Tinjauan Keterkaitan Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Perlawanan terhadap Diskriminasi Rasial
Apabila kita berbicara mengenai hak-hak (dan tentunya kewajiban- kewajiban) yuridis seorang manusia, perhatian dapat kita arahkan kepada persoalan kehidupan sehari-hari warga masyarakat tersebut dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan dalam berinteraksi dengan komunitas yang lebih besar.
Dalam literatur yuridis, meskipun pembidangan ini tidaklah berlaku mutlak, hak-hak yuridis tersebut dapat digolongkan mengikuti pembagian di antara hak-hak yang ada dalam lingkup keperdataan dan kemudian hak-hak yang berada dalam lingkup hukum kenegaraan. Yang dimaksudkan hukum keperdataan di sini adalah hukum yang ruang lingkupnya kebanyakan berada dalam ruang interaksi manusia-manusia tersebut dalam berhadapan dengan manusia lainnya, sementara hak-hak kenegaraan dominan berkaitan dengan hubungan antara manusia tersebut sebagai warga dari suatu negaranya di dalam berhadapan dengan negara yang dalam hal ini ditentukan berdasarkan sistem dan administrasinya.
Oleh perbedaan cara pendekatan itulah, maka hak-hak yang bersifat keperdataan biasanya menyangkut persoalan mengenai status orang, kaitannya dengan keluarga, warisan, benda dan perikatan-perikatan yang dapat dibuatnya. Sementara itu yang bersifat hak kenegaraan berkaitan dengan persoalan mengenai status kewarganegaraan, peran serta dalam pemerintahan dan penentuan sistem serta bentuk negara, ditambah dengan jaminan keamanan dalam hukum pidana dan pelayanan publik.
Akan tetapi, pembicaraan mengenai pembidangan hukum seperti itu ternyata kurang memuaskan, dikarenakan ada sejumlah hak yang memiliki hubungan yang tidak serta-merta bersifat dikotomis antara publik dan perdata, misalkan saja mengenai persoalan hak untuk kawin berdasarkan kesepakatan pasangan tadi dan menentukan dengan tata
cara apa perkawinan tersebut dilakukan.
Kenyataannya, persoalan yang masuk dalam ranah perdata semacam itu, dalam konstelasi hukum Indonesia memiliki banyak sekali pertalian dengan persoalan kenegaraan yang terkait dengan pertanyaan apakah negara boleh menciptakan sekat-sekat dalam bentuk keharusan kawin seagama, kemudian batasan mengenai apa yang dimaksud dan didefinisikan sebagai agama dan kepercayaannya itu, termasuk apabila terjadi persoalan yang diakibatkan oleh ketiadaan pelayanan publik yang dapat melayani dan melindungi seluruh warga negarannya tanpa kecuali. Hal ini tentu saja seringkali dibuat lebih rumit lagi karena ada persoalan politik yang tidak berujung pangkal, misalnya saja mengenai belum kunjung tuntasnya rumusan praktek mengenai tidak diperlukannya lagi SBKRI dan seterusnya.
Berdasarkan titik pandang tersebut, dirasakan perlu untuk menarik persoalan yang terkait dengan tema diskriminasi rasial tersebut, bukan ke arah pembidangan antara ranah hukum perdata dan hukum publik (apalagi kenyataannya dalam sistem lain, Anglo Saxon misalnya, pembedaan seperti itu juga tidak terlalu signifikan dan dapat bercampur baur sehingga sulit untuk dipisahkan begitu saja; sementara itu, cara pembedaan seperti inipun dalam era belakangan sudah ditinggalkan dan lebih diarahkan kepada pembidangan hukum berdasarkan temanya), melainkan langsung kepada kajian terhadap hak- hak mendasar yang dimiliki seorang manusia, dan apakah produk hukum yang ada masih bertentangan atau sudah memadai untuk menjawab hak- hak asasi manusia tersebut.
Dengan jalan itu, maka pendekatan yang dilakukan dalam tulisan ini mempergunakan standar ujinya pada pokok-pokok hak asasi manusia yang dianggap sudah menjadi patokan universal untuk menilai suatu produk hukum nasional Indonesia telah memenuhi syarat-syarat hak asasi yang non-diskriminatif ataukah tidak.
Pokok-pokok hak asasi manusia itu dapat ditemukan dalam berbagai kovenan yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa, yang sebagian kecil di antaranya sudah diratifikasi oleh Indonesia. Meskipun cara ini dapat mengundang pertanyaan apakah tidak terlalu jauh melakukan standarisasi, padahal standar itu saja belum diratifikasi oleh Indonesia, dalam kenyataannya, semangat humanisme telah mewarnai perubahan paradigma hukum Indonesia semenjak 1998 sehingga lebih mendekat kepada pemakaian standar internasional tadi.
Apalagi kemudian dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia maupun dalam revisinya, pemerintah Indonesia telah menegaskan akan memasukkan produk-produk tersebut ke dalam sistem hukum nasional Indonesia. Jadi, pemakaian standar internasional ini dapat dikatakan tinggal menunggu waktu saja, dan tidak ada salahnya juga dipergunakan sebagai acuan untuk menilai keberterimaan produk-produk hukum nasional selama ini dalam cara pandang yang anti-diskriminasi.
Secara umum, patokan standar hak-hak asasi manusia tersebut dapat ditemukan dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yang dikeluarkan pada tahun 1948 (DUHAM; Universal Declaration of Human Rights) yang merupakan turunan langsung dari Piagam PBB. Deklarasi mana, nantinya akan lebih dilengkapi lagi dengan turunan utamanya dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik tahun 1966 (KIHSP; International Covenant on Civil and Political Rights, ICCPR; dalam hal ini juga termasuk dua buah protokol yang dilekatkan kepadanya) dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB; International Covenat on Economic, Social and
Cultural Rights, ICESCR) pada tahun yang sama.
Mengingat bahwa KIHSP dan KIHESB tersebut merupakan kovenan induk yang diturunkan langsung dari DUHAM dan menjadi payung dari berbagai konvensi atau perjanjian-perjanjian internasional setelahnya, maka trio Dokumen HAM tersebut seringkali disebut sebagai International Bill of Human Rights, yang menjadi tolok ukur keberhasilan penegakan Hak-hak Asasi Manusia di seluruh dunia, dan sebagaimana disebutkan di muka, akhirnya persoalan ratifikasinya bukan menjadi titik persoalan utamanya, mengingat isi material dari trio ini telah diserap oleh sebagian besar negara di dunia, sehingga berlaku seolah- olah sebagai sebuah Hukum Kebiasaan Internasional yang juga memiliki kekuatan mengikat kepada seluruh negara yang ada di dunia, tanpa harus dinyatakan lagi melalui proses penerimaan primat hukum internasional klasik mengenai perjanjian internasional.
Selain itu, tentu saja tidak dapat dilupakan adanya sejumlah perjanjian internasional lainnya dalam berbagai nama dan tingkatan yang membicarakan topik-topik khusus yang terkait dengan penghapusan diskriminasi rasial, di antaranya adalah Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial tahun 1965 (International Conventions on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination).
Di samping produk-produk kovenan atau perjanjian internasional yang memiliki sejumlah kaitan langsung dengan pembahasan diskriminasi rasial dalam penelitian ini, sebenarnya masih sangat banyak dokumen internasional lainnya yang termasuk ke dalam produk hukum internasional mengenai HAM, entah itu dalam sebuah isu hukum yang spesifik atau sebagai sebuah pernyataan umum atas suatu persoalan dan pemosisian yang dilakukan yang memiliki kaitan tidak langsung dengan persoalan diskriminasi rasial. Untuk itu akan diuraikan dulu mengenai tata urutan yang dikenal dalam hukum internasional, untuk memudahkan peletakan kajian mengenai keterhubungannya dengan pembahasan utama yang dilakukan di sini.