Ekonomi Sebagai Teologi
Yang tidak bisa ditolerir adalah bahwa isu-isu terpenting yang menyangkut penghidupan manusia ditentukan sepenuhnya atas dasar keuntungan korporasi-korporasi transnasional semata. (Daly and Cobb:178).[1]
Pada tahun 1960, negara-negara Utara 20 kali lebih kaya dibanding negara-negara Selatan. Di tahun 1990–setelah jumlah bantuan, perdagangan, hutang, dan pengejaran industrialisasi yang begitu besar oleh Selatan–negara-negara Utara menjadi 50 kali lebih kaya. 20% populasi manusia terkaya kini penghasilannya melebihi 150 kali penghasilan 20% yang termiskin, sebuah jurang yang terus melebar (Korten:107-108). Menurut Laporan Pembangunan PBB tahun 1996, 358 triliuner dunia lebih kaya dibanding penghasilan tahunan gabungan negara-negara dengan 45% populasi dunia. Akibatnya, setiap minggu 1/4 juta anak mati karena kekurangan gizi atau terkena infeksi, sedangkan lebih dari ratusan juta lainnya bertahan dalam kondisi kelaparan dan kesehatan yang memburuk…Mengapa kita berdiam diri terhadap ketidakadilan sosial ini? Apa rasionalisasi yang mengijinkan kita tidur dengan damai di malam hari?
Sebagian besar penjelasannya terletak pada penganutan kita terhadap agama aneh orang Eropa atau Barat (yang kini sudah mengglobal), satu agama ekonomi dan pasar yang individualistik. Satu agama yang menjelaskan bahwa semua akibat ini adalah hasil-hasil tak terhindarkan dari sebuah sistem yang obyektif. Sebuah sistem yang mengatakan bahwa intervensi adalah kontraproduktif. Pekerjaan hanyalah biaya untuk melakukan bisnis dan alam hanyalah sebuah pool sumber daya yang dibutuhkan untuk produksi.
Dalam kalkulus ini, dunia bisnis begitu fundamental dan sedemikian terpisah dari lingkungan hidup…sehingga intervensi terhadap sistem ekonomi yang sedang berlaku merupakan ancaman bagi tatanan alami segala sesuatu dan oleh karenanya, bagi kesejahteraan umat manusia di masa mendatang. Dalam cara berpikir yang satu ini, hasil yang disebabkannya itu adalah adil (atau setidaknya tak terhindarkan) karena timbul dari cara-cara kerja alami sistem ekonomi ini serta “kearifan pasar” tempatnya berpijak.
Hegemoni yang berhasil dicapai gagasan intelektual ganjil ini–sebuah “agama Eropa” atau agama ekonomi—sungguh amat mencengangkan; ia berhasil menjadi dogma yang hampir universal penerapannya, agama yang dominan di jaman kita ini, menunjang dan membela segala sesuatu yang tampaknya merupakan status quo ketidakadilan yang paten. Ia berhasil mencapai pengaruh luar biasa dahsyat yang mendominasi aktivitas kontemporer manusia (Dobell:232).
Menurut Dobell, teologi ini didasarkan pada dua dalil yang kontraintuitif namun diterima secara luas: bahwa adalah benar dan adil (itulah sebabnya, [pernyataan] “pasar lho yang menyebabkan saya melakukannya” menjadi sebuah justifikasi yang bisa diterima untuk banyak kegiatan yang secara moral dipertanyakan); dan nilai bisa secara memadai disinyalir harga-harga. Karena sumber daya alam tidak diberi harga, maka cara panen seperti pukat harimau dan tebang habis bukan hanya sah-sah saja, tapi juga diperlukan agar bisa kompetitif, kendati pada kenyataannya “kurang lebih kini semua orang sudah tahu bahwa sistem-sistem pasar sedemikian cacatnya, dalam artian, jika terus-terusan dibiarkan begitu saja dengan praktik-praktik dan cara menentukan harga seperti sekarang, tak terhindarkan lagi mereka akan mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup serta hancurnya sistem-sistem ekologi yang tidak bisa digantikan lagi.” (237).
Asumsi mendasar kedua dalil itu adalah bahwa sistem tersebut “alami”. Jika kapitalisme pasar beroperasi sesuai hukum-hukum ekonomi sealami seperti hukum-hukum fisika ataupun kimia—jika ekonomi merupakan sebuah sains yang jenuin–akibat-akibat yang ditimbulkannya tampak tak terhindarkan, walaupun kenyataan menunjukkan bahwa hukum-hukum ekonomi tersebut mengakibatkan kesenjangan sosial yang sedemikian ekstrim serta bencana lingkungan hidup.
Namun sesungguhnya tidak ada yang tidak terhindarkan mengenai hubungan-hubungan ekonomi kita. Justru kesalahpahaman inilah yang harus dengan sungguh-sungguh kita tangani–dan di sinilah agama bisa masuk, karena, sejak semakin meningkatnya pelacuran diri universitas-universitas dan media massa pada kekuatan-kekuatan pasar yang sama, tampaknya tidak ada lagi perspektif moral lainnya yang tersisa untuk menantang mereka.
Untunglah, alternatif cara-cara memandang dunia yang ditawarkan agama-agama masih bisa membantu kita menyadari bahwa kemenangan global kapitalisme pasar tak lain tak bukan hanyalah sekadar pencapaian kemerdekaan ekonomi semata: lebih tepatnya, kemenangan itu adalah naik tahtanya satu cara tertentu dalam memahami dan menilai dunia yang tidak boleh kita terima begitu saja. Jauh dari tak terelakkan, sistem perekonomian ini merupakan satu cara tertentu, yang terkondisi secara historis dalam mengorganisir/mereorganisir dunia; ia adalah satu cara memandang dunia, dengan ontologi dan etika, yang sedang bersaing dengan pemahaman-pemahaman lain tentang apa itu dunia dan bagaimana sebaiknya kita hidup di dalamnya.
Hal yang paling mengesankan tentang nilai-nilai pasar tersebut, dari sudut pandang relijius, bukanlah “kealamiannya”, melainkan betapa luar biasa efektif dan persuasifnya teknik-teknik pengonversian mereka. Sebagai dosen filosofi saya tahu apapun yang saya dapat lakukan kepada para mahasiswa saya selama beberapa jam dalam seminggu sia-sia adanya terhadap pengaruh-pengaruh pencarian umat yang secara agresif menyerbu mereka di luar kelas–pesan-pesan iklan menarik (yang seringkali menghipnotis) di TV, radio, majalah, bis, dsb, yang secara konstan mendesak mereka untuk “belilah daku jika engkau ingin bahagia”. Jika kita tidak dibutakan oleh perbedaan antara yang sekuler dan yang sakral yang lazimnya dilakukan, kita bisa melihat bahwa semuanya ini menjanjikan suatu jenis keselamatan lainnya, yaitu: suatu cara lain untuk mengatasi ketidakbahagiaan kita. Sejauh hal ini menghujam jantung sudut pandang yang benar-benar relijius–yang menawarkan penjelasan alternatif atas ketidakmampuan kita untuk menjadi bahagia dan jalan yang sangat berbeda untuk bahagia—agama-agama tidak memenuhi tanggung jawab mereka jika mengabaikan dimensi relijius kapitalisme ini, jika mereka tidak menekankan bahwa godaan tersebut bersifat menipu, karena solusi untuk kebahagiaan yang satu ini hanya akan mengakibatkan ketidakpuasan yang lebih dahsyat lagi.
Alih-alih menunjukkan ketidakterelakkan mereka, sejarah sistem perekonomian malah mengungkapkan kontingensi hubungan-hubungan pasar yang kini kita terima begitu saja tanpa dipertanyakan. Kendati kita cenderung memandang motif laba sebagai sesuatu yang universal dan rasional (pikirkan tangan bajiknya Adam Smith yang “tidak kelihatan” itu), namun para antropolog menemukan bahwa motif laba tersebut bukanlah sesuatu yang tradisional bagi masyarakat-masyarakat tradisional. Sejauh motif laba diketemukan dalam lingkungan mereka, motif tersebut memainkan peran yang sangat terbatas dan malah dipandang secara berhati-hati karena kecenderungannya dalam mengganggu hubungan-hubungan sosial. Kebanyakan masyarakat pra-modern tidak membuat perbedaan yang jelas antara ranah ekonomi dan ranah sosial, alhasil, peran-peran ekonomi menjadi bagian dari hubungan-hubungan sosial yang lebih umum. Manusia pra-kapitalis “tidak bertindak demikian demi melindungi kepentingan individualnya dalam hal kepemilikan barang-barang materi; ia bertindak demikian guna melindungi kedudukan sosialnya, klaim-klaim sosialnya, dan berbagai asset sosialnya. Dia menghargai barang-barang materi hanya sejauh barang-barang tersebut memenuhi tujuan ini.” Tetapi, dalam masyarakat kapitalis “bukan ekonomi yang terserap ke dalam hubungan-hubungan sosial, malah hubungan-hubungan sosiallah yang terserap ke dalam sistem ekonomi” (Polanyi:46, 57).
Tawney menemukan perspektif yang sama pada kekuatan-kekuatan pasar di Barat semasa jaman pra-Renaisans: “Tidak ada tempat dalam teori kegiatan ekonomi abad pertengahan yang tidak berkaitan dengan tujuan moral dan melandaskan ilmu pengetahuan kemasyarakatan di atas asumsi bahwa nafsu untuk keuntungan ekonomi merupakan suatu kekuatan yang konstan dan dapat diukur, yang perlu diterima seperti kekuatan-kekuatan alami lainnya sebagai sebuah datum tak terhindarkan dan yang terbukti sendiri, akan tampak bagi pemikir abad pertengahan sebagai tidak kalah irasional dan tidak bermoralnya dibandingkan dengan menjadikan operasi tak terkendalinya atribut-atribut manusia seperti kegemaran untuk berkelahi dan insting seksual sebagai premis filsafat sosial”(31).
Transformasi yang krusial jelas dimulai pada akhir Abad Pertengahan—yang, bukan suatu kebetulan, merupakan masa di mana interpretasi keagamaan tentang dunia yang lazim waktu itu mulai kehilangan cengkramannya atas kehidupan rakyat. Sementara keuntungan berangsur-angsur menjadi motor proses ekonomi, kecenderungannya adalah untuk pengorganisasian ulang seluruh sistem sosial secara bertahap dan bukan elemen ekonomi saja, karena tidak ada perbedaan alami antara keduanya.[2] Modal pun berhenti menjadi pelayan dan berubah menjadi tuan besar. Mengambil vitalitas yang terpisah dan mandiri, ia mengklaim hak seorang mitra yang lebih berkuasa untuk mendikte organisasi ekonomi agar sesuai dengan berbagai syarat yang diajukannya.” (Tawney:86). Itulah contoh paradok teknologi lainnya: kita menciptakan sistem-sistem yang rumit untuk membuat hidup kita lebih nyaman, tapi malah menemukan diri kita terperangkap ke dalam logika pengembangan mereka sendiri yang tak tergoyahkan itu. Monster dalam karya Shelley yang berjudul Frankenstein menyatakannya secara lebih brutal: “Memang engkaulah penciptaku, tapi akulah penguasamu.”
Cendikiawan yang melakukan paling banyak untuk menyingkap akar keagamaan kapitalisme pasar adalah Max Weber. Teori kontroversialnya bukan saja menemukan asal mula kapitalisme dalam “asketisme duniawi (this worldly asceticism)” etika kaum Puritan, melainkan juga menyatakan bahwa pada dasarnya kapitalisme masih tetap bersifat keagamaan dalam struktur psikologisnya. Menurut buku The Protestant Ethic dan the Spirit of Capitalism, kepercayaan kaum Kalvin pada predestinasi mendorong apa yang kemudian menjadi suatu kebutuhan yang tak tertahankan untuk menentukan apakah seseorang berada di antara kaum terpilih atau tidak; predestinasi tersebut membuat sakramen tak lagi diperlukan dan mengakibatkan didevaluasinya hal-hal yang sakral; sebagai gantinya, kesuksesan ekonomi di dunia ini kemudian diterima sebagai demonstrasi kemurahan hati Tuhan; ini menciptakan kondisi psikologis dan sosiologis untuk mengimpor nilai-nilai asketik dari biara ke dalam pekerjaan-pekerjaan duniawi, saat orang bekerja untuk membuktikan dirinya diselamatkan dengan menginvestasikan kembali setiap surplus ketimbang mengonsumsinya. Tujuan orisinil ini berangsur-angsur menjadi lemah, namun asketisme duniawi dalam diri (inner-worldly asceticism) belumlah lenyap di kala Tuhan semakin jauh dan sorga semakin tidak relevan. Di dunia modern kita, motivasi orisinilnya sudah menguap namun keasyikan kita dengan modal dan keuntungan tidak memudar bersamanya; sebaliknya, kedua hal itu malah menjadi obsesi utama kita. Karena kita tak lagi memiliki tujuan lain, tiada lagi keselamatan akhir lainnya untuk diimani, maka kita ijinkan yang tadinya merupakan sarana menjadi tujuan kita.
Hal terpokok dalam esei Weber mencerminkan betapa niat orisinil suatu aktivitas pada akhirnya bisa berubah menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda: “Kaum Puritan menginginkan untuk bekerja di sebuah pekerjaan; sedangkan kita, sifatnya adalah harus melakukannya. Karena sewaktu asketisme diusung keluar dari bui monastik ke dalam kehidupan kerja dan mulai mendominasi moralitas duniawi dalam diri, ia membantu membangun satu jagad tatanan ekonomi modern yang luar biasa. Tatanan tersebut kini terikat pada aneka ragam praanggapan teknis dan ekonomisnya produksi yang bersifat mekanistis dan yang bagaikan mesin. Pada masa ini, tatanan tersebut bukan saja menentukan dengan kekuatan yang tidak tertahankan gaya hidup orang-orang yang secara langsung terlibat di dalam usaha perekonomian, tapi juga gaya hidup semua individu yang lahir ke dalam mekanisme ini dan mungkin akan terus menentukannya hingga minyak fosil terbakar habis. Dalam pandangan Baxter, perhatian terhadap barang-barang eksternal seharusnya hanya terletak di atas pundak orang suci ‘bak mantel ringan yang bisa dicampakkan kapan saja.’ Namun takdir menitahkan mantel tersebut menjadi sebuah kerangkeng besi” (in Scaff:88).
Kita masih jauh dari tangan tak terlihatnya Adam Smith. Metafor Weber lebih tidak optimistik: etos kerja orisinil kaum Kalvin kini “sedang gentayang dalam kehidupan sehari-hari kita seperti hantu kepercayaan-kepercayaan keagamaan yang telah mati,” ditaklukkan oleh peradaban yang hanya bertumpu pada rasio sematanya (a rationalized civilization of) produksi skala raksasa dan konsumsi bak setan kelaparan yang pada masa kini hanya berlandaskan fondasi-fondasi mekanis semata (di Scaff:89).[3]
Sosiologi agama Weber membedakan agama-agama yang lebih ritualistik dan legalistik, yang mengadaptasikan diri mereka pada dunia, dengan agama-agama keselamatan (salvation religions) yang lebih bersikap memusuhinya [dunia]. Agama-agama keselamatan seringkali revolusioner berkat ramalan (prophecy) dan karisma yang memotivasi mereka, serta misionaris karena mereka berupaya menyuntikkan sebuah pesan atau janji baru ke dalam kehidupan sehari-hari. Upaya-upaya mereka untuk memastikan keabadian kasih sayang Tuhan di dunia pada puncaknya mensyaratkan penataan ulang sistem ekonomi. Weber mencatat bahwa umat agama jenis ini biasanya “tidak menikmati ketentraman di dalam diri karena mereka berada dalam cengkraman ketegangan-ketegangan dalam diri.”
Poin terakhir ini, yang bukan saja mendeskripsikan kaum Puritan yang didiskusikan dalam The Protestant Ethic tapi juga mengingatkan kita akan situasi-situasi kita sendiri, menunjukkan bahwa kapitalisme pasar dimulai sebagai, dan mungkin masih tetap dipahami sebagai, satu bentuk agama keselamatan: tidak puas dengan dunia sebagaimana ia adanya dan terdorong untuk menyuntikkan janji baru ke dalamnya, termotivasi (dan membenarkan dirinya sendiri) oleh iman pada kasih sayang Tuhan dalam bentuk keuntungan (the grace of profit) dan perhatian untuk melanggengkan kasih sayang tersebut, dengan semangat misionaris untuk meluaskan dan menata ulang (merasionalkan) sistem ekonomi. Argumentasi-argumentasi Weber secara tidak langsung menyatakan bahwa walaupun kita memikirkan dunia modern sebagai sudah disekulerkan, nilai-nilainya (mis, rasionalisasi ekonomi) bukan saja diambil dari nilai-nilai keagamaan (keselamatan yang diperoleh dari menyuntikkan janji baru yang revolusioner ke dalam kehidupan sehari-hari), mereka utamanya adalah nilai-nilai yang sama, meskipun telah berubah oleh hilangnya rasa hormat pada dimensi non-duniawi. Atau, lebih tepatnya, nilai-nilai ini sudah terdistorsi oleh fakta bahwa motivasi kita yang tak lagi non-duniawi tapi masih berorientasi ke masa depan tersebut sudah menjadi tidak disadari.
Weber menekankan bahwa kendati etos kerja asketik mungkin sudah kehilangan makna orisinilnya tapi itu tidaklah mengurangi kedahsyatannya. Jenis keselamatan kita masih mensyaratkan orientasi ke masa yang akan datang. Seperti yang disampaikan Norman Brown, “Kita tidak lagi memberikan surplus kita ke Tuhan; proses memproduksi surplus yang terus meningkat itu sendiri adalah Tuhan kita.”(261). Kontras dengan waktu siklik masyarakat-masyarakat pra-modern, dengan ritual-ritual penebusan dosa musiman mereka, waktu ekonomi kita adalah linear dan tertuju ke masa depan, karena ia berusaha menjangkau satu penebusan dosa yang tak lagi bisa dicapai karena ia telah lenyap sebagai sebuah motivasi yang sadar. Namun sebagai motivasi tak sadar, ia masih berfungsi, sebab kita masih terus berusaha menjangkau suatu tujuan yang ditunda selamanya. Oleh karena itu, reaksi kolektif kita berubah menjadi suatu kebutuhan untuk bertumbuh: nafsu yang tidak pernah terpuaskan untuk “standar kehidupan” yang terus-menerus meningkat (sebab begitu kita mendefinisikan diri sebagai konsumen, kita tidak akan pernah [merasa] memiliki terlampau banyak) dan kabar gembira (gospel) ekspansi ekonomi yang bisa dipertahankan kelanjutannya (sebab korporasi-korporasi dan PDB tidak pernah cukup besar).[4]