Pada masa penjajahan Belanda, pulau Bangka adalah produsen timah yang terbesar didunia.
Sejak abad ke delapan belas, telah diketahui adanya kandungan timah di Bangka, yang kemudian ditemukan juga mineral itu di daerah kepulauan sekitarnya, seperti Belitung, Singkep, Karimun dan Kundur. Pada tahun seribu sembilan ratus dua puluh, pemerintah Belanda mulai melakukan kegiatan penambangan timah sebagai suatu operasi industri. Pada masa itu, demi menopang industry pertambangan yang demikian besar, diperlukan tunjangan tenaga kerja yang memadai. Untuk kepentingan ini, pemerintah Belanda telah mendatangkan banyak tenaga kerja kasar dari Tiongkok daratan. Permintaan untuk pekerja-pekerja kuli ini ditangani oleh sebagian kontraktor orang Tionghua yang bekerjasama dengan pertambangan timah setempat.
Para pekerja terdiri dari petani miskin yang menjadi lebih sengsara lagi hidupnya dengan adanya musim kemarau yang berkepanjangan, diselingi dengan terjadinya air bah yang melanda. Rakyat disekitar pedesaan berduyun-duyun datang kekota, dengan harapan mendapat pekerjaan ataupun sedekah. Akhirnya, tidak sedikit yang terperangkap dalam dunia kriminal. Ini terjadi pada pemerintahan kerajaan Qing Dynasty, dimana para elite yang memegang kekuasaan hanya mencurahkan perhatian demi menumpuk kekayaan pribadinya dan mengokohkan posisi dengan segala daya upaya, tidak mempedulikan nasib rakyat jelata yang terlantar. Korupsi merajarela dan kemiskinan menjalar luas. Tidak ada bekal makanan, rakyat miskin dipedesaan terpaksa makan kulit pohon kayu dan sebagian menjual anak-anak mereka kepada keluarga orang berada demi menyambung nyawa.
Dalam keadaan buruk seperti ini, para petani miskin dengan rela bersedia meninggalkan kampung halaman untuk bekerja di Nan Yang, yang berarti daerah Lautan Selatan, termasuk Indonesia. Bagi mereka, Nan Yang dengan iklim cuaca lunak ramah, dan adanya pekerjaan yang tersedia, berupa satu satunya kesempatan hidup yang terbuka. Mereka bersedia bekerja berat, membanting tulang demi sesuap nasi, juga dengan harapan pada suatu hari dapat menabung, dan mengirim uang kepada sanak keluarganya dikampung. Mereka sama sekali tidak mampu membeayai ongkos perjalanan, maka para calo kontraktor buruh bersedia membayar ongkos beayanya atas perjanjian mereka harus bekerja pada majikan masing-masing untuk seumur hidup. Bayangkan, alangkah tidak manusiawinya nasib yang mereka hadapi. Demi semangkok nasi, mereka terpaksa menjual kebebasan diri sendiri untuk sepanjang hayatnya!
Di Bangka, mereka dipekerjakan sebagai kuli kasar di pertambangan timah di Sungailiat dan perkebunan lada di Mentok. Sebagai pendatang baru, secara keseluruhan, mereka disebut Sin Khe yang dalam bahasa Tionghua berarti Pendatang Baru. Ini demi membedakannya dengan komunitas Tionghua yang lahir dan sudah berdiam lama beberapa generasi ditempat, biasanya disebut Tionghua Peranakan.
Para pekerja Sin Khe ini diperlakukan sangat kejam oleh Kepala parit di pertambangan dan juga di perkebunan dimana mereka bekerja. Salah sedikit, mereka dimaki, ditendang, bisa juga diikat, ditelanjangi dan disabet dengan sambuk yang terbuat dari sabut kelapa berjarot hingga darah mengalir dari luka menganga. Teriakan meratap menjerit kesakitan dari para buruh pertambangan yang disiksa sering terdengar memecah malam kelam. Pilu hati barang siapa pun mendengarnya. Sebagai manusia yang sudah hilang kebebasan, mereka diperlakukan lebih parah daripada binatang peliharaan.
Dalam kedudukan social, masyarakat Sin Khe juga dipandang rendah oleh masyarakat Tionghua Peranakan yang sudah lama berdiam dilokasi. Jadi diantara komunitas Tionghua, sekali pun satu ras satu bangsa, juga terjadi perbedaan status. Orangtua Tionghua Peranakan misalnya, tidak akan merestukan anaknya kawin dengan anak dari keluarga Sin Khe. Maka, yang namanya diskriminasi itu tidak hanya terdapat antara ras dan agama yang berlainan, tapi juga terdapat dalam ras yang sama tapi berlainan jenjang status social dan ekonomi. Lain dengan air yang selalu mengalir kebawah, manusia selalu menjangkau keatas.
Zaman berputar, manusia pun berubah, pasang surut silang berganti, dan kedudukan ekonomi masyarakat Sin Khe berangsur baik. Adanya latar belakang pahit getir pengalaman hidup, bagaikan baja yang ditempa barak api kehidupan telah melatih mereka berkemauan keras untuk maju, Ditambah dengan kebiasaan irit dan rajin, ciri budaya yang dibawanya dari tanah leluhur. Kebiasaan yang juga berhubungan dengan hidup dialam empat musim, dimana manusia perlu senantiasa menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Kepandaian dan ketekunan mereka berusaha jauh melebihi masyarakat Tionghua Peranakan pada umumnya. Dengan perubahan yang terjadi, jenjang social ekonomi mereka dengan sendirinya menjulak tinggi, pandangan sempit diskriminasi terhadap mereka juga jadi mencair. Dan kawin campur antara kedua rumpun masyarakat pun sering terjadi.
***