Peristiwa Spesifik Terkait dengan Diskriminasi Rasial terhadap Kalangan Tionghoa
Persoalan utama penegakan HAM di Indonesia dalam hal perlawanan terhadap diskriminasi rasial, adalah banyak diakibatkan kepentingan politik elit yang memang berdiri sebagai akibat penindasan terus- menerus kepada komponen rakyat yang seharusnya diayomi dan dilayaninya. Sejarah Indonesia tidak pernah lepas dari pertentangan berdarah dan penindasan yang menyertai. Tidak ada suatu sikap jantan untuk benar-benar mengakui kesalahan-kesalahan yang dilakukan dan merekonstruksinya. Yang ada hanya pernyataan demi pernyataan tanpa jalan keluarnya.
Tidak usah jauh-jauh, peristiwa 14 Mei 1998 yang memiliki kaitan dengan persoalan stereotyping terhadap kalangan Tionghoa (meskipun ada sisi lainnya yang juga patut diperhitungkan mengingat jumlah korban pembakaran dari “etnis lainnya” yang diperkirakan akibat tindakan terorganisasi dari “pelaku berambut cepak dan berbadan tegap” [lihat Laporan Eksekutif Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa 14 Mei 1998], dapat juga dilihat misalnya buku Negeri dalam Kobaran Api, LSPP, 1999 juga buku 14 Mei Disangkal, Komnas Perempuan, 2002) ternyata tidak kunjung mendapatkan penyelesaian yang memuaskan. Sementara korban traumatik dipaksa untuk terus bersembunyi dari dunia luar, pelakunya tidak juga diselidiki.
Selain itu, persoalan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) pun ternyata masih mengganjal. Bahkan terakhir kalinya setelah berbulan-bulan polemik yang dipicu oleh permasalahan bintang bulu tangkis Indonesia Hendrawan, diikuti dengan serangkaian penegasan oleh Presiden Megawati Sukarnoputri dan berbagai rapat dan koordinasi yang dilakukan oleh Yusril Ihza Mahendra sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia kepada berbagai instansi teknis di bawah Departemen yang bersangkutan, ternyata hasilnya masih tidak seragam di daerah-daerah (lihat juga misalnya surat kabar Tempo tanggal 25 Mei 2004, Jakarta Post 1 Agustus 2004, Kompas 5 Mei 2004 sebagai contoh mutakhir permasalahan SBKRI). Padahal penegasan tidak dipergunakannya lagi SBKRI sudah jauh-jauh hari ditentukan berdasarkan Keputusan Presiden nomor 56 tahun 1996. Kenyataannya, aparat di lapangan sendiri yang menghambatnya dengan berbagai alasan pembenar dan pemaaf!
Penelitian lapangan yang dilakukan sendiri oleh Suma Mihardja dalam kaitannya sebagai Koordinator Tim Sosialisasi Rancangan Undang- Undang Catatan Sipil ke Pontianak, Tebing Tinggi dan Menado (yang setidaknya mewakili daerah-daerah utama dalam tiga propinsi di tiga pulau besar di luar Jawa) antara bulan Mei sampai Juli 2004, menemukan indikasi bahwa petugas di lapangan masih memiliki kebingungan dan penerimaan yang berbeda terhadap instruksi tersebut.
Malahan sampai ada yang mempertanyakan permasalahan-permasalahan yang melebar mengenai isu-isu politik berkenaan dengan stereotyping keterhubungan kalangan Tionghoa dengan negara Tiongkok dan kecurigaan terhadap orang asing yang sebenarnya juga dapat dikenakan sama kepada semua etnis bangsa yang lain, bahkan kepada misalnya kalangan Melayu Malaysia, Dayak Malaysia atau Papua PNG yang juga seringkali melakukan kegiatan lintas batas. Padahal sebagaimana diungkapkan dalam awal tulisan ini, pandangan mata saja bukanlah sebuah penentu yang mutlak, dan apalagi kalau menunjukkan adanya posisi apriori.
SBKRI sendiri praktis secara de facto lebih dominan ditujukan kepada kalangan Tionghoa dan bukan kepada etnis lainnya (misalnya Arab, Afrika, India atau Kaukasoid), yang akhirnya menjadi ganjalan sedemikian panjang terhadap persoalan penerimaan keanekaragaman yang seharusnya dilatarbelakangi falsafah Bhinneka Tunggal Ika yang memberikan ruang apriori yang nyata kepada kalangan Tionghoa tersebut.
Kenyataan menunjukkan bahwa stereotyping terhadap kalangan Tionghoa tersebut tidak lain dilatarbelakangi oleh kepentingan politik penguasa untuk mencari kambing hitam atas berbagai persoalan yang terjadi. Hal itu terlihat sangat parah terjadi dalam era Orde Baru yang secara berturut-turut telah mengeluarkan berbagai produk hukum yang sangat diskriminatif terhadap kalangan Tionghoa.
Peristiwa penindasan oleh negara yang sempat terjadi dalam masa Orde Lama dulu mungkin masih dapat dipahami dalam kerangka revolusi dan pergolakan dunia yang menyertainya dan mungkin juga sebagai rentetan dari provokasi kalangan kolonial dalam politik devide et impera-nya, karena era kesederajatan pada waktu itu baru terbentuk dan semangat revolusioner sedang menyala-nyala, ditambah oleh kenyataan bahwa persoalan politik adalah kawah penggodokan yang memang menuntut kedewasaan kenegaraan yang bertahap sebagai pembentukan karakter kebangsaan.
Meskipun demikian, peristiwa pembantaian yang terjadi terhadap kalangan Tionghoa dalam jumlah massal di Tangerang, Mauk, Karawaci, Serpong, Krawang, Banten, Medan, Bagan Siapi-api, Cirebon, Kuningan, Garut, Sukabumi, Kuningan, Tasikmalaya, Banyumas, Pekalongan, Tegal, Purwokerto, Cilacap, Gombong. Salatiga, Jember, Malang, Menado, dan sebagainya sekitar tahun 1946-1948 sebagai hasil reaksioner atas tindakan polisional Belanda (untuk lengkapnya, sebagian dapat dibaca pada buku Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik, 2002 atau Kwee Thiam Jing, Tjamboek Berdoeri, Indonesia dalem Api dan Bara, 1947, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan, Julianto Ibrahim, 2004 juga Komunitas Tionghoa di Surabaya (1910-1946) dari Andjaewati Noordjanah, 2004) harus dibaca sebagai pertanda mudahnya terjadi provokasi untuk mengadakan serangan terhadap kalangan Tionghoa dengan memanfaatkan isu-isu perbedaan yang tercipta sebagai akibat stereotyping yang keliru terhadap kalangan tersebut.
Selain itu dalam era orde lama dan transisi ke arah orde baru, persoalan serupa juga dapat ditemui di Kalimantan bagian Utara dan Menado yang menunjukkan mudah dipancingnya persoalan chauvinisme dan xenophobia terhadap kalangan Tionghoa oleh mereka yang diprovokasi secara ekonomi ataupun politik (misalnya kasus PGRS/Paraku, atau juga kasus berdirinya Republik Singapura dan penyusupan dua marinir Indonesia untuk menggagalkan pembentukan negara tersebut namun tertangkap dan kemudian dihukum mati di sana yang diprovokasi oleh propaganda perang dingin, periksa juga dokumen rahasia CIA yang dibukakan tahun 1998).
Selain itu dalam era Orde Lama, patut juga dicatat terjadinya pembuatan sebuah Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1959 tentang Larangan bagi Usaha Perdagangan Kecil dan Eceran yang Bersifat Asing di Luar Ibukota Daerah Swatantra Tingkat I dan II serta Karesidenan, yang merupakan salah satu puncak diskriminasi yang dikuatkan dalam bentuk aturan-aturan hukum oleh rezim Orde Lama dari perkembangan Politik Anti Tionghoa yang berkembang pada saat itu (lihat juga karya Pramoedya Ananta Toer, Hoakiau di Indonesia, 1960), padahal jelas sekali dalam ungkapan yang diberikan oleh Pramoedya: “[Orang-orang Tionghoa] bukan pendarat dari luar negeri. Mereka sudah ada sejak nenek moyang kita. Mereka itu sebenarnya orang-orang Indonesia, yang hidup dan mati di Indonesia juga. Tapi karena sesuatu tabir politik, tiba-tiba menjadi orang asing yang tidak asing.”
Bahaya dari PP tersebut adalah sisi stereotyping-nya yang tidak dapat membedakan mana yang warga negara dan mana yang bukan, gebyah uyah, sementara efek dari pengejaran rasial dan pembuatan lokalisasi gheto tersebut adalah hancurnya perekonomian Indonesia yang disuplai oleh tenaga kalangan Tionghoa yang menjadi pedagang kelontong, pedagang kecil bahkan penjaja keliling yang selama itu melayani kebutuhan hidup masyarakat di pelosok-pelosok yang ada. Sementara itu, yang disebut kalangan pribumi ternyata tidak mampu, bahkan sebenarnya segan untuk menggantikan fungsi pekerja keras dalam perdagangan yang selama itu dijalankan oleh kalangan Tionghoa!
Pada buku yang sama yang merupakan gabungan hasil tulisannya di sebuah media massa, Pramoedya menggambarkan bahwa diskriminasi hukum tersebut yang mulai dikenalkan justru dalam era Indonesia merdeka, justru telah sangat mengurangi arti kebersamaan yang selama itu telah terbangun di kalangan Tionghoa dan masyarakat Indonesia lainnya dalam melawan penjajahan, sebagaimana misalnya dalam kata- kata:
“Penderitaan bersama telah menyebabkan hilangnya batas antara kelompok-kelompok dengan rakyat. Pada awal Revolusi di Surabaya, orang Tionghoa berjuang bahu-membahu dengan orang-orang Indonesia”. padahal dalam perjalanan sejarah Indonesia pun, perjuangan bersama itu sudah ditemukan dalam Perang Cina dan hubungannya dengan Sunan Kuning dalam melawan tentara penjajah selepas terjadinya pembantaian massal kalangan Tionghoa di Pasar Baru tahun 1740 yang dilakukan oleh VOC (kajian dapat dilihat dalam buku the Chinese War and the Collapse of the Javanese State, 1725-1743, dari W. Remmelink, 1994. Lihat juga misalnya de Chinezen te Batavia en de Troebelen van 1740 dari J.T. Vermeulen, 1938).
Dalam orde yang sama, terjadinya peristiwa kerusuhan rasial di Sukabumi, Cianjur, Bandung, Bogor, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis, tidak dapat dilepaskan dari sentimen yang menguat dalam rangkaian Politik Anti Tionghoa sebagaimana digambarkan di muka (bandingkan dengan hasil penelitian Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi oleh Selo Soemardjan dkk), yang disebabkan oleh permasalahan sepele yang terjadi di Cirebon hanya gara-gara tabrakan dua buah kendaraan.
Tanpa menjadikan pemujaan terhadap Orde lama yang jelas-jelas menyisakan sejumlah kesalahan besar yang menjadi titik tolak diskriminasi negara saat itu akibat gelora revolusioner yang tidak terkendali dan menggerogoti, termasuk persoalan PP 10 tahun 1959 yang menyebabkan terusirnya kalangan Tionghoa dari daerah-daerah pedalaman, diskriminasi hukum yang lebih sistematis terhadap kalangan Tionghoa yang dilakukan Orde Baru justru menunjukkan kekejamannya yang sungguh luar biasa.
Dalam era orde baru, tercatat sejumlah peristiwa rasial yang terkait dengan kerusuhan terhadap kalangan Tionghoa, misalnya peristiwa kerusuhan yang terjadi hanya karena desas desus yang ternyata tidak benar atau bahkan intervensi politik penguasa seperti misalnya yang terjadi di Aceh tahun 1966 yang berakibat pengusiran paksa oleh militer dan eksodus besar-besaran ke luar Aceh dan Sumatera bagian Utara lainnya pada tahun 1966, kemudian munculnya sisi traumatik 1966-1967 sebagai akibat politik Anti Tiongkok akibat pengkambinghitaman RRT pada peristiwa G30S 1965, kemudian peristiwa 1973 di Bandung dan 1980 di Makassar.
Uniknya, yang disalahkan menjadi akar penyebab pada umumnya adalah persoalan perbedaan pendapatan (lebih kaya; bukan perbedaan pendapat apalagi soal agama atau adat istiadat), namun sasaran tersebut ternyata mengena kepada kalangan Tionghoa secara etnis, bukan sekedar posisi ekonomisnya. Peristiwa Solo-Semarang-Kudus tahun 1980, lalu Peristiwa Pelabuhan Ratu, Sukabumi pada tahun 1994, kemudian berturut-turut (namun dengan nuansa yang agak berbeda, kali ini lebih tepatnya juga disertai serangan terhadap simbol-simbol
keagamaan Nasrani yang juga menjadi agama “pelarian” kalangan Tionghoa setelah tahun 1966, yang secara tradisional justru menjadikannya lebih bernuansa tidak bersahabat dengan kalangan Muslim yang dapat diprovokasi dengan cerita mengenai perang salib) di Rengas Dengklok 1995, lalu Makasar, Kediri, Situbondo, Tasikmalaya, Pekalongan dan Purwakarta pada tahun 1996 yang akhirnya berpuncak kepada Peristiwa 14 Mei 1998 di Jakarta, Tangerang, Medan, Solo, Makasar (lengkapnya dapat dilihat dalam berbagai buku yang dikeluarkan berkenaan dengan masing-masing peristiwa tersebut, termasuk juga laporan Tim Pencari Fakta).
Bagaimanapun, apabila dirunut lebih jauh, persoalan diskriminasi rasial terhadap kalangan Tionghoa tersebut memberikan luka bangsa yang sangat besar, pembohongan, segregasi dan stigmatisasi luar biasa yang kemudian menjadi memori ketakutan kolektif sebagai salah satu komponen bangsa. Tidak kurang berbagai peristiwa berbau rasial terhadap kalangan Tionghoa tersebut menimbulkan sejumlah pelanggaran pokok Hak-hak Asasi Manusia yang utama, yang untuk mudahnya akan dikalkulasi sebagai berikut:
– Hak atas hidup: berapa banyak mereka yang mati?
– Non diskriminasi terhadap ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, keyakinan, asal-usul, kebangsaan, sosial, kekayaan, kelahiran, status: Kematian perdata, rasialisme, penghancuran perempuan, penistaan pandangan politik, penghancuran keyakinan, stigmatisasi asal-usul dan keturunan, penghilangan marga, perendahan status
– Hak bebas dari penyiksaan atau merendahkan, termasuk percobaan kedokteran: berapa banyak yang disiksa, dianiaya dan trauma?
– Hak tidak dipidanakan untuk persoalan perdata: berapa banyak yang dipidana dan hak miliknya disita karena dianggap subversi, padahal sebenarnya memiliki hak milik yang sah atas usaha yang halal?
– Hak untuk tidak dikenakan pidana surut: apa salahnya menjadi anggota parpol atau ormas yang sah? Mengapa misalnya Baperki disangkut-sangkutkan dengan PKI dan kemudian disangkut-sangkutkan dengan seluruh kalangan Tionghoa?
– Hak sebagai subyek hukum: berapa banyak kematian perdata, kehilangan akses sosial?
– Hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama: jelas sekali!!! Hak-hak lainnya dengan akses maksimum yang mungkin sejauh keamanan dan ketertiban umum:
– Hak menentukan nasib sendiri sebagai bangsa: lihat efek militerisme sekarang
– Hak berkumpul: stigmatisasi terus dipelihara
– Hak berserikat: kalangan Tionghoa masih saja dicurigai
– Hak berpendapat dan berekspresi termasuk kebebasan informasi: pembunuhan karakter
– Hak bebas dari tindakan penahanan sewenang-wenang: tidak perlu disebutkan
– Hak mendapat akses pengadilan segera: idem
– Hak kesamaan di muka pengadilan: idem
– Hak kesamaan di muka hukum: idem
– Hak privacy, keluarga dan surat: sudah tidak ada harganya menjadi manusia
– Hak berkeluarga: lihat saja pengaruhnya terhadap anak mereka sampai sekarang
– Hak anak: dosa turunan yang sebenarnya juga bukan dosa
– Hak kepemiluan: hak untuk memimpin dihilangkan
– Hak perlindungan minoritas: imbas politiknya jelas
– Hak bermigrasi: ada kecurigaan terselubung
Hak-hak lain:
– Hak atas jaminan dan asuransi sosial: penghalangan akses
– Hak perlindungan keluarga: berkeyakinan saja sudah tidak bisa, dipaksa pula
– Hak hidup layak sandang, pangan dan papan: ekses dianggap sebagai kalangan kaya
– Hak sehat fisik dan mental: sudah terbaca, terdiskriminasi secara tidak langsung
– Hak atas pendidikan gratis: negara terlihat masih diskriminatif
– Hak partisipasi budaya, ilmu pengetahuan, dan penciptaan: lihat embel-embelnya
Konvensi khusus yang penting untuk dirujuk:
– Konvensi Hapus Diskriminasi Rasial
– Konvensi Hapus Diskriminasi Perempuan
– Konvensi Hak Anak
– Konvensi Anti Diskriminasi Pendidikan
– Deklarasi penghapusan intoleransi agama
– Deklarasi Mengenai Ras dan Prasangka Rasial
– Konvensi tentang Stateless
– Konvensi kebebasan berserikat
– Konvensi kebebasan berkumpul
– Konvensi perlindungan data individu
Alhasil, terbaca dari sudut itu, bahwa kalangan Tionghpoa di Indonesia mengalami diskriminasi dalam bentuk yang hampir menyeluruh mengenai aspek-aspek hak asasi manusianya. Dengan tidak terpenuhinya hak-hak yang tidak dapat dikurangkan tadi, maka seluruh hak yang “lebih rendah urutan prioritasnya” pun menjadi terkena juga
imbasnya.
Dengan bahasa yang lebih sinis, maka ketentuan dasar tersebut jelas tertuju kepada etnis Tionghoa, karena menyebabkan diskriminasi terhadap ras Tionghoa, warna kulit yang dianggap berbeda, bahasa, agama, pandangan politik, keyakinan, asal-usul, sosial, kekayaan, kelahiran, dan juga status yang lagi-lagi dimiliki oleh seorang Tionghoa.
***
Diskriminasi yang Ditimbulkan oleh Hukum terhadap Kalangan Tionghoa Sebelum Berlakunya Undang-Undang nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965 Melihat alur yang sudah terbentuk di atas, terlihat bahwa diskriminasi rasial terhadap kalangan Tionghoa ternyata tidak saja mengena kepada hak-hak dasar dalam Kovenan Internasional tentang Hak- hak Sipil dan Politik, tapi juga mengena kepada isi hak-hak dasar dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Mengapa bisa begitu?
Pertama-tama harus dilihat bahwa permasalahan Hak Asasi Manusia ternyata tidak berdiri sendiri, melainkan jalinan dari berbagai faktor dan keadaan. Gangguan terhadap Hak Budaya saja sudah menyebabkan rusaknya kebebasan untuk menjalankan keagamaan dan menghayati agama dan kepercayaannya itu. Problemnya kemudian melebar kepada spektrum kurikulum pendidikan yang menyebabkan penghancuran lebih jauh hak-hak budaya, kemudian juga tersisihkannya hak asal- usul dan keturunan yang menyebabkan kemudian kehilangan identitas marga dan silsilah yang menjadi penanda ciri suatu suku bangsa tertentu.
Belum lagi kemudian efek dari kekacauan politik dan stigmatisasi tersebut menyebabkan hambatan untuk mendapatkan akses yang memadai kepada perlindungan hukum. Ternyata jaring-jaring yang terbentuk tertembus semuanya dan menjadi perangkap tersendiri bagi kalangan Tionghoa tersebut! Meskipun sebagaimana digambarkan di muka kita sudah memiliki berbagai UU tentang Hak Asasi Manusia, mulai dari UU HAM itu sendiri, lalu UU Peradilan HAM dan ratifikasi sejumlah konvensi dan peraturan tersendiri mengenai pokok-pokok HAM, pada kenyataannya semua itu masih diganjal oleh keengganan, ketidakmaupedulian, bahkan kesengajaan sejumlah oknum untuk menutupi kepentingan elite-nya sendiri, yang parahnya dikuatkan dengan berlindung di balik tembok hukum yang memang menyisakan persoalan diskriminasi..