Budaya-Tionghoa.Net| Dalam meneliti perkembangan keadaan Indonesia selama tahun 50-an orang tidak boleh melupakan, bahwa ketika itu ‘perang dingin’ sedang berlangsung. ‘Perang dingin’ sedang berlangsung sangat hebat didaerah Asia, terutama bertujuan membendung kemajuan pengaruh Republik Rakyat Tiongkok di Asia.
USA sedang menjalankan politik’China Containment policy’, dan politik ini tidak bisa tidak tentu mempengaruhi perkembangan politik dalam negeri Indonesia. Patut diperhatikan, bahwa cukup banyak perwira2 Indonesia dikirim ke USA untuk mendapatkan pendidikan dan latihan kemiliteran; juga tidak sedikit sarjana2 kejuruan dikirim ke USA untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi.
|
Sedang USA juga mengirim tenaga2 pengajar keberbagai universitas negara ntuk’meningkatkan’mutu pendidikan di Indonesia. Sekalipun ketika itu, imbangan kekuatan politik dalam negeri masih memungkinkan bagi Indonesia untuk menjadi tuan rumah Konperensi Asia-Afrika pertama di Bandung tahun 1955, dan pemilihan umum pertama di Indonesia bisa dilangsungkan secara demokratis, yang mengakibatkan PKI bisa keluar sebagai partai politik besar, tapi semua ini tidak bisa menutupi kenyataan tetap berkembangnya pikiran2 rasialis. Tidak bisa mencegah timbulnya rasa curiga secara berlebihan terhadap golongan ethnik Tionghoa sebagai’komunis’dan’mata2 Tiongkok, sebagai pengaruh dari hasutan politik ‘China containmentnya USA itu.
Rasa curiga ber-lebih2an itu terutama datang dari fihak Penguasa Perang yang mudah membuat alasan demi’nasional security’. Antara lain dapat dikemukakan tindakan2 yang terjadi sebagai berikut:
1. Kebijaksanaan minta bukti kewarga-negaraan dari orang2 peranakan Tionghoa yang sudah menjadi warga-negara RI. Kewajiban untuk lebih dahulu menunjukkan surat bukti yang disahkan oleh pengadilan sebagai warga-negara RI dalam keperluan minta ijin ber-usaha. Kebijaksanaan2 demikian ini tentu sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan memupuk perasaan senasib bagi warga negara Indonesia. Mereka menjadi merasa di-exclusief-kan.
2. Mereka yang keturunan Tionghoa diragukan loyalitasnya terhadap RI, sekalipun sudah terang dan jelas warga-negara Indonesia, dianggapnya loyalitas seseorang ditentukan oleh asal keturunan! Satu pikiran rasialis yang mencengkeram pandangan banyak petugas negara, yang mestinya sebagai seorang berpaham Panca Sila harus bebas dari pandangan rasialis demikian.
3. Di beberapa daerah dengan alasan’security nasional’rumah2 orang Tionghoa diharuskan memasang tanda, dengan bendera nasionalnya. Bila warga-negara RRT diharuskan memasang papan yang dicat bendera RRT, bila warga-negara Indonesia memasang papan dengan dicat bendera Merah-Putih. Peraturan2 demikian sekalipun tidak berumur panjang, tapi sudah cukup untuk membuktikan adanya petugas2 negara yang kuat berpandangan rasialis, phobia terhadap orang Tionghoa.
4. Pajak kepala terhadap orang Tionghoa asing, yang semula diambil oleh penguasa militer, kemudian pemerintah merasa perlu untuk mengambil alih dan menjadikannya Undang2 Pajak Kepala untuk orang asing.
5.Masalah dwi kewarga-negaraan dipersoalkan untuk meragukan loyalitas warganegara keturunan Tionghoa. Padahal masalah dwi kewarga-negaraan sudah ada ketentuan internasional yang menentukan, bahwa bila terjadi masalah dwi kewarga-negaraan dan tidak ada perjanjian antara dua negara yang bersangkutan, yang berlaku effektif adalah kewarga-negaraan dari negeri dimana orang bersangkutan itu hidup dan menetap. Tapi oleh sementara penguasa, masalah dwi kewarga-negaraan ini justru ditimbulkan untuk mencapai tujuan membatalkan kewarga-negaraan Indonesia banyak orang yang dicapai/didapat secara passief. Hal ini antara lain bisa dibuktikan dengan kenyataan2 yang terjadi sebagai berikut:
a) Ketika ada kesempatan mengadakan perjanjian penyelesaian dwi kewarga-negaraan antara RI-RRT, dalam perjanjian hendak diwajibkan semua warga-negara Indonesia peranakan Tionghoa untuk memilih kembali secara aktief kewarga-negaraan Indonesia.
b)Menyiapkan RUU Kewarga-negaraan Indonesia yang hendak membatalkan pilihan yang terjadi berdasarkan UU 10 April 1946 dan berdasarkan perjanjian KMB.
Dalam hubungan ini patut dicatat, bahwa perjanjian penyelesaian Dwi Kewarga-negaraan RI-RRT menjadi ter-katung2 selama 5-6 tahun, setelah BAPERKI berhasil memperjuangkan adanya perubahan2 yang diwujudkan dalam pertukaran nota antara PM.Ali Sastroamidjojo dan PM Chou En Lai antara lain sebagai berikut:
Membebaskan dari kewajiban memilih kembali kewarga-negaraan, karena dinyatakan sudah ber-warga-negara tunggal RI pada golongan2:
a. Bagi pejabat2 negara yang telah disumpah setia dengan UUD RI;
b. Bagi mereka yang telah menggunakan hak memilihnya dalam pemilihan2 umum di Indonesia;
c. Bagi mereka yang mempunyai pekerjaan dan mata-pencaharian sama dengan Rakyat terbanyak setempat, yang dimaksud adalah sebagai kaum tani dan nelayan.
Pelaksanaan perjanjian itu harus bebas dari pungutan biaya.
6.Peratuan penguasa perang, yang kemudian diambil alih oleh pemerintah yang melarang adanya sekolah2 asing di Indonesia. Dalam peraturan ini yang diamksud adalah melarang sekolah2 Tionghoa asing menerima murid2 yang berstatus warga-negara Indonesia. Tapi, peraturan ini dikeluarkan dengan tidak disertai peraturan penampungan, jalan keluar yang baik bagi anak2 murid peranakan2 Tionghoa itu yang memang tidak memperoleh tempat di sekolah2 negeri. Karena sekolah2 negeri membatasi penerimaan murid2 warga-negara Indonesia keturunan asing, khususnya keturunan Tionghoa.
Penerimaan mahasiswa di universitas2 negeri jelas2 membatasi hanya bisa menerima 10% saja bagi pemuda2 keturunan Tionghoa. Jadi, jelas bukan lagi memperlakukan secara adil setiap warga-negaranya sesuai dengan kepandaian anak2 murid yang ada, tapi sengaja dimaksud untuk membatasi masuknya anak2 murid Tionghoa terlalu banyak di sekolah2 negeri. Menghadapi kenyataan2 ini, BAPERKI mengembangkan kegiatannya dibidang pendidikan, membangun sekolah2 dan perguruan tinggi untuk menampung dan membuka pintu lebar2 bagi semua warga-negara Indonesia dengan tidak memandang asal keturunannya. Anak2 warga asing juga diterima berdasarkan pendirian, bahwa anak2 warga asing juga memerlukan menerima pendidikan nasional Indonesia, agar mereka bersedia menerima kewarga-negaraan Indonesia dan tidak mempertahankan diri pada status asing.
7.Sementara jenderal2 yang berkedudukan tinggi ketika itu mensponsori untuk membentuk LPKB(Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa), yang diketuai oleh seorang Letnan Angkatan Laut peranakan Tionghoa dan telah ganti nama menjadi Sindhunata. LPKB dimaksudkan menjadi organisasi tandingan BAPERKI, dengan mengajukan konsepsi asimilasi-total. Yang menganjurkan penghapusan ciri2 ethnik Tionghoa, dimulai dengan ganti nama Tionghoa menjadi nama suara lain; kawin campuran. Dan menurut keterangan, semua ini harus terjadi dengan sukarela, tidak ada unsur paksaan.
8.Pada akhir tahun 50-an, disamping meratifikasi perjanjian penyelesaian dwi kewarga-negaraan Ri-RRT, yang menjadi UU No.2 tahun 1958 dan juga diundangkannya UU Kewarga-negaraan baru, yaitu UU No.62/1958 dan UU No.67/1958. Tapi, semua ketentuan2 ini tidak segera dilaksanakan, penegasan mulai berlaku perjanjian penyelesaian dwi kewarga-negaraan itu baru ditentukan dalam Peraturan Pemerintah No.11/1960. Yang kemudian ditambah lagi dengan Peraturan Pemerintah No.5/1961. Sekalipun sudah diratifikasi pelaksanaannya tertunda kurang lebih 3 tahun, penundaan2 ini menimbulkan akibat2 yang merugikan mereka yang bersangkutan. Misalnya, mereka yang ketika di-undangkan UU No.2/1958 sudah mencapai usia 18 tahun dan oleh karenanya mempunyai hak menentukan pilihan sendiri sekalipun berlainan dengan pilihan orang tuanya, menjadi tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Tapi ketika 3 tahun kemudian mau dilaksanakan, ada ketentuan lain yang menyatakan waktu kesempatan memilih terbatas dalam 2 tahun setelah mencapai usia 18, maka dia menjadi tidak lagi mempunyai hak memilih sendiri.
Disamping itu, kelambatan pelaksanaan perjanjian penyelesaian dwi kewarga-negaraan itu juga mengakibatkan peranakan Tionghoa yang memilih warga-negara Indonesia tidak bisa meng-conversi-kan hak aigendom-nya menjadi hak milik. Karena UU Pokok Agraria tahun 1962 membuat ketentuan, hanya warga-negara Indonesia tunggal saja yang boleh mempunyai hak-milik, jadi selama status kewarga-negaraan tunggal belum bisa dicapai, banyak warga-negara Indonesia keturunan Tionghoa menghadapi kesulitan untuk meng-conversie-kan hak eigendom-nya menjadi hak-milik. Sehingga sampai tahun 1980 ini, masih saja harus dengan susah-payah mengurus perpanjangan atau mengalihkan menjadi hak-milik dengan harus lebih dahulu membayar uang yang tidak sedikit jumlahnya. Masalah demikian ini, bagi mereka yang hidup dengan pekerjaan menggarap tanah, keterlambatan pengakuan dibebaskan memilih lagi menjadi warga-negara Indonesia, membuat mereka2 tidak dapat mempertahankan hak-milik atas tanahnya sebelum mengeluarkan banyak ongkos extra.
Setelah meneliti pengaruh faktor extern sebagai akibat dari politik ‘China containment policy’ nya USA, patut juga diperhatikan isi amanat Presiden Soekarno pada 17 Augustus 1964, yang antara lain menyatakan bahwa, ia menyetujui didirikannya LPKB dengan menugaskan Dr. Ruslan Abdulgani untuk membimbing dalam mengikis komunisto phobia dalam masyarakat Indonesia. Yang sangat dirasakan sebagai penghalang dalam mewujudkan konsepsi Persatuan Nasional berporoskan NASAKOM. Penjelasan ini penting artinya, karena menurut Presiden Soekarno, bukanlah masalah asimilasi yang harus dinomor satukan, melainkan mengikis habis komunisto-phobia. Karena komunisto-phobia yang ada dalam masyarakat merupakan penghalang dalam usaha membina Persatuan Nasioanl effektif berporoskan NASAKOM, sehingga persatuan nasional berporoskan NASAKOM tidak bisa berkembang sebagaimana yang diharapkan.
Faktor extern ini oleh banyak pihak dianggap ringan, diremehkan. Tapi, setelah terjadi peristiwa apa yang dinamakan G30S/PKI ternyata jelas bahwa, banyak pernyataan dari tokoh2 Angkatan Bersenjata yang berdiri dibelakang Bung Karno dengan konsepsinya tanpa reserve, ternyata hanya ‘lip service’ belaka. Karena ternyata maksud sesungguhnya adalah menyingkirkan dan menggulingkan Bung Karno dengan mengangkat satu regiem jenderal dibawah pimpinan Jenderal Soeharto yang membanting stir haluan negara. Membalik 180 derajat Garis Besar Haluan Negara yang telah ditetapkan Presiden Soekarno dan disahkan dalam MPR.
( Mei 1963, meletus explosi rasialis yang dimulai dari Tegal, kemudian menyusul Cirebon, Bogor, Sukabumi dan Bandung. Bung Karno ketika itu dengan tegas menyatakan bahwa explosi rasialis anti-Tionghoa itu sesungguhnya ditujukan terhadap dirinya, ditujukan untuk menentang politiknya. Tapi, signal yang jelas dan tegas itu ternyata tidak cukup untuk menggugah kewaspadaan para pengikut setia Bung Karno dan alat2 negara untuk mencegah pengaruh faktor extern yang terjadi dan dapat merusak Persatuan Nasional. Akhirnya pengaruh faktor extern ini melalui sementara jenderal2 telah berhasil menggulingkan kekuasaan Presiden Soekarno dan merusak Persatuan Nasional berporoskan NASAKOM yang sedang berkembang dengan baik.
Catatan Admin : Tulisan ini terdiri dari 10 bagian
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa 3253