Budaya-Tionghoa.Net | Ketika kita membicarakan kebudayaan, sesungguhnyalah kita sudah memasuki ranah kehidupan yang sangat luas dan substansial. Kebudayaan adalah keseluruhan gaya hidup dan perilaku suatu kelompok sosial dalam memenuhi kebutuhan hidup dan mengaktualisasikan dirinya. Dia terbentuk dari respons dan interaksi antar anggota kelompok dan antara kelompok dengan lingkungannya, baik Tuhan, alam maupun kelompok sosial lainnya.
|
Dari proses dialektis dalam alur kesejarahan, akan terbentuk kepribadian kelompok sosial sebagai entitas moral yang merupakan rohnya kebudayaan. Bertolak dari kehidupan budaya yang merupakan ekspresi kepribadian itulah akan terbangun peradaban. Oleh karena itu kalau kita akan membicarakan tentang kebudayaan, tidak cukup hanya melihat kulit dan produknya, melainkan harus berangkat dari hal-hal yang lebih substantif.
Kalau kita hendak membicarakan kebudayaan Indonesia, pastilah tidak terlepas dari sejarah kelahiran bangsa Indonesia dan proses pembentukan jati dirinya. Melalui proses pergerakan perjuangan panjang, sampailah kita kepada tiga tonggak sejarah kelahiran dan pembentukan jati diri bangsa Inddonesia.
Pertama, Sumpah Pemuda yang dicanangkan pada tanggal 28 Oktober 1928 adalah pernyataan politik dan budaya yang lahir dari kesadaran atas penderitaan panjang dalam penindasan kolonialisme. Kesadaran untuk bersatu sebagai satu bangsa dengan perekat bahasa yang satu dalam satu kesatuan wilayah telah mengental, dan pada saat itulah bangsa Indonesia lahir. Di kemudian hari kebulatan tekad itulah yang mampu mengantarkan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya.
Kedua, pada tgl. 1 Juni 1945, di depan sidang BPUPKI, Bung Karno menyampaikan usul yang merupakan jawaban atas permintaan Ketua sidang tentang dasar negara apabila Indonesia telah merdeka. Usul yang berisi uraian tentang Pancasila yang merupakan Philofische grondsalg atau Weltaanschaung tersebut secara aklamasi disepakati sebagai dasar negara tersebut. Hari/tanggal tersebut merupakan hari lahir Pancasila.
Ketiga, satu hari sesudah Proklamasi Kemerdekaan, dicanangkanlah Deklarasi Kemerdekaan sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam Deklarasi Kemerdekaan inilah diformulasikan jati diri dan cita-cita luhur bangsa Indonesia untuk membangun peradaban bangsa dan manusia. Bagi bangsa Indonesia, kemerdekaan adalah hak segala bangsa, oleh karenanya semua bentuk penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan. Selanjutnya, didalamnya tertuang visi dalam mendirikan negara, misi pemerintahan yang dibentuk, serta sifat dan dasar negara. Deklarasi Kemerdekaan adalah raison d’etre bangsa Indonesia.
Sebagai jembatan untuk mewujudkan visi dan misi tersebut, Bung Karno meletakkan tiga pilar kemerdekaan yang disebut Trisakti, yaitu berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan, untuk ditegakkan diatas landasan Nation and character building.
Imperialisme kebudayaan.
Namun cita-cita luhur tersebut tidak dapat terwujud karena adanya keingkaran-keingkaran elemen di dalam negeri dan terus dilancarkannya imperialisme kebudayaan. Tentang imperialisme kebudayaan, James Petras (2000) menyatakan dengan jelas : “Dalam kaitannya dengan Dunia Ketiga, imperialisme budaya dapat didefinisikan sebagai penetrasi dan dominasi yang sistematik terhadap kehidupan kultural kelas-kelas masyarakat/rakyat oleh kelas penguasa Barat dalam rangka membentuk tata nilai kehidupan, perilaku, institusi, dan jati diri rakyat yang ditindas agar memenuhi kepentingan kelas-kelas penjajah. Imperialisme budaya telah menerapkan baik dalam bentuk “tradisional” maupun modern”.
Dengan selubung bahwa kebudayaan merupakan bidang yang terpisah dari kehidupan politik, imperialisme justru menggunakan kebudayaan untuk mencapai tujuan politik maupun ekonomi. Dalam kepentingan politiknya imperialisme berusaha untuk memperkuat hegemoninya dengan mematikan kesadaran politik rakyat, mencerabut dari akar budayanya, merusak kesadaran dan ikatan kolektif, serta memisahkan hubungan antara elite dengan rakyat. Sedangkan di bidang ekonomi, imperialisme berusaha menguasai pasar, baik untuk produk manufaktur maupun jasa (termasuk entertainment) dengan mengembangkan pola hidup konsumtif.
Penetrasi kebudayaan terus menerus terjadi di Indonesia sejak awal kemerdekaan, dan mendapat ruang yang begitu leluasa setelah mereka berhasil menjatuhkan Bung Karno dari kekuasaannya melalui tragedi berdarah pada dini hari 1 Oktober 1965.
Bersamaan dengan mengalirnya modal asing, membanjirlah kebudayaan Barat melanda pagar dan benih-benih kebudayaan Nasional. Kemudian dihadirkanlah dewa baru dalam kehidupan : pasar! Pragmatisme disebar luaskan, dan pola hidup hedonistik dikembangkan. Maka merebaklah materialisasi kehidupan yang pada hakekatnya adalah depolitisasi dan deideologisasi. Konglomerasi yang tumbuh dengan cepat telah mendorong terbentangnya jurang kesenjangan ekonomi yang juga menimbulkan kesenjangan budaya. Mereka yang berada di lapisan atas menikmati kehidupan dengan pola hidup
konsumtifnya, sedangkan di lapisan bawah yang ditindih penderitaan hanya mampu menikmati kenikmatan orang lain, atau berusaha meniru gaya hidup dari lapisan atas sehingga tercerabut dari akar budayanya.
Rakyat yang menderita dibius untuk melihat bangunan-bangunan megah tempat berkumpulnya mereka yang melakukan pemerasan dan penindasan sebagai kemajuan. Penggusuran paksa untuk membuat lapangan golf atau apartemen dinyatakan sebagai pembangunan, sedangkan mereka yang berusaha mempertahankan haknya dituduh sebagai perusuh atau pembangkang.
Dalam melakukan pembiusan dan penyesatan pikiran, imperialisme juga menggunakan media massa, baik media cetak maupun elektronik, periklanan, artis, penerbitan dan intelektual sebagai instrumen yang sangat efektif.
Penetrasi kebudayaan tidak hanya terjadi di tempat-tempat umum, tetapi menerobos masuk ke lingkaran kehidupan terkecil, rumah tangga. Mulai pagi sampai malam kita disuguhi dan kemudian menjadi akrab dengan kekerasan dan darah, kemewahan, pertengkaran keluarga, perselingkuhan, cari uang dengan cara gampang, alam mistis dan tontonan ilusif.
Kreativitas kolektif dihancurkan, individualitas dikedepankan. Masyarakat didorong untuk memiliki alam pikiran bahwa masalah kehidupan sepenuhnya merupakan masalah individual, sehingga orang menjadi lupa bahwa sesungguhnya kehidupan ini merupakan produk dari sebuah sistem.
Sebagai bagian dari deideologisasi, pengelabuan dan penyesatan pemahaman makna modern, obyektif, independen, kebebasan, demokrasi, yang kemudian diangkat sebagai simbol-simbol kemajuan diindoktrinasikan melalui berbagai media dan forum untuk memutus keberpihakan kepada rakyat, dengan mendewakan individualisme dan menghamba kepada imperialisme.
Pendikotomian antara teori dan praktek, pluralisme dan kesatuan, sipil dan militer, disodorkan sebagai alternatif yang harus dipilih sebagai upaya untuk memutus rangkaian dari suatu proses atau jalinan kekuatan. Civil society yang sesungguhnya berarti masyarakat beradab, diplintir menjadi kekuasaan sipil, untuk memutus keakraban hubungan antara sipil dengan
militer.
Dampak dari imperialisme kebudayaan benar-benar sudah merambah ke semua bidang kehidupan. Pragmatisme dan hedonisme mendorong orang untuk berpikir individualistis dan menempuh kehidupan melalui jalan pintas. Demoralisasi telah melanda seluruh lapisan masyarakat. Solidaritas sosial dan rasa persatuan semakin rapuh, konflik horisontal dan vertikal menyeruak, perampokan dan kejahatan seksual menjadi berita keseharian, korupsi merebak di semua lapisan.
Fungsi-fungsi kelembagaanpun tidak luput dari proses penghancuran. Kalau melalui perombakan UUD 1945 fungsi MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara telah diamputasi, fungsi Presiden direduksi dan hubungan antar lembaga mengalami kerancuan, kini giliran partai sebagai infra struktur politik sedang mengalami pembusukan. Kondisi partai yang kebanyakan tidak menganut ideologi yang jelas dan banyaknya elite partai yang terkena kasus pidana maupun politik merupakan kondisi yang empuk untuk pendistruksian. Apabila tidak segera diadakan pembenahan, pada saatnya peranan partai akan
digantikan oleh individu dengan selubung profesionalisme.
Pendidikan yang seharusnya merupakan lembaga penyiapan kader bangsa dan salah satu pusat kebudayaan telah berubah menjadi pabrik tenaga kerja siap pakai. Sedangkan kesenian yang merupakan media pengekspresian jati diri dan falsafati telah bergeser sekedar menjadi hiburan. Ketika telah terjadi komersialisasi pendidikan dan kesenian, maka pendidikan dan kesenian hanya akan menjadi milik orang kaya, sedangkan mayoritas rakyat yang sangat membutuhkan perbaikan hidup, tegaknya keberdayaan dan kedaulatan serta keadilan, akan semakin tercampak pada kesengsaraan, kebodohan dan kenestapaan.
Carut marut situasi kehidupan menjadi semakin parah setelah dilakukan perombakan UUD 1945 sehingga tidak lagi merupakan derivat dari Pembukaannya. Pancasila sebagai way of life sudah terdistorsi dan tidak lagi menjadi pedoman. Orang tidak tahu lagi kemana sesungguhnya arah kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat ini. Bangsa Indonesia telah mengalami disorientasi. Tiadanya nilai-nilai (values) dalam kehidupan merupakan kondisi yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia telah terjerumus dalam krisis kebudayaan.
Kembali kepada jati-diri bangsa
Kalau disorientasi dan krisis kebudayaan ini dibiarkan terus berlarut, bangsa Indonesia akan terseret kepada kehidupan yang lebih parah lagi. Hidup tanpa tata nilai, sekedar mengalir tanpa tahu kemana akan bermuara. Dan kita akan mensia-siakan perjuangan yang telah dilakukan oleh pendahulu kita dengan merelakan segala yang menjadi miliknya, termasuk jiwanya, untuk mencapai cita-cita luhur yang merupakan kristalisasi dari aspirasi bangsa Indonesia.
Ketika kita sudah tidak tahu lagi kemana sesungguhnya arah dari kehidupan ini, ketika disorientasi sudah menimpa kita, ketika krisis kebudayaan telah melanda kehidupan, maka satu-satunya jalan untuk menyelamatkan adalah dengan kembali kepada jati diri kita, jati diri bangsa Indonesia.
Dengan kembali kepada jati diri itu kita akan tahu kemana tujuan hidup ini, dan akan mampu mengukur sejauh mana kemajuan yang telah kita capai atau kemunduran yang menekan kita. Kita akan tahu sejauh mana hasil perjuangkan kita dalam mendirikan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas dasar itu pula kita akan dapat menilai sejauh mana usaha Pemerintah dan tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan fungsinya untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Inilah cita-cita peradaban yang ingin diwujudkan dalam mendirikan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan Pancasila.
Berangkat dari cita-cita peradaban yang merupakan jati diri bangsa ini, pemahamanan yang menyesatkan dan pendikotomian yang hanya menimbulkan persengketaan akan dapat diluruskan.
Proses terbentuk dan berkembangnya bahasa Indonesia merupakan fakta bahwa antara kebudayaan kesatuan dan pluralisme tidak perlu didikotomikan. Bahasa Indonesia sebagai bahasa kesatuan tidak pernah saling merusak dengan bahasa daerah, melainkan saling memperkaya. Proses ini sekaligus juga merupakan bukti bahwa praksis dapat berjalan secara lurus karena ada konsistensi terhadap substansi yang telah disepakati bersama.
Dengan pola pikir ini segala ketersesatan harus segera dibongkar, kembali kepada jati diri, menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila. Nation and character building merupakan hal yang sangat mendesak untuk dibangkitkan kembali.
Demokrasi tanpa menempatkan rakyat sebagai subyek yang berpartisipasi aktif dengan segala keberdayaan dan kedaulatannya bukanlah demokrasi. Independen adalah kebebasan dari ketergantungan dan ketertindasan, keberpihakan kepada rakyat berdasarkan jati diri bangsa.***
Soenarto H.M.
Yogyakarta, 6 September 2004
*) disajikan dalam diskusi publik “Peran Serta Generasi Muda & Pemerintah Dalam Menumbuh Kembangkan Kebudayaan Indonesia”, diselenggarakan oleh DPC GMNI Bandar Lampung tgl. 7 September 2004.
**) Ketua Umum Poladaya Yogyakarta
***
Budaya Tionghoa : Mailing-List Budaya Tionghoa
Nomer Arsip : 6645
Diposkan oleh : HKSIS , 10 September 2004
Kategori : Essay
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa
Pihak yang ingin mempublikasi ulang tulisan dalam web ini diharapkan untuk menyertakan link aktif : www.budaya-tionghoa.net , NAMA PENULIS dan LINK aktif yang berada didalam tulisan atau membaca lebih jauh tentang syarat dan kondisi . Mempublikasi ulang tanpa menyertakan tautan internal didalamnya termasuk tautan luar , tautan dalam , catatan kaki , referensi , video , picture , sama dengan mengurangi konten dalam tulisan ini.