4. Reaksi dengan digunakannya istilah ¨Cina〃
* Reaksi Pemerintah Tiongkok
Sejak akhir Agustus 1966, setelah wakil panglima AD melaporkan keputusan pada Soeharto untuk mengganti nama Republik Rakyat Tiongkok, pengumuman resmi pemerintah, siaran Radio-TV dan suratkabar berturut-turut merubah sebutan Republik Rakyat Tiongkok menjadi ¨Republik Rakyat Tjina〃 dan menyebut warga Tionghoa menjadi ¨warga Tjina〃. Pembicaraan Pejabat Menteri Luar Negeri Diah, didepan konfrensi-press 20 September dan Pernyataan Menteri Luar Negeri 23 September mengenai pengiriman kapal dari Tiongkok untuk mengangkut Huakiao yang dipersekusi, telah mulai menggunakan istilah ¨Cina〃 tersebut. Untuk itu, pihak Tiongkok melalui ¨Harian Rakyat〃 pada 27 Oktober menyiarkan editorial:
¨Perubahan sepihak pemerintah Indonesia atas sebutan nama negara Tiongkok, adalah penghinaan besar terhadap Rakyat Tiongkok〃, dan Rakyat Tiongkok menyatakan ¨sangat marah〃 atas sikap pemerintah Indonesia yang tidak bersahabat tersebut.
Editorial lebih lanjut menyatakan: ¨Umum sudah mengetahui bahwa ˉCinaˇ ketika Indonesia pada masa dikuasai oleh kaum imperialis dan kolonialis, adalah istilah yang digunakan untuk menghina rakyat Tiongkok.〃
Dan oleh karenanya, pemerintah Tiongkok telah mengajukan protes berulang kali atas penggantian istilah nama negara secara sepihak oleh pemerintah Indonesia. 28 Pebruari 1967 Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, mengundang Duta Besar Tiongkok untuk menghadiri pembukaan ¨Sidang Istimewa〃 MPRS, secara gegabah merubah Republik Rakyat Tiongkok menjadi ¨Republik Tiongkok〃. Setelah diprotes dengan keras, pihak pimpinan MPRS pada tanggal 3 Maret sekali lagi melempar undangan dengan merubah nama Republik Rakyat Tiongkok menjadi ¨Republik Rakyat Tjina〃. Untuk itu, sekali lagi pihak Duta Besar kami secara tegas dan keras protes terhadap sikap pemerintah Indonesia tersebut.
14 Mei tahun yang sama, pihak kementerian luar negeri Indonesia mengirim surat resmi pada Duta Besar kami, sekali lagi merubah nama negara Republik Rakyat Tiongkok menjadi ¨Repblik Rakyat Tjina〃, dan Duta Besar kami untuk kesekian kalinya mengajukan protes sekeras-kerasnya. Menyatakan tindakan pemerintah Indonesia demikian itu adalah satu penghinaan dan provokasi yang serius terhadap Republik Rakyat Tiongkok.
Pada tanggal 4 Desember 1989, delegasi Tiongkok yang dipimpin oleh wakil Menlu Shu Guo Xin tiba di Jakarta, untuk memperbincangkan masalah teknis normalisasi hubungan diplomatik kedua negara. Berdasarkan yang disiarkan ssurat kabar di Indonesia, dalam perbincangan kedua negara, pihak Tiongkok tegas mempertahankan sebutan ¨Republik Rakyat Tiongkok〃 dan bukan ¨Republik Rakyat Cina〃, karena istilah ¨Cina〃 mengandung pengertian menghina. Tapi pihak pemerintah Indonesia bertahan dan berpendapat masalah istilah ini diluar agenda yang diperbincangkan.
Secara tegas dan keras mempertahankan penyatuan dan keseragaman istilah yang digunakan internasional adalah satu pendirian ilmiah yang tepat.
Pada tahun 1994, ketika Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok, J. Juwana mengunjungi Universitas BeiJing mengungkap peristiwa yang terjadi: Pada saat beliau menyerahkan Surat Kuasa Negara pada Presiden Tiongkok, surat kuasa semula menggunakan sebutan ˉCina〃. Kontan saja Pemerintah Tiongkok menolak dan mengembalikan surat kuasa itu. Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok terpaksa mengirim kembali Suarat Kuasa itu ke Jakarta, untuk merubahnya dengan ejaan bahasa Inggris ¨China〃 dalam sebutan Tiongkok, barulah surat kuasa itu diterima.
Majalah ¨Indonesia dan Asian〃 (No-111, Juli 2000) dalam reportase wawancara dengan Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia, Chen Shi Qiu mengenai masalah ¨Cina〃, Duta Chen secara tegas menandaskan: Kebencian rakyat Tiongkok terhadap sebutan ¨Cina〃 ada sebab sejarahnya. Rakyat Tiongkok mendengar sebutan ¨Cina〃 menjadi terkenang pengalaman pahit yang terhina dan tersiksa yang dialaminya selama penjajahan imperialis-Jepang. Sebutan ¨Cina〃 sangat melukai perasaan rakyat Tiongkok. Sebelum tahun 1967, di Indonesia selalu menggunakan sebutan ¨Tiongkok〃, begitu juga bahasa yang digunakan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tapi, setelah dikeluarkannya Ketetapan Presiden dan Presidium Kabinet ditahun 1967, merubah sebutan Tiongkok jadi Cina. Sudah tentu ini adalah tindakan yang sangat tidak bersahabat terhadap Tiongkok. Pada saat normalisasi hubungan diplomatik kedua negara ditahun 1990, kedua belah pihak
juga sudah mencapai kesepakatan resmi, semua dokumen pemerintahan Indonesia
menggunakan sebutan ¨China〃 untuk Tiongkok, dan tidak lagi menggunakan ¨Cina〃. Tetap sangat disesalkan, sampai saat kini masih saja sementara aparat pemerintah dan suratkabar tertentu tetap saja menggunakan sebutan ¨Cina〃. Kami sangat mengaharapkan mereka bisa bertolak atas dasar menghormati perasaan Rakyat Tiongkok, memperbaiki sebutan yang salah itu, dan dengan demikian bisa memainkan peranan secara aktif meningkatkan persahabatan rakyat kedua negara.
* Reaksi orang Tionghoa dirantau.
Orang-orang Tionghoa kelahiran Indonesia sebelum tahun 60 abad 20, umumnya mengerti adanya perbedaan makna dari dua sebutan ¨Tiongkok〃 dan ¨Cina〃 itu, bahkan mereka merasakan sendiri kepahitan sejarah ketika itu. Seorang pelajar Leo Suryadinata (Liao Jian Yi) di Singapore menyatakan: Sebutan ¨Cina〃 bagi orang Tionghoa kelahiran Indonesia adalah mengandung arti penghinaan. Juga pelajar Indonesia, Li Tik Tjing menyatakan: ¨Di Asia Tenggara, terutama bagi peranakan Tionghoa dan Hakiao di Indonesia, setelah mereka berhubungan dengan bangsa Melayu, merasa terhina kalau mereka menyebutkan ˉCinaˇ untuk Tiongkok dan Tionghoa.〃 Li Tik Tjing pada tahun 1988 di majalah Vista No27, ketika menjawab pertanyaan wartawan, juga tetap mempertahankan pendapatnya sampai saat kini didalam bahasa Indonesia ˉCinaˇ bermakna penghinaan. Kami berpendapat, yang dimaksud orang Tionghoa kelahiran Indonesia (baik peranakan Tionghoa maupun Huakiao) oleh Leo Suryadinata dan Li Tik Tjing, pada pokoknya adalah orang-orang Tionghoa Indonesia yang lahir sebelum tahun 60. Siauw Giok Tjhan dalam bukunya ¨Lima Jaman〃 juga secara jelas menunjukkan〃 Pemerintah Suharto sengaja
merubah ¨Tiongkok〃 jadi ¨Cina〃 untuk menghina Tiongkok. Wartawan Oei Liong Thai, peranakan Tionghoa yang pada tahun 70-an menetap di Belanda juga berkali-kali menunjukkan: Yang tepat adalah ¨Tionghoa〃 dan seharusnya mencampakan ¨Cina〃.
Beberapa tahun terakhir ini, kami berkesempatan mengunjungi Indonesia, Eropah dan juga di Bei Jing sendiri ketika bertemu dan bercakap-cakap dengan orang-orang tua dan setengah baya Tionghoa, pada umumnya mereka tidak menggunakan ¨Cina〃 dalam menyebut Tiongkok, sudah barang tentu pada masa kekuasaan Soeharto didepan umum dan dalam tulisan resmi, mereka terpaksa harus menggunakan juga istilah ¨cina〃 itu. Bisa dimengerti, demi keselamatan mereka sendiri. Kami juga tidak menyangkal diantara orang tua Tionghoa ada juga yang mengambil sikap tidak apa-apa dengan sebutan “cina〃,tetapi mayoritas orang Tionghoa tidak bisa menerimanya.
Bagi orang Tionghoa yang lahir setelah tahun 60, karena tidak mengerti latar belakang sejarah kedua istilah itu, ditambah sebagai satu ketentuan resmi pemerintah Soeharto mencekokinya melalui Radio, TV dan media pers dengan menggunakan istilah ¨Cina〃 dalam menyebutkan Tiongkok, dan mayoritas mereka dalam menyebut ¨Cina〃 juga tidak bermaksud menghina, maka akhir-akhir ini pemuda-pemuda Tionghoa dari Indonesia yang melancong ke Tiongkok juga menjadi sedikit yang menggunakan istilah ¨Tiongkok〃.
Perlu ditekankan disini, sekalipun di Malaysia dan Singapore dalam bahasa Melayu mereka menyebut Tiongkok dengan ¨China〃, orang Tionghoa setempat dan peranakan Tionghoa sebagai Keturunan Cina, menyebutkan suku Tionghoa sebagai Kaum Cina, tetapi tidak sedikitpun mengandung pengertian menghina. Ini disebabkan karena di Singapore dan Malaysia tidak pernah terjadi peristiwa politik yang sengaja merubah sebutan ¨Tiongkok〃 dan Tionghoa〃 menjadi ¨Cina〃 untuk menghina Tiongkok dalam rangka politik anti-Tiongkok dan anti-Tionghoa, seperti yang terjadi di Indonesia pada tahun 1967. Ketika kami mengunjungi Singapore dan Malaysia, mendapatkan pengertian bahwa istilah ¨Cina〃 tidak bermakna penghinaan bagi orang Tionghoa dan Huakiao di Singapore dan Malaysia. Jadi, sungguh berbeda dengan latar belakang khusus dan sejarah khusus yang terjadi di Indonesia, yang tidak bisa diragukan lagi, bahwa
sementara orang Indonesia justru sengaja menggunakan istilah ¨Cina〃 ini untuk
menghina Tiongkok dan orang Tionghoa.
* Reaksi dari Bumiputera Indonesia
Harian ¨Kompas〃 28 April 1967 memuat surat Mochtar Lubis, seorang wartawan dan penulis ternama, didalam surat itu menandaskan bahwa penggunaan istilah ¨Cina〃 setidaknya telah melukai perasaan peranakan Tionghoa di Indonesia.
Surat kabar ¨Sinar Harapan〃 tertanggal 3 Mei 1967 juga telah memuat surat seorang pembaca, Alexsander yang menyatakan: ¨Kami bangsa Indonesia yang berjiwa besar, tidak seharusnya melukai perasaan suku bangsa lain, jadi sudah seharusnya menghentikan penggunaan istilah ˉCinaˇ〃.
Bahkan didalam intern Angkatan Darat juga ada orang yang menentang digunakannya istilah ¨Cina〃. Mereka mengatakan: ¨Seandainya tindakan demikian itu mengakibatkan kehilangan simpatik orang Tionghoa di wilayah Indonesia dan Asia Tenggara, maka akan mengancam kestabilan rencana ekonomi dari kabinet. Seandainya tujuan kita adalah meng-hina Republik Rakyat Tiongkok dan Partai Komunis Tiongkok, perubahan penggunaan istilah ¨Cina〃 itu tidak akan mencapai tujuan, karena yang lebih dahulu terkena, merasa terhina dan terlukai perasaannya adalah orang-orang Tionghoa di Asia Tenggara terutama di Indonesia.〃
Harian ¨Angkatan Bersenjata〃 tanggal 8 Agustus 1967, memuat tulisan Jauhari Achmad, yang mencoba memberikan penjelasan dan pembelaan atas penggunaan istilah ¨Cina〃. Dia menyatakan digunakannya kembali istilah ¨Cina〃 bisa secara cepat mendapatkan sambutan secara luas, membuktikan bahwa istilah itu sesuai dengan kehendak rakyat Indonesia. Penulis menyangkal bahwa istilah ¨Cina〃 mengandung arti penghinaan. Dikatakan selanjutnya, seandainya bermakna penghinaaan, itu juga dibuat oleh masyarakat orang Tionghoa sendiri. ¨Kesensitifan orang Tionghoa dalam masalah ini berhubungan erat dengan sikap dan tindakan mereka dibidang perdagangan. Sikap dan tindakan mereka itu justru yang melukai perasaan pribumi Indonesia.〃
Dibawah tekanan keras dari pemerintah Soeharto setelah tahun 1967, sebagian besar pers-suratkabar menyebutkan Tiongkok dengan ¨Cina〃, hanya sebagian kecil saja, seperti Harian ¨Merdeka〃 pernah bertahan menggunakan istilah ¨Tiongkok〃 dalam jangka waktu cukup lama. ¨Kamus Besar Indonesia〃 terbitan Departemen Pendidikan cetakan tahun 1988, tidak lagi bisa ditemukan istilah ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃. Yang ada hanyalah ¨Cina〃 yang berarti 1. satu negara besar di Asia; 2. Suku bangsa yang tinggal dinegara itu. Dan dalam penjelasan lebih lanjut dinyatakan ¨Republik Rakyat Cina. Kecuali itu, ada juga sementara politikus dalam pembicaraan dan tulisannya sekaligus menggunakan Cina dan Tiongkok.
Sampai pada tahun 1997, dikeluarkannya ¨Kamus Umum Mandarin – Indonesia〃 terbitan Universitas Indonesia, juga tidak terdapat istilah ¨Tiongkok〃, yang ada hanya kata ¨Zhong Hua〃 diterjemahkan jadi Tionghoa. Sedang dalam penjelasan tambahan ke-13 kata ¨Zhong Guo〃 diterjemahkan jadi ¨Cina〃 dan ¨Zhong Hua Ren Min Gong He Guo〃 diterjemahkan jadi ¨Republik Rakyat Cina〃. Inilah akibat politik anti Tiongkok dan anti Tionghoa yang telah merasuk dan meluas dijaman pemerintahan Soeharto.
Sungguh sangat menggembirakan kita, perkembangan reformasi dan demokrasi di Indonesia akhir-akhir ini telah membawakan suasana baru. Pada saat Abdurrahman Wahid menjabat Presiden Indonesia diakhir tahun 1999, pejabat-pejabat resmi pemerintahan mulai menggunakan lagi istilah ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃 menggantikan ¨Cina〃. Presiden Wahid sendiri memelopori dalam kata sambutannya menggunakan istilah ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃. Penulis ketika mengunjungi Indonesia pada Agustus 2000, sahabat-sahabat lama menjelaskan pada penulis, bahwa Presiden Wahid didalam laporan kerja pemerintah bulan Agustus itu, sudah secara tegas menggunakan sebutan ¨Republik Rakyat Tiongkok〃
dan tidak lagi menyebut ¨Republik Rakyat Cina〃. Tentu ini adalah satu berita yang sangat menggemberikan.
Dalam laporan lain, yang pada saat kini menjabat wakil Presiden, Megawati bahkan merasakan dirinya bangga bisa menggunakan istilah ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃 lagi. Pada tahun 1998 didepan rapat massa di Jawa Timur, Megawati bahkan pernah mengatakan: ¨Sejak dahulu sampai sekarang, saya tetap menggunakan sebutan Tiongkok dan Tionghoa, keyakinan saya ini tidak berubah untuk selama-lamanya〃.
September 1999, Konsulat Indonesia di Hong Kong ketika mengucapkan Selamat 50 Tahun Berdirinya Republik Rakyat Tiongkok dan pada bulan Juni 2000 dalam rangka memperingati 50 tahun Hubungan Diplomatik RI-RRT, beliau juga sudah menggunakan istilah ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃, tidak lagi ¨Cina〃.
Agustus 2000, ketika Wakil Presiden Tiongkok Hu Jin Tao mengunjungi Indonesia, Duta Besar Indonesia di Tiongkok, Kuntara yang menyertai delegasi, dalam setiap siaran pers dan pembicaraan didepan umum, beliau menggunakan istilah Republik Rakyat China.
Mayoritas yang dinamakan pribumi Indonesia bisa mengerti, demi menghormati dan tidak melukai perasaan rakyat Tiongkok dan peranakan Tionghoa yang hidup di Indonesia, mereka bisa tidak menggunakan sebutan ¨Cina〃 lagi, tapi kembali menggunakan sebutan ¨Tiongkok〃 dan ¨Tionghoa〃. Tetapi, karena penggunaan istilah ¨Cina〃 yang dipaksakan itu sudah berlangsung dan terbiasa selama puluhan tahun, tidaklah aneh kalau akhirnya sudah menjadi sebutan sehari-hari.
Dan dengan demikian kitapun tidak perlu terlalu kecewa dan pesimis. Sayapun yakin, mayoritas mutlak mereka tentunya tidak ada maksud untuk menghina dan melukai perasaan rakyat Tiongkok, dan bisa bersahabat bagaiakan sesaudara dengan peranakan Tionghoa yang sudah hidup turun temurun di Indonesia. Kita harus bisa sabar melancarkan propaganda dan menanti kesediaan mereka merubah sebutan yang tidak tepat itu