Kelaparan yang tak berkesudahan…sudah bahagiakah kita?
Saat ini bukan kaum proletar yang transformasi kesadarannya akan membebaskan dunia, melainkan para konsumen. (Miller:19).
Dari sudut pandang keagamaan, masalah dengan kapitalisme pasar dan nilai-nilainya itu bersifat ganda, yaitu: keserakahan dan kebodohan. Di satu sisi, pasar yang tanpa kendali itu menekankan keserakahan bahkan sebenarnya membutuhkannya paling tidak dalam dua cara. Nafsu untuk keuntungan diperlukan untuk membahanbakari mesin sistem ekonomi dan nafsu tak akan pernah bisa dipuaskan yang harus dibangkitkan guna menciptakan pangsa pasar untuk segala sesuatu yang bisa diproduksi. Dalam teori ekonomi maupun dalam pasar yang ditumbuhkannya itu, tak terelakkan lagi lenyap sudah dimensi moral keserakahan; kini tampaknya hanya tinggal agama saja yang masih bisa diharapkan dapat mengatasi apa yang problematik dari sifat manusia, yaitu yang dalam kondisi terbaiknya, tidak menyenangkan secara moral dan yang dalam keadaan terburuknya, jelas-jelas sangat jahat. Pemahaman-pemahaman keagamaan tentang dunia cenderung hingga batas tertentu mempersepsikan keserakahan sebagai sesuatu yang alami, namun ketimbang membiarkannya bebas, pemahaman-pemahaman tersebut justru melihat keserakahan perlu dikendalikan. Masalah spiritual dengan keserakahan, baik keserakahan untuk memperoleh laba maupun untuk mengonsumsi, bukan saja disebabkan oleh dampak maldistribusi barang-barang duniawi (kendati pendistribusian yang lebih adil sangat esensial) ataupun dampak-dampaknya terhadap biosfir, melainkan yang jauh lebih fundamental lagi adalah karena keserakahan berasal dari kebodohan batin: suatu delusi bahwa kebahagiaan bisa diketemukan dalam cara ini. Berusaha mencari pemenuhan melalui laba ataupun menjadikan konsumsi sebagai makna kehidupan kita, merupakan suatu pemberhalaan, yaitu penyimpangan yang sangat keji terhadap agama sejati; dan institusi keagamaan manapun yang berdamai dengan prioritas nilai-nilai pasar tersebut tidak layak disebut sebagai agama yang asli.
Dalam kalimat lain, keserakahan adalah bagian dari sistem nilai yang cacat (cara untuk hidup di dunia) yang berdasarkan pada sistem kepercayaan yang salah (apa itu dunia). Subyektivisme ekstrim Cartesianisme dan individualisme atomistik utilitarianisme, yang “mengalamikan” keserakahan tersebut, harus ditantang dan disangkal—bukan hanya secara intelektual, tapi khususnya oleh cara kita menjalani kehidupan kita. Kepekaan yang tajam terhadap keadilan sosial yang terdapat dalam agama-agama Semitik (agama-agama yang memandang dosa merupakan kegagalan moral dari kehendak ) perlu ditambahkan dengan penembusan dan pelenyapan kebodohan batin (ketidaktahuan sebagai suatu kegagalan untuk memahami) yang ditekankan oleh tradisi-tradisi pencerahan Asia. Lagi pula, saya pikir agama-agama Semitik tanpa tradisi-tradisi pencerahan Asia pasti tidak akan efektif di jaman kita yang sinis ini. Kita tak akan pernah bisa mengatasi masalah keadilan sosial distributif tanpa juga mengatasi pengaburan nilai tentang kebahagiaan yang terjadi lewat akumulasi dan konsumsi yang bersifat individualistik, karena masalah tersebut bukan hanya disebabkan oleh kemampuan orang-orang yang mengendalikan berbagai sumber daya dunia untuk memanipulasi segala sesuatu untuk mencapai apa yang dianggap menguntungkan mereka sendiri, dan sebagaimana telah ditunjukkan abad ke 20, revolusi-revolusi penuh kekerasan untuk menggulingkan kaum elite macam itu hanyalah menggantikan mereka dengan orang-orang lain yang berkualitas serupa.
Menurut sejarawan Perancis Fernand Braudel, revolusi industri “pada akhirnya merupakan sebuah revolusi dalam permintaan (demand)”—atau lebih tepatnya, “suatu transformasi nafsu” (183). Karena kita telah memandang nafsu-nafsu kita yang tak akan pernah dapat dipuaskan itu sebagai hal yang “alami,” maka perlu diingat betapa cara kita menjadi bernafsu saat ini (present mode of desiring) juga merupakan sebuah sistem nilai yang terkondisi secara historis—satu set kebiasaan yang dimanufaktur seperti barang-barang yang dipasok untuk memuaskannya. Menurut jurnal perdagangan, yang seharusnya tahu akan hal ini, pada tahun 1994 Amerika Serikat (AS) menghabiskan $147 miliar untuk belanja iklan—jauh lebih besar daripada pengeluaran untuk semua pendidikan tinggi. Belanja ini diterjemahkan ke dalam pembombardiran dari 21.100 iklan komersil TV, sejuta halaman iklan di majalah, 14 miliar katalog pemesanan lewat surat, poster, dan billboard. Pengeluaran tersebut tidak termasuk industri-industri terkait yang berdampak pada selera maupun belanja para konsumen seperti promosi, hubungan masyarakat, marketing, desain dan khususnya fashion (bukan hanya busana), yang berjumlah sekitar $100 miliar lagi per tahun (Durning:122). Disatukan, ini barangkali merupakan upaya terbesar dalam manipulasi mental yang pernah dialami umat manusia—semua itu hanya ditujukan untuk mendefinisi serta menciptakan kebutuhan-kebutuhan konsumeris.Tak mengherankan seorang anak di negara maju berdampak terhadap lingkungan tiga puluh kali dari anak di dunia ketiga.
Jika pasar adalah cara yang paling efisien untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomi kita, lalu mengapa industri-industri raksasa tersebut diperlukan? Teori ekonomi, seperti pasar itu sendiri, tidak membedakan antara kebutuhan-kebutuhan yang jenuin dengan nafsu-nafsu hasil manufaktur. Keduanya diperlakukan sebagai normatif. Tidak ada perbedaan mengapa orang menginginkan sesuatu. Namun konsekuensi-konsekuensi pendekatan ini terus menghasilkan perbedaan besar. Pola konsumsi yang kini tampak alami bagi kita menyediakan suatu konteks yang lebih serius bagi kemerosotan pesat sistem-sistem ekologi selama setengah abad lalu: menurut the Worldwatch Institute, lebih banyak barang dan jasa (diukur dalam dollar yang konstan) dikonsumsi manusia yang hidup antara tahun 1950 dan 1990 daripada yang dikonsumsi seluruh generasi terdahulu dalam sejarah manusia (Durning: 38).
Jika ini tidak cukup mengusik, tambahkan berbagai konsekuensi sosial yang telah ditimbulkan peralihan kita ke nilai-nilai konsumeris, yang, paling tidak di AS saja, telah merevolusi cara kita berhubungan satu dengan lainnya. “Dengan runtuhnya komunitas di segala tingkatan, umat manusia semakin mirip dengan apa yang dideskripsikan model Homo economicus tradisional. Belanja sudah menjadi rekreasi nasional….Berdasarkan pinjaman serta penjualan asset nasional secara besar-besaran, orang-orang Amerika menghambur-hamburkan warisan mereka dan memiskinkan anak-anak mereka” (Daly and Cobb:373). Bah!…untuk patrimoni mereka. Kekayaan kita yang begitu luar biasa tidaklah cukup bagi kita sehingga kita menambahkannya dengan mengakumulasi jumlah hutang yang gila-gilaan. Betapa panjang akal kita ini sampai-sampai menciptakan sistem ekonomi yang mengijinkan kita untuk mencuri asset masa depan keturunan kita! Aneka komodifikasi kita memungkinkan kita mencapai sesuatu yang umumnya diyakini mustahil yaitu, perjalanan menembus waktu: kini kita punya banyak cara untuk menjajah dan mengeksploitasi bahkan masa yang akan datang.
Sadar bahwa melihat sifat dasar penderitaan secara mendalam dapat membantu kami menumbuhkembangkan kasih sayang serta mencari jalan untuk keluar dari penderitaan, kami bertekad untuk tidak menghindar atau menutup mata kami dari penderitaan Kami berkomitmen untuk menemukan berbagai cara termasuk kontak pribadi, gambar-gambar, suara-suara, dan bersama-sama dengan mereka yang sedang menderita, sehingga kami dapat memahami situasi mereka secara mendalam dan membantu mereka mengubah penderitaan mereka menjadi kasih sayang, kedamaian, dan suka cita. Zen Master Thich Nhat Hanh
Ironi terakhir dalam pengomodifikasian dunia yang sudah hampir komplit ini tidaklah mengejutkan bagi siapa pun yang akrab dengan apa yang sudah menjadi perilaku adiktif bagi 59 juta orang di AS (Dominguez and Robinson:171). Perbandingan-perbandingan yang sudah dibuat selama ini dan antarmasyarakat menunjukkan bahwa tidak banyak perbedaan dalam kebahagiaan yang dilaporkan oleh diri sendiri. Fakta bahwa kita yang tinggal di dunia maju sekarang sedang mengonsumsi jauh lebih banyak tidaklah berdampak banyak bagi kebahagiaan kita (Durning:38-40).
Hal ini tidak mengejutkan bagi orang-orang yang orientasinya lebih relijius. Kritik terbaik bagi keserakahan untuk mengonsumsi ini masih terus disediakan ajaran-ajaran tradisional agama, yang bukan saja berfungsi memberikan kita dasar pijakan tapi juga menunjukkan kepada kita betapa kehidupan kita bisa dirubah. Misalnya, dalam Buddhisme, agama saya sendiri, nafsu-nafsu milik sang ego-diri yang tak akan pernah dapat dipuaskan itu justru adalah sumber frustasi dan kurangnya kedamaian yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Konsumsi berlebihan yang mengalihkan perhatian dan menghilangkan keadaan sadar kita merupakan salah satu gejala utama masalah ini. Malangnya bagi kita semua, desakan untuk terus mengonsumsi tersebut bukannya mengurangi kecemasan kita malah membuatnya tambah parah.
Sebagai jawaban, agama Buddha mengajarkan pelepasan dan kedermawanan. Seperti yang disampaikan Shunryu Suzuki roshi, pelepasan bukanlah berarti melepaskan segala sesuatu di dunia ini melainkan menerima bahwa hal-hal tersebut tidaklah kekal abadi, mereka akan berlalu. Kemampuan untuk memahami dan menerima segala sesuatu akan berlalu—termasuk diri kita sendiri—sangat kita perlukan agar dapat hidup dengan tenang. Hanya orang yang identitasnya tidak terikat pada akuisisi dan konsumsilah yang benar-benar mampu melepaskan dunia. Tanda pelepasan adalah kedermawanan, yang dihargai secara sangat mendalam dalam agama Buddha seperti semua agama utama.[7] Kedermawanan sejati bukan saja menunjukkan pengembangan moral tapi juga insight: “Seiring dengan memudarnya kebutuhan untuk mendefinisi dan mempresentasikan diri kita, memudar pula keterikatan akan kepemilikan dan desakan untuk mengakuisisi. Sehingga pada akhirnya kita akan mampu melihat bahwa pengalaman akan keterikatan pada kepemilikan itu sendiri pada dasarnya bersumber dari kebodohan batin. Sesuatu merupakan milikku hanya jika itu bukan milikmu. Namun jika kita mampu melihat bahwa tidak ada aku yang terpisah dari kamu, juga tidak ada kita yang terpisah dari fenomena dunia, konsep kepemilikan mulai kehilangan maknanya. Pada dasarnya tidak bisa ada desakan untuk mengakuisisi, karena tidak ada sesuatu pun yang kurang (lacking)” (Jeffrey:12). Konsumerisme bukan saja gagal melihat perasaan suka cita lebih tinggi yang diperoleh dari memberi kepada pihak-pihak lain, tapi juga mencegah terjadinya realisasi ontologis tentang nondualitas antara diri saya dan pihak-pihak lain. Realisasi tersebut menghantarkan kita pada insight yang transformatif bahwa kita tidak perlu menjadi akuisitif jika sesungguhnya memang tidak ada sesuatu pun yang kurang. Agama-agama lain mencari cara-cara lain untuk mengekspresikan pentingnya kedermawanan, tapi saya percaya jalur mereka yang berbeda bekerja menuju realisasi yang serupa tentang kesalingterkaitan kita. Jika kita kontraskan pendekatan ini dengan indoktrinasi pasar tentang pentingnya akuisisi dan konsumsi—suatu indoktrinasi yang dibutuhkan pasar agar dapat berkembang—garis-garis pertempuran menjadi jelas. Semua agama yang asli adalah sekutu alami dalam melawan sesuatu yang merupakan pemberhalaan yang menindas ajaran-ajaran terpenting agama-agama tersebut.
Sebagai kesimpulan, pasar bukan hanya sekadar sebuah sistem peekonomian melainkan juga sebuah agama—tapi bukan agama yang baik, karena pasar hanya bisa tumbuh subur dengan mengobral janji gombal keselamatan sekuler yang tidak akan pernah bisa dipenuhinya. Disiplin akademisnya, “ilmu pengetahuan sosial” ekonomi, lebih baik dipahami sebagai sebuah teologi yang berpura-pura sebagai ilmu pengetahuan.
Ini menunjukkan bahwa solusi apa pun untuk masalah-masalah yang telah mereka ciptakan pasti memiliki dimensi keagamaan. Ini bukanlah persoalan tentang beralih dari nilai-nilai sekuler ke nilai-nilai yang sakral, melainkan tentang kebutuhan untuk menyingkap betapa obsesi-obsesi sekuler kita sudah menjadi gejala dari suatu kebutuhan spiritual yang tak akan pernah dapat mereka penuhi. Karena kita telah, baik secara sadar ataupun tidak sadar, berpaling dari pemahaman relijius tentang dunia, kita malah memburu tujuan-tujuan duniawi dengan semangat keagamaan yang semakin menggebu-gebu karena tujuan-tujuan duniawi tersebut tak akan pernah bisa terpenuhi.[8] Solusi untuk bencana lingkungan yang sudah mulai terjadi dan solusi untuk keterpurukan sosial yang sedang kita alami, akan terjadi kala kita mengarahkan kembali dorongan spiritual yang tertekan ini kembali ke jalur sejatinya.. Untuk sementara ini, jalur tersebut termasuk berjuang mati-matian melawan agama palsu jaman kita ini.
***
David R. Loy
Diterjemahkan oleh Jimmy Lominto
Makalah ini diterbitkan sebelumnya di the Journal of the American Academy of Religion. Vol. 65, No. 2, Summer 1997
David R. Loy adalah seorang profesor di Fakultas Studi Internasional, Universitas Bunkyo, Chigasaki, Jepang. Kerja di bidang perbandingan filsafat dan agama, khususnya membandingkan Buddhisme dengan pemikiran modern Barat. Dia adalah penulis Nonduality: A Study in Comparative Philosophy (Yale, 1989) dan Lack and Transcendence: The Problem of Death and Life in Psychotherapy, Existentialism, and Buddhism (Humanities Press, 1996). Seorang praktisi Zen sekitar dua puluh tahunan yang memenuhi syarat sebagai sensei (guru) dalam tradisi Sanbo Kyodan.