Kunjungan itu berupa sebuah pengalaman yang tak terlupakan.
Itulah pertama kalinya aku bertatap muka dengan rumpun keluargaku sendiri. Sebelumnya, karena dilahirkan dan dibesarkan di Jakarta, aku belum pernah berhubungan dengan sanak keluarga jauh, selain kakak dan adik.
Di Sungailiat, ternyata seluruh warga kampung dan kota terdiri dari sanak keluargaku! Mereka semuanya terjalin hubungan keluarga dengan diriku melalui satu dan lain sisi, yang katanya berasal dari seorang buyut yang sama. Waah, ini berupa suatu kesadaran yang luar biasa menakjubkan. Tapi karena ketika itu aku masih kecil sangat, kenyataan itu belum dapat aku insyafi dalam suatu persepsi yang luas mendalam. Aku hanya dapat merasakannya sebagai sesuatu yang luar biasa, terheran-heran, bahkan sangat membingungkan. Rata-rata semua orang disekeliling tahu aku siapa, sedikitnya mereka tahu aku ini anak siapa, cucunya siapa, keponakan siapa, saudara sepupunya siapa dan seterusnya. Sedangkan aku sama sekali tidak tahu menahu mereka itu siapa. Seakan berada dalam sebuah ruangan bercermin dua hala, orang didalam tidak dapat melihat keluar, tapi yang diluar dapat melihat kedalam. Dan aku berada didalam ruang itu.
Namun aku diperlakukan dengan sangat ramah, sekalipun terkadang merasa dibuat sebagai tontonan. Perasaan itu sangat merisihkan jiwa kanak-kanakku.
Kami tinggal dirumah kakaknya ibuku. Sebuah rumah sederhana dengan pekarangan yang sangat luas. Dibelakang rumah ada perkebunan karet, berupa harta warisan dari kakek moyang yang dapat digarap hasilnya. Sehabis hujan, banyak sekali jamur yang bertumbuhan disekitar kaki pohon-pohon karet. Jamur itu kulat panggilan bahasa lokalnya, sangat disukai oleh masyarakat setempat, terkenal dengan lempa kulat, masakan khas Bangka. Disamping itu, ada lagi makanan khas setempat yang terkenal, wak wak panggilannya. Wak wak itu sebenarnya adalah cacing laut, panjang sekitar satu setengah meter yang setelah dikeringkan, lalu digoreng. Rasanya sedap seperti kerupuk.
Disebelah kanan rumah, berjarak sekitar seratus meter, terdapat sebuah aliran mata air. Kami anak-anak sering mandi bermain air disitu. Airnya bening sejuk, di kelilingi oleh pepohonan dikedua belah tebing. Seringkali sekumpulan ikan- ikan kecil datang berenang dipinggir tebing yang penuh dengan lumut, mungkin mencari makanan. Sebagai anak kota Jakarta yang hanya tahu kolam renang Manggarai dengan air yang berbau obat kimia dan pedih mata berenang lama disitu, adanya kolam alam disamping rumah itu terasa sangat berkesan sekali.
Suatu hari, seorang kemenakan datang mencariku, ia mengatakan ada sesuatu yang ingin ia perlihatkan. ” Mari ikut aku,” serunya. Aku bersama dengan beberapa anak-anak lainnya yang sebaya usia, beramai mengikutinya. Kami dibawanya kebagian belakang rumah. Disitu terdapat sebuah kolam ikan berukuran sekitar dua meter, lumut hijau tumbuh disekeliling tembok kolam itu. Airnya kumuh butek.
Disitu kemenakanku itu berhenti. Kami pun turut berhenti. Lalu ia menurunkan lengan kirinya kedalam kolam tersebut. Dengan cepat dikeluarkannya lagi lengannya. Nampak seekor ikan belut panjang serupa ular bergeliat dalam genggamannya. Melihat itu, aku terkejut tidak kepalang. Mundur setapak, aku berteriak kecil. Lalu, belum lagi hilang rasa terperanjat, dengan pesat, tangan kanannya mengacu sebuah parang tajam, lalu dipenggalnya kepala ikan yang ketika itu masih bergelipar seluruh badannya. Darah merah muncrat menyembur keluar dari bagian kepala yang sudah tidak berada disitu lagi, segera disodorkan bagian badan ikan yang tak berkepala itu kemulutnya, disedot dan ditelannya darah itu mentah-mentah.
Setelah itu, ia tersenyum lebar sambil menggosok bekas ciciran darah disekitar mulut dengan belakang tangannya. Ia berdiri bertekan pinggang, memandang kearahku dengan bangganya, menunggu kata pujian dariku. Mulut menganga, mata melotot, namun aku tidak mampu mengeluarkan kata sepatah pun. Pandangan gelap, kepala terasa berputar, tak sadar lagi apa yang terjadi disekeliling. Aku pingsan, jatuh terbaring tak ingat orang.
***