Budaya-Tionghoa.Net | Tulisan saya tentang Baperki ternyata mengundang banyak tanggapan dan pertanyaan, baik langsung ke saya atau melalui beberapa jalur lainnya. Mungkin terlalu banyak pertanyaan atau hal yang bisa ditanggapi dalam sebuah e-mail. Kalau dilakukan tanggapannya akan panjang dan tidak coherent. Saya putuskan untuk menulis sebuah tanggapan singkat yang diharap secara global menjawab berbagai pertanyaan dan juga menanggapi hal-hal yang diangkat oleh banyak teman. E-mail ini juga diharapkan bisa mendorong para teman untuk terus memikirkan masalah pelik dan jangka panjang yang dihadapi Komunitas Tionghoa khususnya dan Indonesia umumnya.
|
Relevansi Sejarah
Sebenarnya saya sendiri kurang mendukung adanya pencurahan tenaga dan pikiran yang berlebihan atas kiri atau tidaknya Baperki, Komunis atau tidaknya Siauw Giok Tjhan, terlibat atau tidaknya Baperki dalam peristiwa G-30-S dll.
Apalagi bila kita melihat perkembangan dunia di masa kini dan mendatang. Bukankah perang dingin antara dunia kiri dan kanan sudah berakhir? Bukankah RRT ¡V negara raksasa yang masih sepenuhnya berada di bawah pimpinan Partai Komunis Tiongkok ¡V sudah berpelukan dengan dunia Barat yang pernah memusuhinya? Bukankah komunisme “kalah pamor¨” dibandingkan terorisme sebagai momok yang ditakuti di dunia?
RRT dan RI sudah cukup lama menjalin hubungan diplomatik-nya. RRT kini muncul sebagai negara yang mampu membantu pembangunan ekonomi Indonesia. Jumlah delegasi dagang RRT ke Indonesia kini terdaftar paling besar dibanding negara-negara lain. Kita juga melihat begitu banyak tokoh Indonesia ¡V baik dari kalangan yang dinamakan pribumi maupun Tionghoa yang di zaman Demokrasi Terpimpin maupun Orde Baru begitu terkenal anti-komunis-nya — selama 4 tahun terakhir ini berbondong-bondong berlomba mendekati RRT untuk berdagang.
Kesemua ini menujukkan bahwa diskusi tentang apakah Baperki/Siauw Giok Tjhan komunis, bisa dikatakan tidak relevan ¡V apalagi dalam memikirkan masalah ke depan.
Yang masih relevan untuk dibicarakan kiranya adalah: Apa yang menjadi dasar perjuangan Baperki dan apakah dasar perjuangan ini masih bisa dipergunakan untuk membangun Nasion Indonesia di masa modern.
Dalam konteks ini-lah perlu dibahas secara praktis , artinya tidak secara berlebih lebihan ¡V apakah benar Baperki dengan dasar/prinsip perjuangannya itu telah membawa malapetaka yang berkepanjangan. Alasan inilah yang mendorong saya untuk mengeluarkan 2 tulisan beberapa hari yang lalu. Bukan untuk memperuncing perdebatan apakah Baperki atau Siauw Giok Tjhan itu komunis atau bukan.
Kiri atau Kanan
Akan tetapi untuk memberi gambaran yang mungkin lebih objektif, saya bisa mengutarakan secara singkat beberapa hal sbb:
Bilamana betul ada kelompok yang dinamakan anggota PKI rahasia yang tidak resmi, maka sejarah tidak akan bisa secara objektif memastikannya. Apalagi bilamana ada tuntutan yang sifatnya akademik. Penuturan yang akademik atau objektif harus sebanyak mungkin bersandar atas dokumentasi dan penuturan sebanyak mungkin saksi hidup ¡V check and cross check. Dalam hal Siauw Giok Tjhan dan keterlibatan Baperki dengan PKI ini sudah dijalankan. Dan kesimpulannya telah saya utarakan dalam berbagai kesempatan sehingga tidak perlu diulang lagi.
Bahwa Baperki di bawah pimpinan Siauw Giok Tjhan memilih jalur politik Kiri , jadi berada di dalam “perahu” Soekarno dan PKI di zaman Demokrasi terpimpin, itu benar. Kiranya ini merupakan keputusan politik praktis. Berada di dalam perahu Soekarno dan PKI yang ketika itu (1963-1965) berada di atas angin, memungkinkan Baperki berkembang dalam bidang politik, pendidikan dan kebudayaan. Perahu yang memusuhinya justru terdiri dari elemen-elemen anti Tionghoa. Sama halnya dengan LPKB. Pada awal zaman Orde Baru, hanya dengan sepenuhnya mendukung kekuasaan Soeharto ia bisa berkembang dan berpengaruh.
Bahwa kebijakan untuk sepenuhnya tergantung pada rezim yang berkuasa-seperti yang dilakukan oleh Baperki di zaman Demokrasi Terpimpin dan LPKB di zaman Orde Baru ¡V bukanlah kebijakan yang tepat, itu saya dukung.
Setiap zaman melahirkan pemenang politik yang berbeda. Di zaman Demokrasi Terpimpin, kelompok kiri-lah yang menang, sehingga yang bisa berpengaruh dan berkembang adalah parpol dan ormas yang cenderung kiri. Di zaman Orde Baru, pemenangnya adalah kelompok yang berhaluan kanan. Ketika Orde Baru tumbang, cukup banyak pengikut Golkar yang khawatir bahwa mereka akan kena pembersihan. Bahkan cukup banyak yang khawatir akan keluar “surat bebas Golkar¡” menggantikan “surat bebas G-30-S/PKI”. Di zaman pemerintahan Megawati dan SBY, tentunya kiri atau kanan tidak memiliki relevansi lagi.
Integrasi Vs Assimilasi
Ini pun merupakan pertentangan prinsip ketika itu, yang sempat dikaitkan dengan polarisasi politik , tanpa dasar pemikiran sehat. Ada yang menyatakan bahwa ada aliran Integrasi komunis (Siauw Giok Tjhan) dan Integrasi beragama (Yap Thiam Hien). Lalu ada aliran Assimilasi Total Kanan (LPKB).
Riset yang teliti pasti mendukung kesimpulan bahwa integrasi yang didukung oleh Siauw dan Yap tidak berlainan. Dan paham integrasi yang dicanangkan kedua tokoh ini tidak bersandar atas ideologi politik.
Perdebatan sengit yang dimulai sekitar 45 tahun lalu ini hendaknya juga tidak dilanjutkan secara dogmatis.
Integrasi tidak bisa dipaksakan. Ia adalah bagian dari perjuangan membangun sebuah nasion. Assimilasi Total tidak mungkin dicapai , apalagi kalau pengertian Total itu mengandung paksaan. Pelaksanaan paham assimilasi yang dipaksakan oleh rezim Orde Baru dalam bentuk hukum jelas gagal total dalam menciptakan sebuah keharmonisan yang diimpikan para pencetus paham assimilasi.
Seandainya kedua jalan keluar ini , integrasi dan assimilasi , dilakukan dan berkembang secara wajar, yang terwujud adalah sebuah masyarakat Ber-Bhineka Tunggal Ika, yang di zaman modern dikenal sebagai masyarakat yang bersandar atas unsur Multi-culturalism. Banyak negara maju modern menerima ini sebagai dasar Nasion mereka.
A Citizenship-based Nation
Salah satu dasar perjuangan Baperki yang utama adalah diwujudkannya Nasion Indonesia yang sepenuhnya bersandar atas Kewarganegaraan , a citizenship-based nation.
Bilamana ini dijadikan pegangan baik oleh yang berkuasa maupun masyarakat kita, hilanglah kemungkinan untuk berlakunya kebijakan atau undang-undang yang rasist. Karena di mata hukum a citizenship-based nation, yang dikenal hanyalah Kewarganegaraan Indonesia. Latar belakang etnis setiap Warga Negara Indonesia tidak memiliki dampak hukum apapun ¡V baik negatif maupun positif.
Dengan demikian pemerintah tidak perlu melahirkan dan melaksanakan kebijakan yang didesain untuk melindungi sebagian Warga Negara yang memiliki klasifikasi “pribumi”.
Masyarakat yang diharapkan ini menuntut persamaan hak dan kewajiban pada setiap Warga Negara Indonesia. Dasar perjuangan ini masih Relevan dan masih harus dijadikan dasar perjuangan setiap kelompok yang ingin membangun Indonesia.
Partisipasi dalam kancah politik nasional
Pengalaman Baperki menujukkan bahwa bilamana komunitas Tionghoa berpartisipasi dalam kancah politik nasional dan menjadikan aspirasi rakyat Indonesia sebagai aspirasinya, ia akan lebih efektif dalam melindungi kehadirannya sebagai bagian dari tubuh bangsa Indonesia.
Sejarah Baperki dan LPKB menunjukkan bahwa kegiatan politik ini tidak boleh hanya dilakukan di lapisan atas , tidak boleh hanya dekat dengan pihak yang berkuasa. Karena kebijakan seperti ini tidak bersifat jangka panjang. Begitu ada pergantian penguasa, kehadirannya terancam.
Komunitas Tionghoa harus terjun di berbagai lapisan, terutama di arus bawah ¡V dekat dan menjadi satu dengan rakyat. Hanya dengan cara inilah kehadiran jangka panjangnya terjamin.
Ajakan
Diharap tanggapan ini mendorong diskusi yang lebih mengarah ke depan. Saya mendukung ajakan beberapa teman untuk tidak menghabiskan waktu dan tenaga mencaci maki organisasi-organisasi atau tokoh-tokoh yang tidak lagi memainkan peranan dalam perjuangan di masa kini. Setiap pelaku sejarah memiliki kelemahan dan melakukan kesalahan.
Cukup kita bahas secara objektif kekuatan dan kelemahan pikiran dan sumbangsih para pelaku sejarah yang disinggung. Pembahasan ini lalu kita jadikan sebagian dari sandaran untuk memformulasi jalan ke depan.
Diposting oleh HKSIS ke Mailing List Budaya Tionghua 11707 , 3 April 2005
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa