Pada zaman revolusi, banyak masyarakat Tionghua asal Bangka yang turut serta barisan nasional menggempur kolonial Belanda bersama putera daerah lainnya dalam mendirikan dan melindungi keutuhan Republik Indonesia. Satu antara sosok yang sangat terkenal adalah Tony Wen atau Boen Kin To nama aslinya. Ia dilahirkan dalam keluarga berada. Ayahnya seorang Kepala parit pertambangan timah di Belitung. Ia disekolahkan ke Tiongkok oleh orangtuanya. Sekembalinya ke Indonesia, mengajar sebagai guru olah raga di Sekolah Menengah Pak Hwa di Jakarta, sebuah sekolah yang didirikan atas sumbangan dana dari para pengusaha Tionghoa setempat pada ketika itu. Sekolah ini berhaluan nasionalis. Pada tahun- tahun seterusnya, dengan terjadinya perubahan besar besaran dengan terbentuknya Republik Rakyat Tiongkok ( RRT ), dengan segala perubahan politiknya, Sekolah Pak Hwa yang berhaluan nasionalis cenderung mengarah ke Taiwan, sedangkan Sekolah Menengah Pah Chung, yang juga didirikan atas sumbangan para pengusaha masyarakat Tionghoa setempat, mengarah kehaluan kiri, mendukung RRT. Kedua sekolah itu berlawanan posisi dan haluan. Ada pendukung massanya masing-masing, termasuk pendukung koranya tersendiri. Sering sekali mengadakan polemik dimedia, saling mengkritik bahkan mencaci maki menurut pandangannya masing-masing.
Kembali kepada cerita Tony Wen, disamping kegemarannya dengan dunia olah raga, dimana ianya banyak mengambil peran dalam berbagai organisasi yang berhubungan, ia juga seorang pemainan sepak bola nasional yang sangat handal. Gesit dan cergas dalam pertandingan. Perawakannya gagah ganteng penampilannya rapih, tata bahasanya ramah dan teratur mencerminkan latar orang terpelajar, ditambah dengan kumis ala Errol Flynn bintang filem Hollywood tenar, dan senyum murah yang menggiurkan, Tony Wen berupa sosok nasional yang sangat digemari ramai. Ia banyak menyibukkan diri dalam menggalang masyarakat Tionghoa menunjang kegiatan revolusi dibawah bendera nasionalis bimbingan Bung Karno. Pada tahun 1952 ia diterima menjadi anggota PNI, 1954 duduk di Kabinet Interim Demokrasi dan pada tahun 1955 pernah duduk di Kabinet Ali Sastroamidjojo. Ketika ia meninggal pada tahun 1956, banyak sekali sanak saudara dan teman seperjoangan datang memberi kehormatan yang terakhir kerumahnya di Jalan Jawa, Jakarta.
Namun, disamping beberapa sosok high profile elit politik Tionghoa yang sangat terkenal pada ketika itu, masih banyak lagi putera Sungailiat yang menyatukan diri dengan perjuangan kemerdekaan, yang pengalamannya tidak banyak diketahui umum, selain sanak keluarga terdekat. Karena mereka bekerja dibawah tanah jalur rahasia clandestine, tidak terlihat oleh masyarakat ramai. Namun pengabdian mereka kepada negara tidak kurang pentingnya daripada mereka yang mendapat kesan glamour dipandangan umum. Nama-nama seperti Liong Min Loy, Yap Foeng Boei, Tjoeng Kioen Lioeng, Lie Kwet Tjin dan banyak lagi lainnya, berupa serangkaian putera asal Sungailiat dan Bangka lainnya yang pernah bekerjasama, bersatu dengan pemerintahan Republik di Yogyakarta.
Dalam menunaikan tugas, mereka sering mengadakan perjalanan ke Surabaya yang pada ketika itu juga berada dibawah kekuasaan Republik. Dimana keadaan mengizinkan, perjalanan dilakukan dengan kereta api, namun demi mengalihkan perhatian dan juga penggeledahan sepanjang jalan, sering kali perlu berhenti di kota-kota kecil, dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki atau naik sepeda, melalui desa dan sawah ladang pada malam hari, berselubung sehelai sarung menahan dingin. Sebagian dari mereka ada yang diberi pangkat kapten oleh kekuasaan militer pada waktu itu. Dan untuk melindungi diri dari serangan mata- mata Belanda yang banyak berkeliaran, mereka juga membawa senjata api berupa revolver dalam menjalankan tugasnya yang berbahaya.
Tugas pokok utama yang diemban adalah melakukan barter trade dengan Singapura, yang ketika itu masih dibawah pemerintahan Inggeris. Pengadaan logistik perang berupa misi terpenting dalam tugas yang diemban. Mereka membawa barang komoditi berupa biji timah dan merica ke Singapura, untuk dibarter dengan senjata api, juga obat obatan yang sangat diperlukan. Dan setelah itu, kembali lagi ke tanah
air menyerahkan bahan barter tersebut kepada pihak tentara Indonesia yang sangat membutuhkannya dalam operasi militer melawan musuh.
Dalam menjalankan tugas ke Singapura, mereka menggunakan perahu motor kecil dengan single propeller engine, menantang ombak laut yang ganas menyembur, melintangi Selat Malaka, menembus rintangan blokade Belanda. Sekali-kali menyerok air laut yang menyusup tergenang dilantai perahu. Mereka berlayar
dibawah tirai malam gelap gulita yang dipatroli ketat oleh pasukan musuh, siap sedia menyapunya dengan senapang mesin. Namun dengan hati teguh badan bergigil kedinginan, mereka telusuri lautan lepas, dibawah kelipan bintang dilangit, bertarung dengan nasib, bertaruh nyawa dibadan.
Dari semua kenyataan ini, tidak dapat diingkari lagi adanya komitment yang tinggi dari masyarakat Tionghoa umumnya dalam perjoangan kemerdekaan melawan jajahan Belanda. Dalam kapasitas masing-masing, mereka telah menjinjing lengan mengangkat senjata berjoang bersama dengan tentara Republik Indonesia dan putera daerah lainnya.
Dibawah porak-poranda suasana perang, banyak lagi pengalaman gagah berani dari masyarakat Tionghoa pada masa itu yang tidak tercatat dalam arsip negara. Tapi tentunya tidak menutup kenyataan adanya keterlibatan dan pengorbanan masyarakat keturunan Tionghoa dalam perjoangan merebut kemerdekaan. Keterlibatan yang menyatukan seluruh warga Indonesia dibawah panji nasional: Bhineka Tunggal Ika, dan Soempah Pemoeda: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa.
Direkam tidaknya dalam arsip sejarah, pengalaman perjoangan yang tertera dalam tuturan diatas, bagiku, mereka adalah pahlawan nasional sejati sepanjang masa dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Sungailiat kota pahlawan, dimana orangtuaku dan orangtua mereka sebelumnya dilahirkan dan mengabdi.
Pahlawan Sungailiat, jasamu tercantum diantara kelipan bintang dilangit, terpahat diantara gemuruh ombak lautan lepas, tersebar diantara sawah ladang meluas. Terkikir dikenangan lagu Indonesia Merdeka.
Ditulis oleh May Teo ,
Di kirimkan oleh Ambon ke Mailing-list Budaya Tionghua
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa 10047