Budaya-Tionghoa.Net |Para pendekar budaya yang budiman, perkenankan saya mengirimkan tulisan saya yang akan dimasukkan sebagai bahan koreksi kepada pemerintah berkenaan dengan diskriminasi hukum yang dirasakan masih mengganjal kalangan Tionghoa di Indonesia. Bahan ini jelas masih sangat jauh dari sempurna, dan mengingat keluasan wawasan dari para pendekar budiman di Mailing-List Budaya Tionghua ini, perkenankan saya meminta masukan dari para pendekar budiman ini.
|
Mungkin isi dari tulisan tersebut masih terlalu subyektif dan dangkal, sehingga masukan anda semua sangat diharapkan. NB: bahan ini dimasukkan sebagai dokumen penelitian untuk BPHN untuk seterusnya dimasukkan ke Depkehham. Saya sendiri bertanggung jawab sepenuhnya atas isi tulisan yang mungkin terbilang cukup keras ini, namun apabila ada kesalahan data atau penulisan, harap para pendekar sudi membantu untuk meluruskannya.
Siancay,
Orang yang baru belajar
EVALUASI DAN ANALISIS KRITIS TERHADAP BERBAGAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERDAMPAK DISKRIMINASI RASIAL
Studi Kasus Mengenai Diskriminasi terhadap Etnis Tionghoa
Oleh: Suma Mihardja, Tim Analisis dan Evaluasi Hukum pada BPHN
Pengantar Mengenai Pengertian “Etnis Tionghoa” dalam TopikDiskriminasi Rasial (catatan: untuk memudahkan pembaca umum, istilah Tionghoa yang dipergunakan dalam tulisan ini kebanyakan berasal dari dialek Min [Hokkian] berlogat Chuan Ciu yang lebih familiar didengar di Jawa dan Sumatera ketimbang dialek Pu Tong Hua {Mandarin; meskipun menjadi dialek resmi] atau Hakka [meskipun jumlahnya juga cukup besar di Indonesia]. Pemakaian istilah lain seperti penyebutan nama Dinasti Ming [Mandarin] ketimbang dinasti Beng [Hokkian], adalah dikarenakan pemakaian istilah itu lebih populer dipergunakan sehari- hari)
Secara teknis dan apalagi akademis, merupakan persoalan yang cukup sulit untuk mendefinisikan apa yang disebut sebagai kalangan “etnis Tionghoa”, apalagi untuk lebih spesifik mendefinisikan apa yang disebut sebagai Tionghoa Indonesia di sini (atau ada juga yang menyebutnya sebagai Indonesia Tionghoa; untuk membedakannya dari sudut konsep kewarganegaraan mengenai “Tionghoa asing” yang berarti etnis Tionghoa yang bukan WNI atau tidak memiliki persentuhan dengan negara Indonesia).
Apabila berbicara mengenai hubungan “darah” atau ciri-ciri fisik etnik semata-mata, juga kadang-kadang tidak begitu sesuai, karena kenyataannya ditemukan banyak juga terjadi akulturasi kebudayaan dan perkawinan antar komunitas. Mereka yang disebut sebagai kalangan Tionghoa sendiri adalah komunitas yang cukup majemuk dan dapat ditemukan di seluruh dunia. Bahkan di negara RRC sendiri (suatu konsep yang juga memiliki permasalahan mengingat komunitas kalangan Tionghoa di seantero sudah ada sebelum terbentuknya RRC, bahkan pada saat perbatasan negeri Tiongkok sendiri berubah-ubah sesuai dengan jaman kedinastiannya yang praktis menimbulkan kesulitan misalnya untuk mendefinisikan apakah seorang Vietnam adalah seorang Tionghoa atau bukan), kalau konsep etnisitas tersebut hendak dirujuk kepada konsepsi warga suatu bangsa yang paling bersentuhan dengannya, konsep etnisitas ini bukan hal yang mudah untuk dikategorikan, apakah hanya sekedar menginduk kepada ciri-ciri tubuh yang dimiliki oleh orang Han pada umumnya yang komposisinya menjadi 95% penduduk di sana, ataukah juga memasukkan suku-suku minoritas, mulai dari yang ciri tubuhnya paling berdekatan seperti suku Mongol di Utara, suku Miao di Selatan, suku Tibet di Barat dan juga Korea di Timur, sampai kepada mereka yang memiliki struktur tubuh agak berbeda seperti suku Uighur di Barat, suku Sa di Selatan, dan bahkan mereka yang memiliki struktur ras yang berbeda namun berkebudayaan Tionghoa.
Bahkan penamaan khusus terhadap kalangan etnis Tionghoa di luar RRC sendiri diberikan kepada komunitas yang sangat majemuk dan dapat ditemukan di seluruh dunia dan bisa jadi terbentuk selama berabad- abad lamanya. Ada yang dapat dengan mudah diidentifikasikan berdasarkan ciri ras pada umumnya dan didukung oleh ciri budaya yang dibawanya, ada juga yang secara ciri ras dikenali sebagai seorang Tionghoa namun sebenarnya mereka membawa kebudayaan yang sudah berbeda, bahkan ada juga yang menjalankan kebudayaan Tionghoa namun ciri fisik mereka “kurang mewakili” seorang Tionghoa.
Apalagi kenyataannya untuk kawasan Asia Tenggara dan khususnya Indonesia, ciri fisik kalangan Tionghoa dan kalangan “Pribumi” juga tidak berbeda jauh karena dari segi antropologis kenyataannya mereka berasal dari struktur genealogis yang hampir sama, sebagai sama-sama ras Mongolia, dan bisa jadi memiliki titik pertemuan darah yang berdekatan di daerah Yunnan sana yang diperkirakan merupakan daerah asal mula kalangan “pribumi” Indonesia yang dapat dipastikan bukan keturunan dari Meganthropus Palaeojavanicus sebagai penghuni “asli” dataran Jawa dan mungkin juga Sumatera (meskipun temuan arkeologis lain seperti Mojokertensis, Wajakensis, atau sebagainya yang lebih muda usianya juga masih menimbulkan kontroversi keterhubungannya dengan manusia modern yang menghuni daerah tersebut sekarang ini).
Akan sangat mudah bagi kalangan antropolog untuk menemukan mereka yang menamakan dirinya Tionghoa Benteng di Tangerang yang jumlahnya sangat besar dan menjadi mayoritas penduduk di Kotamadia Tangerang dengan ciri-ciri fisik yang akan menyesatkan karena warna kulitnya yang hitam, mata yang cukup lebar, perawakan yang pendek gempal, sampai saat mereka mengatakan “Owe”(saya dalam dialek pasar) dan mengajak antropolog tersebut ke rumahnya yang ditempeli Hu (kertas bertulisan untuk mengusir hawa jahat) dan memiliki meja abu dengan foto almarhum orang tuanya terpasang di sana.
Begitu juga akan sangat mudah bagi kalangan antropolog yang serupa untuk mampir di kota Menado dan bertemu dengan mereka yang bertubuh kuning langsat, mata yang agak menyipit, perawakannya kecil, namun saat ditanya akan dapat menguraikan kemargaan Menadonya secara panjang lebar dan menolak bahwa dirinya memiliki “darah” Tionghoa.
Dan tipuan-tipuan mata yang serupa dapat terjadi di mana saja di seluruh Indonesia ini, meskipun mungkin tidak dominan, tapi secara persentase tentu saja tetap besar secara keseluruhannya. Apalagi kalau antorpolog tersebut hendak memperluasnya dan mencoba membedakan antara orang Asia Tenggara yang satu dengan yang lain, dengan sampel yang sangat beragam pula berdasarkan suku yang ada di Asia Tenggara tersebut. Kajian yang dapat melengkapi misalnya dalam buku the Encyclopedia of the Chinese Overseas suntingan Lynn Pan, 2000.
Kemudian kalau kita berbicara mengenai persoalan “memiliki darah Tionghoa”, kita juga bisa terjebak menganalisisnya, baik dari segi golongan darah A, B, AB dan O sebagaimana sering diperbincangkan oleh kalayak umum, ataupun bahkan lebih modern lagi dengan pemeriksaan pada struktur genetika pada kromosomnya juga, karena kenyataannya saja persoalan teknis biologi dan kedokteran seperti itu pun tidak bisa sepenuhnya menjawab persoalan definisi yang dikemukakan tadi. Untuk memudahkan kajian mengepa pendekatan seperti itupun tidak memuaskan, dapat dirujuk pada kenyataan sejarah berikut ini yang terkait dengan hubungan kalangan Tionghoa dengan masyarakat lainnya di Indonesia.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa berabad-abad lamanya telah berlangsung proses pengangkatan anak atau penganugerahan kebangsawanan antar bangsa dalam kedua komunitas ini. Kalau membaca nama Tan Jin Sing dan kemudian keluarga Secodiningrat di Yogyakarta misalnya, Sunan Kuning di Solo lalu Tumenggung Aria Wiracula di Cirebon, atau bahkan dalam silsilah yang dimiliki oleh marga Thung dan hubungannya dengan para Tubagus di Banten, bisa saja terjadi persepsi yang keliru apabila hanya dihubungkan sekilas dengan praduga tentang aliran “darah” atau trah silsilah.
Belum lagi kenyataan adanya perkawinan antar bangsa yang meskipun telah sedemikian jauh jaraknya juga dapat memberikan data kromosom dari etnis tertentu dari pihak perempuan, sementara nama keluarga yang dipertahankan justru misalnya dari yang laki-laki yang berasal dari suku yang lain, sementara orang tersebut tidak pernah tahu- meneahu mengenai silsilah kedua garis moyangnya itu yang sudah pasti sangat jauh dan beranak cabang sangat rumit pula. Dengan cara begitu, bahkan tentu saja kalangan antorpolog dapat dengan mudah mengklaim seluruh penduduk Indonesia adalah berdarah Tionghoa berdasarkan penelitian antropologis mutakhir yang membenarkan kemungkinan migrasi dari daerah di sekitar Tiongkok Selatan tersebut. Yang pasti, konsepsi darah bukan sumber akademis yang tepat untuk menentukan siapa yang disebut kalangan Tionghoa dan siapa yang bukan.
Lalu dengan cara apa diskriminasi di Indonesia selama ini dilakukan? Mengingat faktor fisik (meskipun sering jadi penanda awal untuk menentukan ke golongan mana dia dimasukkan) dapat terbantah berdasarkan konstruksi yang ada di muka, perhatian mau tidak mau kita tujukan kepada dasar pembentuk diskriminasi yang terjadi selama ini, yaitu kepada apa yang disebut sebagai “Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina”. Secara mudahnya, persoalan tersebut dapat dikelompokkan sebagai Kebudayaan Tionghoa, sehingga pembahasan dapat dilakukan secara umum terlebih dahulu sebelum masuk kepada pembahasan mengenai simbol diskriminasi orde baru tersebut.
Pertama-tama, pemakaian istilah Tionghoa dalam tulisan ini jelas untuk menegaskan konstruksi keberadaan kalangan “etnisitas” (dalam pengertian budaya) tertentu yang mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang Tionghoa. Pemakaian istilah Cina di sini, meskipun dianggap netral dari berbagai catatan yang ada dan polemik yang sempat berkembang pada lima tahun belakangan ini, akan dihindari untuk dipergunakan mengingat bahwa aspek pemberian kata “Cina” tersebut oleh kepentingan elite penguasa sebenarnya sempat menimbulkan rasa terdiskriminasi pada kalangan Tionghoa tersebut.
Kemudian mengikuti doktrin umum yang dipakai dalam penelitian sosiologi-antropologi, pengacuan penelitian budaya di sini meliputi aspek-aspek “himpunan pola-pola perilaku sosial yang merupakan kekhasan suatu komunitas tertentu” yang dapat meliputi perasaan dominan sebagai sebuah kelompok atas sistem pengetahuan, agama/kepercayaan, kesenian, tata kesusilaan, aturan hukum, tata cara adat istiadat dan kebiasaan lainnya yang dipelajari dan diwariskan dalam suatu komunitas tertentu. Dengan demikian, maka dalam keperluan ini, cukup memadai untuk menganggap bahwa aspek diskriminatif yang utama ada pada konsep kebudayaannya sebagai bagian hakiki hak dasar manusia dalam bermasyarakat.
Dalam pola pandang seperti itu, masyarakat Tionghoa harus dipahami sebagai pendukung suatu kebudayaan tertentu yang meliputi pemikiran dominan mengenai setidaknya rasa identitas yang terwujud melalui pemahaman mereka akan hal-hal yang disebutkan di muka. Seorang yang fasih berbahasa Hokkian saja tidak dapat dianggap sebagai orang Tionghoa (Hokkian) apabila dia tidak secara dominan menunjukkan bahwa dirinya adalah pengusung nilai-nilai kebudayaan Tionghoa.
Bahkan dalam konstruksi negatif, seorang yang lahir dari orang tua yang “Tionghoa” tulen (dalam arti sistem pengetahuan, bahasa, agama, seni, tata susila, adat secara keseluruhan) dapat dikatakan tidak lagi menjadi seorang Tionghoa apabila dirinya tidak menganggap lagi dirinya sebagai minimal berdarah Tionghoa, tidak punya nama marga atau penamaan khas Tionghoa lainnya, tidak punya tendensi sistem pengetahuan sebagaimana dikenal oleh orang Tionghoa, memiliki agama yang memiliki karakter berbeda, seninya mengambil dari kelompok lain, tata susilanya dan cara penyebutannya berbeda, begitu juga adat istiadatnya dalam berturur perilaku.
Apapun bentuknya, asimilasi totalkah(?) ataukah mengalami proses kehilangan identitas sama sekali (mengambil segala nilai tanpa rasa mengacu), pada dasarnya dia tidak lagi dikatakan sebagai seorang Tionghoa. Hanya dalam keadaan tertentu, perasaan Ke-Tionghoa-an itu dapat muncul lagi, misalnya saat anak keturunannya menelusuri silsilah dan menghidupkan kembali “budaya yang melekat dalam darah” itu.
Melihat titik pandang seperti itu, tentu masih menyisakan kesulitan untuk menyebutkan siapa yang Tionghoa dan siapa yang bukan, mengingat penerimaan dan kesertaan mereka terhadap sistem budaya Tionghoa dapat terbentuk dari derajat dan peminatan yang berbeda- beda, dan dari kacamata ekstern, bisa jadi juga ada stereotyping atau pencirian yang berbeda dengan apa yang dilihat dari sisi intern kalangan Tionghoa. Bahkan secara kontras, dari sisi sebaliknya, dalam hal khusus lainnya, seorang yang “berdarah Jawa” misalnya ketika dia beragama Tao, menguasai sistem tata susila Tionghoa, menjalankan tata peradatan Tionghoa dan menginduk sistem pengetahuan Tionghoa, dia sudah dapat disebut sebagai kalangan Tionghoa!
Meskipun demikian, setidaknya, pengertian kalangan Tionghoa di sini harus dilihat dari pengertian “rasa” dan setidaknya “kepemilikan unsur budaya secara minimal” yang dilakukannya. Rasa yang dimaksud di sini adalah setidaknya sesuatu yang di dalam dirinya menyatakan bahwa dia adalah seorang Tionghoa, sama halnya seperti seseorang merasa dirinya adalah seorang Sunda atau Batak. Kepemilikan unsur di sini juga minimal menunjukkan bahwa secara kebudayaan masyarakatnya dia dikenali sebagai seorang Tionghoa. Dari titik tolak pendekatan pandangan seperti itulah maka pendefinisian kalangan etnis Tionghoa dalam konteks diskriminasi hukum ini dapat dimulai.