalis melawan penjajah Belanda seperti Tjipto Mangunkusumo, Kihajar Dewantoro, Tjokroaminoto, Sutomo dan Sukarno dll. Semua juga sudah menggunakan sebutan ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃. Tidak lagi menggunakan istilah ¨Cina〃. Sejak Indonesia memproklamasikan Kemerdekaan ditahun 1945 sampai sebelum peristiwa ¨G30S〃 1965, pemerintah Indonesia tegas dalam pendirian ini. Termasuk press-media seluruhnya menggunakan ¨Republik Rakyat Tiongkok〃, tidak satupun yang menggunakan ¨Republik Rakyat Cina〃 dan tidak menyatakan orang Tiongkok sebagai orang Cina.
Perlu ditekankan disini, pada saat pembukaan hubungan diplomatik Tiongkok-Indonesia di tahun 1950, didalam dokomen resmi yang ditandatangi kedua belah pihak juga menggunakan Republik Rakyat Tiongkok untuk sebutan ¨Zhong Hua Ren Min Gong He Guo〃, dan selanjutnya pihak pemerintah Indonesia dalam hubungan surat resmi juga menggunakan istilah ¨Tiongkok〃 untuk ¨Zhong Guo〃 dan ¨Tionghoa〃 untuk ¨Zhong Hua〃, sebagai sebutan pada Zhong Guo untuk negara dan orang Tionghoa untuk orang Hua (Hua Ren). Jadi jelas, setelah memasuki abad 20 ini, istilah ¨Cina〃 yang mengandung makna menghina itu sudah tidak digunakan lagi dan yang jelas sangat menyakiti hati para Huakiao itu bisa dimengerti secara baik oleh suku-suku lainnya.
Perlu juga diingat, selama Puluhan tahun itu, Pemerintah Indonesia tetap saja selalu menyatakan mentaati Undang-Undang Dasar 1945. Sedang ayat-pertama Pasal 10 ¨Warganegara〃, jelas menyatakan orang Tionghoa yang lahir di Indonesia sebagai peranakan Tionghoa, dan tidak menggunakan istilah ¨Cina〃.
3. Pemerintah Soeharto mengganti ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃 jadi ¨Cina〃.
Tak lama setelah meletus peristiwa ¨G30S〃, di Indonesia terjadi arus anti Tiongkok dan anti Tionghoa. Tidak hanya di suratkabar, bahkan di tembok kedutaan Tiongkok di Jakarta juga dicoret ¨Ganyang Cina〃 dll semboyan anti Tiongkok dan anti Tionghoa.
Seminar Angkatan Darat ke-2 yang diselenggarakan di Bandung pada tahun 1966 Agustus 25 31, wakil panglima AD Panggabean dalam laporan kesimpulan Seminar pada Suharto — pimpinan Kabinet menyatakan, ¨Demi memulihkan dan keseragaman penggunaan istilah dan bahasa yang dipakai secara umum diluar dan dalam negeri terhadap sebutan negara dan warganya, dan terutama menghilangkan rasa rendah-diri rakyat negeri kita, sekaligus juga untuk menghilangkan segolongan warga negeri kita yang superior, kami melaporkan pada yang mulia, keputusan Seminar untuk memulihkan penggunaan istilah ¨Republik Rakyat Tjina〃 (ZhiNa Ren Min Gong He Guo) dan ¨warganegara Tjina〃 (ZhiNa Gong Min), sebagai ganti sebutan ¨Republik Rakyat Tiongkok〃 dan warga-nya. Dari segi pandang sejarah dan masyarakat, keputusan tersebut adalah tepat.〃 (Setelah penggunaan ejaan baru, Tjina berubah jadi Cina) Bersamaan dengan itu, salah seorang peserta Seminar Letjen Soemitro, didepan pertemuan dengan wartawan mengumumkan Republik Rakyat Tiongkok sebagai Neokolonialisme salahsatu negara imperialis, yaitu
Tjinkolim (Tjina Kolonialisme-imperialisme).
25 Juli 1967, Presidium Kabinet mensahkan keputusan Seminar Angkatan Darat untuk menggunakan istilah ¨Cina〃 sebagai ganti istilah ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃. ¨Presidum Kabinet setelah mempertimbangkan sejarah penggunaan istilah ˉCinaˇ dan sebagai istilah yang disenangi rakyat Indonesia, menyatakan keputusan yang dianjurkan Seminar Angkatan Darat adalah tepat.〃 Kemudian juga dinyatakan, ¨Pernyataan tersebut adalah untuk menyatukan bahasa dan peningkatan efisiensi, menghindari adanya dualisme dalam penggunaan bahasa didalam aparat negara〃. Dengan demikian, secara resmi pemerintah Indonesia menggunakan istilah ¨Cina〃 untuk menggantikan ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃.