Budaya Tionghoa dan Kekhasannya
Kalau bicara lebih jauh lagi mengenai nilai budaya apa yang dapat disebut sebagai budaya Tionghoa di Indonesia ini, kesulitan berikutnya dapat muncul. Cerita-cerita sejarah menunjukkan sudah terjadinya silang budaya yang sedemikian kerap antara daratan Tiongkok dengan daerah Asia Tenggara sejak jaman sejarah dimulai, termasuk juga terbentuknya kalangan Peranakan campuran (dalam hal ini dapat digeneralisasi berupa perkawinan antara kalangan laki-laki Tionghoa dan kalangan perempuan non-Tionghoa) di daerah Asia Tenggara pada masa-masa awal interaksi tersebut sekitar tahun 100- 1700 Masehi. Pada masa itu dapat dikatakan terjadi baik proses penyerapan ke dalam salah satu kebudayaan dari pasangan menikah tadi, atau dapat juga terbentuk suatu keluarga kecil yang akulturatif, meskipun kelompok kedua ini diperkirakan terbilang kecil sekali jumlahnya. Pada gilirannya nanti, penyerapan ke arah salah satu pihak dalam keluarga, akan menyebabkan kalangan Peranakan tersebut (dalam peristilah campuran, untuk membedakannya dengan istilah yang sama yang akan dipergunakan secara lebih luas dalam prauh jaman yang lain sebagai locally born) membagi dua ciri kelompok dirinya sesuai dengan pola budaya yang dianutnya.
Umumnya apabila mengalami “proses asimilasi” atau “melepas identitas”, dia melepaskan ciri-ciri budaya “Tionghoanya” untuk kemudian diserap dan dianggap baik sebagai “Pribumi” atau membentuk sebuah komunitas yang lebih “akulturatif”yang tidak tergantung kepada budaya asal dari masing-masing pasangan tersebut misalnya ketika membuka wilayah baru (contohnya perkawinan laki-laki Tionghoa dengan perempuan Bali di daerah Batavia misalnya, justru terserap ke dalam masyarakat Betawi atau Sunda), itupun tergantung sekali kepada suku atau kondisi masyarakat terdekat di mana ia tinggal.
Sementara mereka yang lebih kuat meyakini tarikan kebudayaan Tionghoanya yang pada umumnya dianggap lebih tinggi (sama seperti hal proses terasimilasinya penjajah Mongol pada jaman dinasti Yuan ke dalam kebudayaan Tiongkok), tetap mengakui dan melestarikan ciri budayanya tersebut sebagai seorang Tionghoa. Untuk kajian yang lebih jauh dan luas mengenai pertemuan budaya ini dapat dibaca diantaranya dalam buku Nusa Jawa: Silang Budaya dari Dennys Lombard, 1990 atau juga dalam trilogi yang sudah diterbitkan karya Anthony Reid mengenai Asia Tenggara, dan tidak lupa karya klasik DGE Hall, 1988 mengenai topik serupa. Lombard secara khusus malahan menyebutkan bahwa proses interaksi tersebut berjalan sangat mulus dan alami, kedua komunitas hidup secara damai tanpa pertentangan berarti.
Kajian dari daerah lainnya misalnya dapat dikaji dari buku IndoCina, Persilangan Kebudayaan dari Bernard Philippe Groslier, 1961 dan Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia dari Peter Bellwood, 1997. Mengingat bahwa untuk keperluan penulisan ini penentuan terhadap diskriminasi dilakukan berdasarkan pendekatan ciri budaya (hal mana akan sesuai dengan aksioma dasar bahwa masyarakat adalah pendukung suatu budaya, sehingga apa yang disebut kalangan Tionghoa adalah masyarakat yang mengidentifikasikan diri sebagai pendukung kebudayaan Tionghoa), maka temuan tentang konteks serupa yang membicarakan sisi etnis yang lebih mendekati penelaahan sistem kemasyarakatan (budaya) Tionghoa di Asia Tenggara juga membantu, misalnya dalam Chinese Society in Thailand dari G. William Skinner, 1957, kemudian Chinese Pioneers on the Sarawak Frontier 1841-1941 dari Daniel Chew, 1990, Chinese Family and Marriage in Singapore dari Maurice Freedman, 1957, China and the Chinese Overseas dari Wang Gungwu, 1995, the Study of Chinese Society dari Maurice Freedman, 1979, Chinese Minority in a Malay State dari Tan Chee- Beng, 2002, Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara suntingan Jennifer Cushman dan Wang Gungwum 1991, juga Tionghoa Indonesia dalam Krisis dari Charles A. Coppel, 1994, lalu berturut- turut the Chinese in Southeast Asia dari Victor Pucell, 1950, the Chinese in Indonesia: Five Essays suntingan JAC Mackie, 1976, Southeast Asia’s Chinese Minorities karya Mary F. Somers Heidhues, 1974, Sojourners and Settlers suntingan Anthony Reid, 1996 dan Early Chinese Immigrant Societies dari Lee Lai To, 1988.
Dalam masa-masa pertumbuhan itulah, khususnya sejak era dinasti Ming tahun 1400-an M yang menguatkan jalur perdagangan raksasa di Asia Tenggara (antara lain melalui jalur muhibah tokoh laksamana Ceng Ho; di mana jalur tersebut hanya dikerjakan oleh kaum laki-lakinya mengingat faktor teknologi dan keamanan saat itu) sebelum mengisolasi diri pada tahun 1435 M (dengan memusnahkan catatan bahkan membakar kapal-kapalnya yang legendaris), akhirnya mulai tumbuh kelenteng-kelenteng yang menjadi simbol budaya Tionghoa yang menandai semakin besarnya jumlah kalangan Tionghoa di nusantara. Kelenteng-kelenteng yang tumbuh selama jaman kedatangan besar era abad ke-15 (dalam berbagai nama, bentuk, ukuran dan tingkatannya seperti misalnya mulai dari Rumah Toa Pe Kong [berukuran kecil, bahkan ada yang hanya miniatur sebagai simbol penanda wilayah], bahkan, kelenteng keluarga, kelenteng abu, kelenteng peringatan, kelenteng bidang khusus, dan sebagainya; termasuk juga peristilahan Teng, Bio, Kong sebagai nama yang sering dipergunakan di wilayah Asia Tenggara; ingat juga bahwa Ceng Ho sebagai kasim beragama Islam juga mendapatkan bagian dalam tempat pemujaan berdasarkan kasanah Tionghoa) kemudian menjadi tempat pertemuan sosial dan manifestasi budaya yang dimiliki kalangan Tionghoa tersebut.
Kelenteng yang menjadi simbol masyarakat Tionghoa tadi pada khususnya mempertautkan apa yang dalam literatur keagamaan dunia disebut sebagai Chinese Religion yang mempertautkan kalangan penghayat Konfusianisme, Taoisme dan juga Budhisme Mahayana baik secara sendiri-sendiri maupun juga yang mengalami bentuk sinkretisme dalam tema yang nantinya dinamakan Sam Kauw (tiga agama/ajaran).
Untuk kajian mengenai hal ini, dapat dilihat lebih jauh dalam buku Chinese Religions dari Joseph A. Adler, 2002, Alam Pikiran Cina dari H.G. Creel, 1989, the Taoist Body dari Kristofer Schipper, 1996, the Religion of the Chinese People dari Marcel Granet, 1977, the Religion of China, confucianism and Taoism dari Max Weberm, 1951, the Books of Chinese Beliefs dari Freena Bloomfield, 1983.
Pembedaan yang dilakukan untuk mengenal kalangan Tionghoa Indonesia juga praktis harus merujuk kepada kenyataan bahwa yang dimaksudkan kebudayaan Tionghoa di sini pun cenderung lebih spesifik menjurus kepada kebudayaan Tionghoa Selatan (itupun lebih tepat disebut bagian Tenggara untuk membedakannya dari daerah bertradisi Tionghoa lainnya di Selatan dari suku Miao, Tibet atau Indo-China) yang secara corak agak berbeda dengan kebudayaan Tionghoa Utara. Mengapa demikian? Hal itu diakibatkan kebanyakan kalangan Tionghoa yang melakukan interaksi sosial internasional yang sedemikian tinggi itu, utamanya berasal dari dua daerah Selatan (Tenggara) yang bertetangga, yaitu penduduk Hokkian dan Kuangtung (Fujian dan Guangdong) yang mewarisi sejumlah sub-bahasa (Min, Teo Chiu, Ing Hoa, Hakka, Hok Cia, dan sebagainya) namun memiliki tradisi yang tidak terlalu jauh berbeda.
Sejarah Panjang Keberadaan Kalangan Tionghoa di Indonesia dan Sumbangsihnya kepada Masyarakat Indonesia yang Pluralis Di bagian muka sudah digambarkan bahwa kalangan Tionghoa dalam jumlah sangat terbatas diperkirakan sudah berdiam di bumi nusantara ini sejak awal abad pertama Masehi. Saat di mana kerajaan-kerajaan nusantara malahan belum berdiri dengan kukuh, bahkan pada saat di mana tradisi sejarah tulisan di Indonesia juga belum dimulai.
Catatan dinasti Han pada awal abad pertama Masehi sudah menyebutkan nama-nama pulau untuk daerah Jawa, Kalimantan dan Sumatera serta sejumlah tempat lainnya di nusantara. Perjalanan bersejarah yang dilakukan oleh sejumlah peziarah Budhis Tionghoa (lewat nama Fa Hsien) ke Jawa dan Sumatera yang bercorak Hindu-Budha pada abad ke-4 dan 5 serta beberapa kali sesudahnya secara rutin memperlihatkan bahwa jalur laut sudah dikenal pada masa itu, dan setidaknya juga memperlihatkan bahwa kegiatan transportasi dan migrasi sudah berjalan dengan lancar.
Catatan sejarah yang lebih muda juga menyebutkan adanya interaksi antara kerajaan-kerajaan di Nusantara, utamanya adalah Sriwijaya dan kemudian Majapahit dengan kekaisaran di Tiongkok, termasuk sejumlah pertukaran misi pada abad ke-9 sampai 11 (misalnya nama pengelana I Tsing). Cerita mengenai dinasti Yuan (dari suku Mongol) yang diperintahkan Kubilai Khan untuk membalas penghinaan kaisar Kediri dan perangkap yang dibuat oleh Raden Wijaya sebagai pendiri kerajaan Majapahit juga menjadi catatan tersendiri pada bagian pertengahan sampai mendekati akhir abad ke-13, di mana tentara yang dikalahkan tersebut kebanyakan justru menetap di pantai Utara Jawa dan pantai Timur Sumatera serta memperkenalkan sejumlah teknologi baru dalam pelayaran, pertukangan dan mengenalkan juga persenjataan dan bahan peledak.
Akhirnya pelayaran muhibah armada raksasa di bawah pengawasan Laksamana Ceng Ho yang diperintahkan kaisar dinasti Ming untuk melakukan pemetaan, yang berlangsung tujuh kali sepanjang tahun 1405- 1433 M memberikan jaminan kelancaran pelayaran laut yang memancing juga migrasi perdagangan dalam jumlah besar-besaran. Meskipun dinasti Ming secara resmi kemudian menutup pintu dan mengisolasi diri setelah misi muhibah terakhir, namun jumlah emigran telah meningkat signifikan, apalagi warga di propinsi Selatan Tiongkok juga sudah terbiasa pergi secara diam-diam untuk merantau dan berdagang, khususnya di daerah di mana pemerintahan dinasti Ming tidak efektif melakukan pengawasan setelah menghancurkan kapal-kapal raksasa yang dipakainya menjalankan muhibah itu.
Komunitas Tionghoa pun (belum termasuk yang berkelana dan menetap sebagai pribadi atau kelompok keluarga kecil) tersebar cukup merata dalam jumlah signifikan mulai dari Sumatera khususnya di pantai Timur dari Utara sampai Selatan, Kalimantan khususnya di pantai Barat dari utara hingga Selatan (belum termasuk yang ada di wilayah Malaysia dan Brunei sebagai salah satu kelompok sangat besar [bahkan perkiraan menyebutkan sampai 40%]), lalu di pulau Jawa sendiri khususnya sepanjang pantai Utara mulai dari ujung Barat hingga Timur, pulau Sulawesi khususnya bagian pesisir mulai dari Selatan hingga Utara, kepulauan Maluku, Madura, Bali, Nusa Tenggara hingga pulau Papua.
Komunitas Tionghoa itu pun memiliki karakter yang juga berbeda, mulai dari spektrum yang sangat kental budaya dan bahasanya (khususnya wilayah yang berbatasan langsung dengan Malaysia dan Singapura seperti Sumatera dan Kalimantan), yang kental budaya namun kurang menunjukkan bahasanya (misalnya di sebagian daerah Jawa bagian Utara) sampai yang kurang kental budaya dan bahasanya namun masih menyebut dirinya “keturunan” Tionghoa (misalnya sebagian yang tinggal di Menado atau di Jawa bagian pedalaman).
Pada masa itu, arus migrasi dapat dikatakan stabil, dan komunitas yang ada lebih tertarik untuk mengurusi kampung halaman keduanya di nusantara ini. Patut dicatat bahwa tindakan pemerintah kolonial Belanda pada tahun- tahun 1800-1900-an untuk memasukkan budak-budak Tionghoa baik laki- laki maupun perempuan dari Taiwan, Hokkian dan Kwangtung dalam jumlah besar ke Sumatera bagian Utara, Bangka dan daerah sekitarnya untuk mengelola perkebunan dan pertambangan menambah secara signifikan sebuah bentukan komunitas yang baru, seolah-olah bedol desa dan pada gilirannya juga menambah sebuah komunitas budaya baru di nusantara. Belum lagi kemudian ketika jalur pelayaran semakin ramai dan aman, kalangan budak yang mulai menjadi petani atau pengusaha kecil karena era politik etis Belanda, akhirnya dapat juga melakukan transportasi laut dengan daratan Tiongkok. Kalangan Tionghoa lainnya pun dapat mengirimkan anak-anaknya bersekolah di daratan, mengingat sistem pendidikan di Indonesia kala itu sangat terbelakang, padahal sistem budaya Tionghoa sangat mendorong proses pendidikan (bandingkan dengan Chinese Education in South-East Asia dari Douglas P. Murray, lalu Neo-Confucian Education: the Formative Stage dari suntingan Wm. Theodore de Bary dan John W. Chaffee, 1989).
Kesempatan yang sama juga akhirnya memungkinkan kalangan perempuan untuk datang dari daratan dan menikah serta menetap di Indonesia. Kajian yang membantu untuk mengenali komunitas tersebut dan dilema lokalitasnya dapat ditemukan dalam Growing Pains, the Chinese and the Dutch in Colonial Java 1890-1942 dari Mona Lohanda, 2002, the Kapitan Cina of Batavia 1837-1942 dari Lona Mohanda, 2001, lalu Politik Tionghoa Peranakan di Jawa 1917-1942 dari Leo Suryadinata, 1981, the Chinese of Semarang: a Changing Minority Community in Indonesia dari D.E. Willmott, 1960 dan the Chinese of Sukabumi: a Study in Social and Cultural Accomodation dari Melly Giok-Lan Tan, 1963.
Keadaan perhubungan transportasi yang semakin intens itu ditambah lagi dengan kenyataan bahwa ada proses transisi budaya baru yang terbentuk dari akulturasi antara dua komunitas Tionghoa yang sebelumnya bersaing dan saling kurang menyukai dan sekaligus menjadi titik tolak penguatan budaya Tionghoa kembali, khususnya yang diwakili oleh doktrin-doktrin Konfusianisme sebagai dasar ajaran filsafat dan moral dasar bagi kalangan Tionghoa yang dilengkapi dengan kepercayaan Taoisme (sebagai doktrin yang dikembangkan dari pokok ajaran Ji yang sama, yang dalam literatur disebut folk religion) dan Mahayana sehingga kebudayaan kalangan Peranakan Tionghoa yang terbentuk selama berabad-abad lamanya akhirnya menemukan persesuaian kembali dengan budaya dari kalangan Tionghoa yang datang lebih muda (Xinge).
Apalagi kemudian secara bertahap, dalam kurun waktu terakhir pertengahan abad ke-20 itu (khususnya dalam pembentukan kembali kebudayaan antara tahun 1900-1960 dalam era pergerakan nasionalisme yang diwakili Tionghoa Hwee Koan, untuk mana dapat dibaca dari buku Overseas Chinese Nationalism dari Lea E. Williams, 1960 dan Atsal Moehlahnya Timboel Pergerakan Tionghoa jang Modern di Indonesia dari Kwee Tek Hoay, 1938 juga Riwajat 40 Taon dari THHK Batavia 1900-1939 oleh Nio Joe Lan, 1940) menghasilkan corak budaya yang cenderung mapan dimiliki oleh mereka yang disebut sebagai Tionghoa Indonesia (penamaan mutakhir yang merujuk kepada mereka yang memiliki warisan budaya Tionghoa dengan kewarganegaraan ius soli Indonesia). Kaum Tionghoa inilah yang dapat disebut sebagai “Peranakan” Tionghoa di Indonesia (karena faktor kelahiran mereka, locally born) yang membedakannya dengan peranakan dalam peristilahan masa-masa sebelumnya (yang di sebagian daerah Malaya dikenal sebagai komunitas Baba-Nyonya)..
Keberadaan kalangan Tionghoa Indonesia tersebut adalah khas, meskipun struktur yang sama juga dapat ditemui dalam komunitas yang hampir berkemiripan di kalangan Baba dan Peranakan Tionghoa di Singapura, Siam, Brunei, Filipina dan Malaysia. Sampai dengan tahun 1960-an, keadaan kalangan Tionghoa Indonesia dengan negara-negara bertetangga tersebut hampir sama dan mengalami pasang surut serta dilema yang hampir sama juga.
Namun sejak terjadinya stigmatisasi salah alamat kepada kalangan Tionghoa Indonesia setelah tahun 1965 yang akhirnya menyebabkan diskriminasi luar biasa dalam kalangan ini, perkembangan yang dialami kalangan Tionghoa Indonesia itu menjadi agak berbeda dengan negara-negara tetangganya. Saat di mana kalangan Tionghoa di Malaysia, Singapura, Laos, Kamboja, Myanmar dan Brunei mengukuhkan identitasnya sebagai entitas budaya sekaligus warga negara, saat di mana kalangan Tionghoa di Siam dan Filipina membentuk hubungan asimilatif damai, di Indonesia justru terjadi pengekangan luar biasa yang memiliki buntut sangat hebat kepada kekayaan kebudayaan dan tradisi yang berabad-abad dijalani kalangan Tionghoa tersebut. Dan jumlah mereka yang mengalami diskriminasi itu sangat signifikan!
***
Persentase Kalangan Tionghoa dalam Penduduk Indonesia Semenjak berabad-abad yang lampau, kalangan Tionghoa yang berada di Indonesia berjumlah cukup besar. Tetapi, karena persoalan etnis seringkali dianggap peka, dalam era orde baru sampai dengan sebelum tahun 2000, jumlah suku bangsa/etnis dan agamanya di Indonesia tidak pernah dimasukkan ke dalam sensus penduduk Republik Indonesia.
Perhitungan jumlah etnik Tionghoa berdasarkan sensus tahun 1930 ditaksir sekitar 1,2 juta, kira-kira 2% dari total jumlah penduduk Indonesia. Ada juga pendapat lain bahwa jumlah etnik Tionghoa Indonesia berada di antara angka 2,5% dan 3% atau bahkan lebih besar, yaitu berkisar antara 4–5%. Penulis sendiri malah menduga angka tersebut sebenarnya dapat mencapai 8% apabila sensus diadakan dengan cara yang lebih akurat dan stigmatisasi sudah benar-benar dihilangkan.
Sensus penduduk tahun 2000 yang dilansir Leo Suryadinata dalam buku yang diterbitkan LP3ES pun tidak memberikan jumlah etnik Tionghoa yang lengkap, bahkan diperkirakan keliru baik dalam metodologi maupun proses penyaringannya. Hasil perhitungan Leo menunjukkan angka 1,7 juta, atau kira-kira 0,86%. Jumlahnya lebih besar daripada hasil sensus 1930, namun persentasenya jelas jauh lebih rendah (menurun secara persentase sebesar 60%!!!). Menurunnya persentasi etnik Tionghoa dalam versi Leo mungkin disebabkan oleh tiga faktor utama: angka kelahiran yang menurun seiring dengan kesadaran Keluarga Berencana dalam keluarga modern, imigrasi ke luar negeri akibat gejolak politik dan sosial, dan kebijakan asimilasi terpaksa selama Orde Baru. Dalam keadaan demikian, identitas sejumlah orang Tionghoa telah dibaurkan melalui politik pemerintah dan karenanya tidak merasa sebagai Tionghoa lagi.
Sebenarnya ada kesalahan siginifikan di dalam metode sensus yang kemudian dilansir Leo tadi, yaitu masih adanya kolom sensus perdaerah yang tidak mencantumkan pilihan suku bangsa Tionghoa, namun tergabung dalam “lain-lain” yang justru terbukti cukup besar jumlahnya (lihat misalnya hasil sensus di Medan dan Menado sebagai sample kasar untuk membuktikan cara pembacaan semacam itu agak riskan). Selain itu patut juga diperhitungkan masih adanya keraguan untuk menjawab pertanyaan petugas sensus seiring dengan suasana curiga yang masih sangat melekat.
Tentunya tidak heran apabila kalangan Tionghoa yang belajar dari traumatik sejarah lebih suka untuk menjawab suku daerah tempatnya tinggal misalnya Menado atau “suku bangsa: Indonesia”(?) ketimbang untuk menyebut dirinya Tionghoa, sementara sensus itu dilakukan pada masa transisi yang memiliki suasana traumatik setelah peristiwa Mei 1998 di berbagai daerah Indonesia.
Sejak jatuhnya rezim Soeharto yang terbilang diskriminatif pada tahun 1998 dan pelajaran yang dapat diambil dari Peristiwa Mei 1998, berubahnya kebijakan pemerintah sehingga menjadi lebih akomodatif, menjadikan kebangkitan identitas diri kalangan Tionghoa dalam bidang kebudayaan, adat istiadat dan agama bukan hal yang tidak mungkin. Media massa berbahasa Mandarin dapat kembali beroperasi dengan leluasa, hal mana meningkatkan juga jumlah kursus bahasa Mandarin. Media televisi pun mulai menyediakan berita mandarin atau film berbahasa mandarin tanpa dubbing.
Belakangan ini dapat disaksikan semakin meriahnya perayaan-perayaan tradisional kalangan Tionghoa, termasuk di antaranya yang memiliki aspek keagamaan khas Tionghoa seperti misalnya Tahun Baru Imlek dengan perayaan Cap Go Meh-nya, ziarah Kubur Cheng Beng, perayaan Perahu Peh Cun, sembahyang arwah Cio Ko dan festival onde Tang Ce. Barong dan Liong mulai menari kembali dengan semarak. Yang paling mengharukan tentu saja Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 yang praktis mencabut Inpresd Nomor 14 Tahun 1967 yang sebelumnya melarang berbagai adat, budaya, kesenian dan agama kalangan Tionghoa.
Kehadiran Abdurrahman Wahid sebagai simbol pengukuh pluralisme melalui Keppres tadi dalam perayaan Imlek Nasional yang dilakukan pertama kali pada tahun 2000 oleh Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) setidaknya mengukuhkan semangat kebersamaan dan persaudaraan yang praktis mencoba menghapuskan persoalan diskriminasi yang selama itu melekat. Selanjutnya setelah Gus Dur dijatuhkan, Presiden barunya, Megawati pun mencoba merangkul kalangan Tionghoa dengan kehadirannya dalam perayaan-perayaan Imlek yang dilakukan berturut-turut sejak tahun 2001 sampai dengan terakhir hasil penelitian ini dibuat bulan September 2004, termasuk dalam kegiatan peringatan Hari Lahir Nabi Khonghucu yang diselenggarakan oleh lembaga yang sama yang selama masa orde baru praktis ditekan habis-habisan sehingga mengalami penurunan umat yang sangat signifikan.
Selain itu, sebenarnya aspek keseharian kalangan Tionghoa pun telah sangat lama memberi warna tersendiri kepada kazanah bangsa Indonesia, seperti misalnya sumbangan teknik pertanian seperti kapak, bajak, sosoh dan waluku, lalu pemakaian uang kepeng dan sulaman, kemudian juga cara berpakaian yang diserap oleh misalnya kalangan petani dengan celana komprang hitam dan baju tanpa kerah dan bahkan kebiasaan menyetrika (utau dari kata Hokkian yuntou).
Kemudian dikenal juga bahan pangan seperti kedelai (lihat istilah tahu, taoco), padi sawah, kacang hijau (coba saja istilah tauge), kacang tanah, tomat dan kapas, lalu kemudian makanan-makanan sehari- hari seperti mie, bihun, tahu, pia, silat, kuaci, hunkue, siomai, pisau, kemoceng, juhi, caysim, lobak, capcay, kuluyuk, cakue, bacang, soto, baso, bahkan kecap (manis).
Juga jangan dilupakan peran mengolah tebu menjadi gula, arsitektur (coba lihat Mesjid Demak atau Kraton Solo) sampai sejumlah praktek yang kemudian dianggap khas Indonesia yaitu bedug dan pesantren yang berasal dari kebiasaan memainkan tambur dan padepokan khas shaolin.
Bahkan ada indikasi kebiasaan main petasan saat Lebaran juga diwariskan dari kebudayaan Tionghoa untuk menyambut perayaan. Pemakaian bahasa lainnya juga patut diperhitungkan, mulai dari loteng, bakiak, cingcong, kongkow, cukong, giok, cepe, gope, gocap, ceban, lihai, licik, teko, tauke, lu, gua, engkong, encang, encing, cengli, dan sebagainya ragam melayu pasar. Juga patut diperhatikan karya-karya sastra yang dipergunakan baik dari cerita silat, sampai kepada cerita rakyat seperti kisah tujuh bidadari, cerita wayang (dalam berbagai bentuk dan bahan), , Lalu mengapa perjalanan sejarah yang damai antara kedua pendukung kebudayaan ini kemudian bisa berubah menjadi pertentangan hebat bahkan kerusuhan?