Budaya-Tionghoa.Net| Setiap orang yang meneliti kebijaksanaan politik luar negeri RI sejak proklamasi Kemerdekaan, bisa mendapatkan kenyataan bahwa RI selalu berusaha menarik keuntungan dengan adanya pertentangan kepentingan diantara 2 negara Super Power, USA dan USSR. Tentu saja ada berbagai penyimpangan sebagai akibat adanya pikiran dapat menarik USA dipihak RI dalam memaksa penjajah Belanda mengakui berdirinya RI, misalnya ditahun 1948 kabinet Hatta menjalankan’red drive’yang dikenal dengan’Peristiwa Madiun’; kemudian ditahun 1952, kabinet Sukirman melakukan’red drive ke-II’ atau yang dikenal dengan razzia Sukiman dengan menangkapi orang2 komunis atau yang dituduh ‘komunis’ dengan tujuan menarik USA kepihak RI untuk memaksa penjajah Belanda menyerahkan kembali Irian-Barat pada RI; Kemudian awal tahun 1960-an, Presiden Soekarno berusaha menarik keuntungan dengan politik anti-imperialisme lebih tegas lagi untuk memperoleh bantuan perlengkapan perang lebih besar dari USSR, yang jelas perlengkapan perang demikian itu tidak bisa diperoleh dari USA. Keadaan2 demikian ini bisa dikatakan berhasil memaksa USA untuk menekan Belanda mengakui berdirinya RI dan kemudian menyerahkan Irian Barat kembali kedalam kekuasaan RI.
|
Dipihak lain, perkembangan politik internasional sudah mencapai pada tingkat dimana USA terpaksa meningkatkan perang di Viet-Nam, dan USSR didalam persengketaan ideologi Moskow-Peking, menghadapi PKI yang selalu mengambil sikap sepihak dengan Peking, menyebabkan 2 negara Super Power ini bertemu kepentingannya. Yaitu sama2 berkepentingan untuk membendung/menghapus pengaruh Peking di Asia Tenggara umumnya dan di Indonesia khususnya. Kemudian, kalau USSR sebenarnya hanya bertujuan mengubah pimpinan PKI yang condong pada Peking, sedang USA bertujuan membasmi PKI dan kemudian menyingkirkan Presiden Soekarno.
Peristiwa G30S/PKI menunjukkan berhasilnya tujuan dari 2 negara Super Power ini, dengan masing2 pihak masih berusaha mendapatkan hasil2 sampingan. Kenyataan membuktikan USA dengan kaki-tangannya lebih lincah dan lebih unggul dari USSR, dimana USA praktis mencapai seluruh tujuan sebagaimana direncanakan, sedang USSR yang semula hanya bertujuan mengubah pimpinan2 PKI yang condong pada Peking, ternyata kelewatan batas menjadi dibasmi habisnya PKI dari muka bumi Indonesia. Kemudian tujuan 2 negara Super Power untuk menghapus pengaruh RRT, dikobarkanlah sedapat mungkin hetze anti Tionghoa, dituduhnya ‘PKI menjalankan garis Mao Tse-tung’; ‘Tionghoa berarti Komunis’; ‘G30S dibiayai oleh RRT’ dllnya lagi. Sekalipun tidak ada bukti2 yang menyatakan RRT terlibat dalam G30S, dan tidak ada seorang warga-negara RRT yang terlibat dan ditangkap untuk diadili dengan tuduhan terlibat G30S.
Hetze anti-Tionghoa diperhebat dengan ditingkatkannya kegiatan dari 2 organisasi, LPKB dan KENSI. Dalam amanat 17 Augustus 1964, Presiden Soekarno secara tegas menyatakan, bahwa LPKB didirikan dengan tugas untuk mengikis habis komunisto-phobia didalam masyarakat yang menghambat usaha memperkokoh tercapainya Persatuan Nasional berporoskan NASAKOM. Tapi dengan perkembangan setelah G30S, mereka mereka meningkatkan kegiatannya untuk membubarkan BAPERKI dan memaksakan gerakan ganti-nama secara massal. Sedang dulu dijanjikan, asimilasi, pembauran dengan cara ganti nama, kawin campuran dilakukan secara sukarela dan tidak mengandung paksaan. Perubahan keadaan politik ini digunakan sebagai kesempatan baik, untuk memaksakan orang2 Tionghoa secara massal ganti nama. Golongan Tionghoa diharuskan membuktikan dirinya berkemauan untuk berasimilasi dengan masyarakat Indonesia, yang berarti bersedia melenyapkan ciri2 ethnik Tionghoanya, dimulai dengan ganti-nama Tionghoa menjadi nama lain yang dikatakan biasa dipakai mayoritas masyarakat Indonesia. Se-olah2 nama Tionghoa yang diberikan orang-tuanya itu bisa merugikan perkembangan Indonesia sebagai negara berdasarkan Panca-Sila. Menjurus menjadi, segala apa yang berasal dari Tiongkok dan berbau Tionghoa harus dilenyapkan. Kelanjutan dari aksi2 yang dilakukannya itu, ditutuplah sekolah2 Tionghoa. Sekolah Tionghoa tidak boleh lagi berada di Indonesia, dengan tidak mempedulikan bagaimana penampungan ratusan ribu anak2 murid sekolah yang ditutup.
Atas usaha LPKB, dikeluarkan instruksi Presiden No.14/1967 yang membatasi pelaksanaan peribadatan dan kebudayaan Tionghoa dalam lingkungan tertutup. Dengan alasan, membiarkan golongan ethnik Tionghoa menjalankan ibadat dan kebudayaannya secara terbuka dan luas merugikan usaha asimilasi. Instruksi Presiden itu juga mempertegas, bahwa agama dan istiadat yang berpangkal pada negeri leluhur bisa memanifestasikan pengaruh psychologis, mental dan moril yang kurang wajar terhadap warga negara Indonesia. Jadi, juga merupakan hambatan terhadap proses assimilasi yang sedang dijalankan. Akibat dari instruksi Presiden ini, golongan2 ethnik Tionghoa sebagai golongan minority tidak bisa lagi melakukan ibadat dan mengembangkan kebudayaan yang sehat dan sudah turun temurun secara terbuka. Permainan ‘Lang-liong’; ‘Barongsay’; ‘Kunthao-silat’ juga tidak lagi bisa dilakukan secara terbuka. Membaca buku2, koran dan majalah dalam bahasa Tionghoa juga harus ngumpet, sembunyi didalam kamar, karena bila diketahui umum bisa ‘menyinggung’ perasaan?!
Untung, instruksi Presiden itu tidak menyatakan pelarangan makan’tahu’; ‘taoco’; ‘taugee’; ‘kecap’; ‘taoyu’ dll lagi yang merupakan makanan asal dari nenek moyong Tionghoa, makanan2 yang berasal dari negeri leluhur. Makanan2 yang sudah menjadi makanan umum rakyat banyak, makanan2 yang murah, enak dan disukai oleh rakyat banyak. Instruksi Presiden semacam itu, tentu sangat merugikan Rakyat terbanyak, sama halnya dengan pelarangan pertunjukan terbuka ‘Lang-liong dan Barongsay’, karena pertunjukan ‘Lang-liong dan Barongsay’ misalnya ketika tahun 1977 masih dicoba dilakukan secara terbuka di Bogor, disambut hangat dan baik di Bogor. Satu pertunjukkan yang sudah turun temurun yang memang sudah bisa diterima dan dinikmati dengan senang oleh Rakyat banyak! Kenapa harus dilarang?!
Demikian juga dengan KENSI. Setelah DEKON (Deklarasi Ekonomi) diumumkan, yang dengan tegas menyatakan modal domestic harus diikut sertakan dalam pelaksanaan ekonomi nasional, KENSI semula juga tidak bisa berkutik. Tapi setelah G30S, KENSI juga ikut meningkatkan kegiatan hetze anti-Tionghoa, menuntut ditingkatkannya pelaksanaan PP-10. Artinya, supaya kegiatan2 dagang orang2 Tionghoa dilarang sama sekali, tidak hanya pelarangan yang terbatas diwilayah2 kecamatan saja.
Akibat tuntutan KENSI itu, Panglima Jawa Timur, jenderal Sumitro mengeluarkan instruksi untuk melarang orang2 Tionghoa asing melakukan usaha dagang diseluruh Jawa Timur, kecuali di ibu-kota propinsi Surabaya. Juga pelarangan menggunakan huruf2 Tionghoa dan bahasa Tionghoa, baik dalam usaha dagang, surat-menyurat dan hubungan tilpon. Orang2 Tionghoa tidak lagi boleh pindah kelain propinsi tanpa ijin dan mereka diwajibkan membayar pajak kepala.
Bung Hatta, bekas wakil Presiden RI, mengkritik tindakan demikian yang menurut kenyataan merugikan Rakyat banyak. Instruksi2 semacam itu mengakibatkan peredaran barang menjadi kacau, penghasilan kaum tani merosot keras dan juga penghasilan kantor pajak jadi merosot drastis!
Di Aceh, Panglima daerah Aceh juga mengeluarkan instruksi agar semua orang Tionghoa di-Aceh keluar dari propinsi Aceh, Propinsi Aceh harus bersih dari orang Tionghoa! Exodus besar di Aceh ini menimbulkan banyak macam penderitaan dikalangan orang2 Tionghoa yang cukup berat, disamping peredaran barang juga menjadi kacau. Karena, mereka yang dipindah keluar dari Aceh ke Sumatera Utara dan Medan tidak ada penampungan yang baik, sedang pengaturan mereka pulang kembali ke RRT baru dalam pembicaraan dengan pemerintah RRT. Usaha mengangkut kembali orang2 Tionghoa itu ke RRT akhirnya juga terpaksa terhenti karena hetze anti-Tionghoa bukannya mereda,
melainkan tambah meningkat.
Di Kalimantan Barat, akibat dari hetze anti-Tionghoa juga timbul gerakan mengusir orang2 Tionghoa dari daerah pedalaman Kalimantan Barat. Orang2 yang berusaha mempertahankan kebun2 karet dan ladang2nya dibunuh, padahal kebun2 dan ladang2 itu telah diusahakan puluhan tahun dan turun temurun oleh mereka. Timbulah kesan, bahwa gerakan anti-Tionghoa itu sekaligus juga bertujuan ekonomi, merampok harta dan mengambil alih kebun2 karet, ladang2 milik orang2 Tionghoa itu. Dan jelas, berdasarkan ketentuan Undang2 yang berlaku di Indonesia, mereka2 itu adalah warga-negara Indonesia yang harus dilindungi kepentingannya. Tapi yang terjadi, sedikitnya hampir 100 ribu orang Tionghoa harus diungsikan keluar dari daerah pedalaman Kalimantan Barat ke kota2 di-pesisir seperti, Singkawang, Mempawah dan Pontianak. Kamp2 penampungan mereka, juga tidak beda banyak dengan yang di Sumatera, mereka harus’selfsupporting’, padahal mereka adalah’displaced persons’. Tahun2 1966-1968 terjadi banyak peristiwa yang menggambarkan, bahwa milik dan jiwa orang Tionghoa, baik mereka yang berkedudukan asing maupun sudah menjadi warga-negara Indonesia, terasa tidak memperoleh perlindungan yang layak didalam negara hukum berdasarkan Panca Sila ini. Hal ini tentu sangat merugikan prestige RI diluar negeri, apalagi ternyata bahwa, dalam aksi2 anti-Tionghoa itu jelas ikut sertanya alat2 negara yang berbaju preman tapi bersenjata menurut kesatuannya. Misalnya yang terjadi di Surabaya, Oktober 1968, setelah Singapore tetap melaksanakan hukuman mati pada 2 anggota pasukan gerilya yang ditangkap dan Lee Kuan Yew tidak bersedia memberi gratie, membuat meluap semangat anti-Tionghoa. Dan di Surabaya dibangkitkan dengan merusak ratusan toko2 kecil milik orang2 Tionghoa, dimana banyak dilakukan oleh anggota2 alat2 negara berbaju preman.
Sebagai hasil dari seminar SESKOAD di Bandung, pemerintah RI kemudian menginstruksikan untuk mengganti istilah ‘Tionghoa’ dengan ‘Cina’. Istilah ‘Tionghoa’ katanya dapat menimbulkan inferiority complex pada orang Indonesia. Tapi, istilah ‘Cina’ mengandung unsur penghinaan bagi golongan ethnik Tionghoa di Indonesia, yang sejak tahun 1900 dengan pembentukan Tionghoa Hwee Kwan sudah mengganti sebutan ‘Cina’ menjadi ‘Tionghoa’.
Tindakan selanjutnya, tuntutan aksi2 massa untuk memutus hubungan diplomatik dengan RRT, Nopember 1968 dilaksanakan dengan membekukan hubungan diplomatik dengan RRT. Karena memutus hubungan diplomatik dirasakan bertentangan dengan prinsip politik bebas dan aktif.
Suasana politik demikian, tentu sangat mempengaruhi pelaksanaan penyelesaian dwi kewarga-negaraan dan penyelesaian permohonan2 naturalisasi dari orang2 Tionghoa untuk menjadi warga-negara Indonesia. Untuk naturalisasi menjadi warga-negara Indonesaia ditambah syarat harus ganti-nama, tentu kebijaksanaan demikian diajukan secara tidak resmi dan tidak berdasarkan hukum. Kalau tidak mau ganti nama, nama Tionghoa yang tetap dipakai dianggap sebagai indikasi tidak setuju dengan kebijaksanaan Pemerintah untuk assimilasi, jadi bisa ditolak permohonan naturalisasinya. Jadi, pada umumnya orang2 yang mengajukan naturalisasi di antara tahun 1966-1970, telah melenyapkan nama Tionghoanya sebagai bukti adanya’goodwill’dan kemauan untuk assimilasi dengan masyarakat Indonesia umumnya, yaitu dengan usaha menghilangkan ethnik Tionghoanya.
Dengan dikeluarkannya instruksi No.D/T/1/2 tanggal 9 Nopember 1966, Menteri Kehakiman telah menginstruksikan untuk menangguhkan pelaksanaan penyelesaian dwi kewarganegaraan. Baru setelah dibekukan hampir 2 tahun, 1 Februari 1968 penyelesaian pernyataan memilih kewarga-negaraan RI berdasarkan perjanjian penyelesaian dwi kewarga-negaraan dapat diterima kembali oleh pengadilan negeri. Yaitu berdasarkan instruksi Menteri Kehakiman No. DT/1/5 tanggal 1-2-1968.
Dengan surat keputusan Menteri Kehakiman No. J.B./4/1/5 tanggal 15 Juni 1968, biaya untuk pewarga-negaraan yang ditentukan oleh UU No.62 tahun 1958, dinaikkan dari Rp.30.000,- menjadi Rp.100.000,- Setelah hubungan diplomatik dengan RRT dibekukan, perjanjian penyelesaian dwi kewarga-negaraan antara RI-RRT secara sepihak dibatalkan oleh RI dengan ketentuan UU No.4/1969 tanggal 10 April 1969.
Patut diperhatikan, bahwa setelah terjadi G30S/PKI, hubungan RI dengan Taiwan menjadi berkembang lebih akrab. Taiwan telah memberi credit pada Indonesia yang semula dijanjikan sebanyak US$.20 juta, kemudian hanya diberi US$.10 juta dengan bentuk barang2 konsumsi bikinan Taiwan. Belum jelas, apakah hubungan baik ini akan menyebabkan orang2 peranakan Tionghoa yang semula berkewarga-negaraan Indonesia dan telah lama hidup/menetap di Taiwan, bisa mendapat kelonggaran untuk kembali ke Indonesia dan tidak dengan jalan naturalisasi tapi dengan jalan optie untuk kembali jadi warga-negara Indonesia. Karena ada keputusan Menteri Kehakiman No.J.M./4/6 tanggal 1 Nopember 1969, bagi orang2 yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a) Semasa adanya larangan bagi warga-negara RI untuk pergi ke Taiwan dan meninggalkan Indonesia sebagai warga-negara RI dengan pasport RI;
b) Mereka tiba kembali ke Indonesia dengan visa masuk ke Indonesia, dan visa itu dikeluarkan dari HongKong.
Perkembangan dengan peristiwa2 yang terjadi selama ini menimbulkan perubahan2 politik yang besar sekali di Indonesia. Di jaman Bung Karno sebagai Presiden Indonesia, diusahakan pelaksanaan pasal 33 UUD 1945 dengan penegasan, bahwa istilah’dikuasai’oleh negara berarti juga ‘dimiliki oleh negara, jadi pembangunan ekonomi nasional diusahakan dengan melaksanakan prinsip ‘BERDIKARI’. Tapi, sekarang setelah Bung Karno disingkirkan, RI membatalkan ketetapan MPR-S ‘Banting Stir untuk BERDIKARI’ menjadi menjalankan pintu dibuka lebar2 untuk masuknya modal2 asing.
Bersambung
Tulisan ini terdiri dari 10 bagian
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa