Tinjauan terhadap Asal-usul Diskriminasi Hukum terhadap Kalangan Tionghoa Indonesia
Diperkirakan diskriminasi hukum yang akhirnya melekat kepada kalangan Tionghoa Indonesia dimulai sejak jaman penjajahan Belanda yang membagi tiga “kelas” penduduk Indonesia yaitu menjadi kalangan Eropa (termasuk Jepang yang dianggap maju dan setara dengan bangsa kulit putih), kalangan Timur Asing (vreemde oosterlingen dalam hal ini sebenarnya hampir semua kalangan Asia dan Afrika, khususnya
kalangan Tionghoa yang jumlahnya terbilang paling besar dan memiliki akar yang kuat dalam menetap di Indonesia) dan kalangan bumiputera (yang tidak lain dianggap sebagai native atau inheemse yang dipergunakan dalam era politik etis).
Kebijakan tersebut secara praktis sebenarnya tidak menjadikan kalangan Tionghoa sebagai warga yang kelasnya di atas bumiputera. Malahan kalangan Tionghoa ini dalam banyak hal adalah sama dengan bumiputera (misalnya keharusan ikut dalam pengadilan adat dan penundukan terhadap penguasa setempat), lebih-lebih karena kemudian berlaku aturan passenstelsel dan wijkenstelsel yang justru
menjadikan kalangan Tionghoa sebagai “anjing penjaga” bagi orang Belanda, sementara kalangan “pribumi” justru bebas mentap di wilayah mana saja.. Meskipun ketentuan mengenai sistem kartu pas dan lokalisasi benteng itu dihapus pada awal abad ke-20, watak pengawasan dan kecurigaan tersebut terlanjur melekat dan kemudian mempermudah kalangan Belanda untuk melanjutkan politik devide et
impera-nya.
Ternyata ketika Indonesia merdeka pun, kecurigaan yang ditanamkan tadi, terlanjur diserap oleh sejumlah elite pemerintahan. (sampai- sampai ada anekdot mengenai seorang Tionghoa yang bertanya kepada rekan “pribumi”-nya mengenai ciri-ciri orang Tionghoa. Rekan pribumi tadi menjawab dengan segala kejelekan yang kabarnya menjadi ciri- ciri orang Tionghoa. Ketika ditanyakan bagaimana pendapatnya mengenai si penanya tadi, rekan pribumi tadi menjawab, “kalau kamu lain”, anekdot mana menggambarkan persoalan keberjarakan yang sebenarnya sudah salah kaprah, namun menggejala).
Kalangan Tionghoa oleh kalangan “pribumi”(?) yang sempit pikirannya itu dianggap sebagai “nonpribumi” dan pendatang baru yang tidak bisa diterima sebagai sukubangsa Indonesia sebelum mereka mengasimilasi diri karena mereka dianggap menduduki tangga ekonomi lebih tinggi dan terpisah dari pribumi. Implikasinya, konsep perbedaan kekayaan tersebut jelas hanya akan selalu menempatkan posisi kalangan Tionghoa sebagai orang asing, walaupun dia berstatus Warga Negara Indonesia.
Keadaan ekonomi yang dianggap lebih baik itu (padahal tentu saja dapat dibantah dengan fenomena Tionghoa miskin yang jumlahnya bahkan dominan di Tangerang, Belawan, Tegal Alur atau Singkawang misalnya) terkadang menimbulkan kecemburuan yang amat sangat yang dapat dengan mudahnya disulut. Kejadian persaingan dagang dengan kalangan Tionghoa pernah juga menyulut pembentukan Syarikat Dagang Islam dan konflik fisik di antara keduanya pada masa kolonial Belanda dulu.
Kecurigaan dan nasionalisme sempit mana ternyata berlanjut dalam masa kemerdekaan dan menyebabkan pemerintahan kabinet pada tahun 1959 mengeluarkan PP 10 yang kontroversial tersebut yang menyebabkan terjadinya kekosongan distribusi perdagangan yang akibatnya justru lebih menyengsarakan. Presiden saat itu, Soekarno nampaknya tidak kuasa untuk melawan kehendak kabinetnya, meskipun dirinya tidak menginginkan adanya tindakan kekerasan terhadap kalangan Tionghoa.
Meskipun pada saat itu kehidupan politik dan demokrasi berjalan dengan cukup baik, bahkan dengan hadirnya kalangan Tionghoa dalam pemerintahan dan kemiliteran bahkan sebagai menteri dan jenderal, persoalan diskriminasi hukum yang dibukakan dalam jaman orde lama ini menjadi bom waktu yang setiap saat siap meledak. PP 10 tahun 1959 tersebut tidak berdiri sendiri, namun juga memiliki keterhubungan dengan Politik Anti Tionghoa yang dilancarkan sejumlah kalangan politik yang juga memiliki keterkaitan dengan iklim persaingan global dari kubu Amerika Serikat dan sekutunya untuk menyingkirkan Rusia dan Tiongkok (kajian lebih lengkap dapat dibaca dalam tulisan Siauw Giok Tjhan, Lima Jaman, Perwujudan Integrasi Wajar, 1977 atau juga dalam dokumen rahasia yang dibukakan Amerika Serikat yang ternyata ditarik kembali mengenai politik Amerika Serikat di Asia dan khususnya Asia Tenggara 1960-1968 dengan berbagai rekayasan dan kudeta), yang diejawantahkan dalam sejumlah peraturan yang mengebiri kembali hak-hak kewarganegaraan seorang Tionghoa Indonesia.
Tersebutlah misalnya UU tentang Dwi Kewarganegaraan Nomor 2 Tahun 1958 (dan kemudian UU Nomor 4 Tahun 1969) yang praktis melanggar isi batang tubuh Undang-undang Dasar 1945 dan UU tentang Warga Negara dan Penduduk Negara Indonesia Nomor 3 Tahun 1946 jo. Nomor 6 Tahun 1947 yang sebelumnya telah menyatakan penduduk Tionghoa yang sudah menetap di Indonesia sebelum proklamasi praktis menjadi penduduk Indonesia selama mereka tidak menyatakan untuk menolaknya dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
Kebingungan demi kebingungan pun muncul dan pada gilirannya menyebabkan pemerintah Indonesia tidak lain adalah penerus tradisi kalangan penjajah barat dulunya dalam persoalan diskriminasi rasial. Keadaan yang menjurus kepada kerusakan hukum akibat politisasi tersebut kemudian menemukan titik puncaknya pada saat terjadi Peristiwa G30S. Meskipun sudah banyak versi yang menunjukkan bahwa
peristiwa tersebut dipicu kalangan internal Angkatan Darat sendiri dan keterlibatan PKI adalah minimal, kenyataannya pemerintahan militer yang baru di bawah kepemimpinan Soeharto telah menghadapkan kalangan Tionghoa pada posisi yang sangat terpojok dan tidak mampu berkutik sama sekali.
Dihubungkannya Peristiwa G30S tersebut dengan kalangan Tionghoa adalah sekedar pukul rata bahwa Baperki yang waktu itu menjadi ormas terbesar kalangan Tionghoa memiliki pucuk pimpinan yang kebetulan dekat dengan pimpinan PKI. Tidak heran dalam upaya propaganda dan semakin kuatnya Politik Anti Tionghoa yang diprakarsai kalangan barat tadi, maka dicari-cari ketersangkutannya meskipun tanpa bukti yang lebih kuat. Mirip dengan utak atik gathuk (coba-coba mencocokkan, ternyata cocok, padahal tanpa rasio pendukung yang benar).
Jadilah secara propaganda politik bahwa Baperki itu menjadi onderbouw PKI. Selanjutnya karena RRT adalah pemerintahan komunis, maka seluruh kalangan Tionghoa pun tiba-tiba adalah pendukung PKI. Lalu, katanya sebagai penguat, Baperki adalah wadah kalangan Tionghoa, karena itu juga menguatkan tudingan bahwa kalangan Tionghoa terlibat pemberontakan. Rekayasa yang sungguh-sungguh hebat
sekali.
Padahal dari risalah Baperki diketahui bahwa Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) adalah organisasi plural yang mandiri, yang jelas tidak melulu beranggotakan kalangan Tionghoa, khususnya Tionghoa Peranakan (dalam pengertian pertama). Selain itu orientasi politik kalangan Tionghoa pun terbagi, apalagi yang ada di dalam Baperki yang tidak lain adalah badan perumus
kebijakan integrasi dan karenanya melibatkan warna yang beraneka ragam. Pejuang Hak Asasi Manusia yang terkenal dan namanya diabadikan sebagai penghargaan, Yap Thiam Hien pun pernah berkecimpung di Baperki sebelum mengundurkan diri karena menanggap tidak sejalan dengan pucuk pimpinannya.
Hal itu sebenarnya sudah dapat menunjukkan bahwa Baperki sebagai organisasi tidak memiliki afiliasi bawahan dengan PKI. Selain itu, sebagaimana dikemukakan di depan, keterlibatan PKI dalam peristiwa itu pun terlihat minimal, dan tidak nampak sama sekali keterlibatan Baperki dalam peristiwa itu. Selanjutnya kalangan Tionghoa yang anti Baperki pun ada, begitu juga kalangan Tionghoa yang memiliki induk organisasi berbeda. Bagaimana bisa disambung-sambungkan dengan, pada akhirnya, kalangan Tionghoa secara keseluruhan?
Ternyata rezim Soeharto sebagai pihak yang mengambil alih kekuasaan, bermuka dua dan menjalankan pemerintahan yang bersifat munafik. Di satu sisi, secara administratif pemerintah terus membedakan antara warga pribumi dan non pribumi dengan alasan yang beraneka ragam dalam praktek KTP, Akta Catatan Sipil dan Kartu Keluarga, tetapi dalam keterangan-keterangan resminya pemerintah menyatakan tidak pernah membedakan warga negara berdasarkan asal-usul keturunannya.
Posisi dua muka ini dapat dipahami untuk melokalisasi gejolak dan dalam keadaan tertentu dapat menjadikan kalangan Tionghoa sebagai kambing hitam sekaligus bemper letupan sosial yang diakibatkan pemerintahan Orde Baru, sementara pada saat damai, kalangan ini yang dipaksa menjadi makhluk ekonomi, dapat terus-menerus diperah kantungnya oleh penguasa. Jadinya serba sulit, kalau ingin hidup,
mau tidak mau terpaksa mengikuti jalur yang disediakan seperti itu.
Posisi seperti itu disebut sebagai necessary evil, makhluk berwajah buruk yang dipelihara oleh penguasa untuk menjadi sasaran letupan kemarahan masyarakat yang sebenarnya diperbuat oleh penguasa tadi. Dalam kaitan itu, penguasa memainkan kalangan Tionghoa secara lihai. Kalangan Tionghoa ini diberikan peran sebagai pelaksana perusahaan yang dimiliki kalangan penguasa, keuntungannya untuk penguasa. Namun sebagai akibatnya, masyarakat luaran melihat bahwa pengusaha Tionghoa ini (yang sebenarnya tangan kanan saja) sebagai tukang kolusi dan korupsi sehingga kebencian tertuju kepada mereka. Sebenarnya yang mendapatkan banyak kucuran dan fasilitas negara adalah kroni Cendana dalam berbagai grup perusahaan dan bahkan yang berkedok yayasan sebagaimana dilansir oleh George Junus Aditjondro. Akhirnya nasionalisme dimaknai secara sangat sempit, sehingga selalu saja ada embel-embel mengenai “kesetiaan” dan “nasionalisme” dari kalangan Tionghoa kepada tanah air Indonesia, padahal dalam era modern sepeti sekarang ini, nasionalisme harus diberlakukan secara rasional sesuai konteks jamannya.
Terbukti dalam lapangan olah raga, nasionalisme kalangan Tionghoa telah dapat memberikan medali emas bagi Indonesia dalam Olimpiade. Tetapi balasannya? SBKRI pejuang bulu tangkis pun ternyata dipermasalahkan. Siapa yang tidak akan sakit hati? Apakah akan mengulang kejadian pada masa-masa awal kemerdekaan dulu yang menyebabkan seorang Tionghoa nasionalis Indonesia yang banyak jasanya dalam mempersiapkan dasar-dasar kenegaraan Republik Indonesia yang gigih pula melawan pendudukan Belanda dan Jepang, Liem Koen Hian akhirnya tidak bersedia menentukan (kembali) kewarganegaraan akibat dia merasa tindakan pemerintahan tersebut berlebihan dan berarti mempertanyakan nasionalisme Indonesianya yang seharusnya dapat dilihat dari tulisan-tulisan dan perjuangannya? Kenyataannya, selama orde baru berjaya, prasangka tersebut dikukuhkan melalui berbagai produk perundang-undangan yang meskipun dari segi isi kedengarannya indah dan masih “agak” menghargai hak- hak asasi manusia, kenyataannya menimbulkan penghancuran kepada kalangan Tionghoa Indonesia.
Selama Orde Baru berjaya melampaui lebih dari 30 tahun lamanya, waktu yang cukup untuk menghilangkan satu-dua generasi Tionghoa, selama itu pula kelangan Tionghoa mendapatkan diskriminasi sistematik dari segi hukum dan pelayanan publik yang dilakukan penguasa dan lambat laun kemudian menjadi prasangka budaya kalangan masyarakat lainnya. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya sejumlah
peraturan perundang-undangan yang mengatur kalangan Tionghoa di Indonesia.
Pertama-tama adalah Keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/KEP/12/1996 tentang Peraturan Ganti Nama bagi Warga Negara Indonesia yang Memakai Nama Cina. Jelas peraturan ini hanya ditujukan kepada pemakai nama Tionghoa, bukan misalnya kepada pemakai nama Thailand atau India atau Rusia atau Arab atau Belanda sebagai contohnya. Bahaya yang pertama dari peraturan ini adalah menghilangkan pemberian nama Marga yang sangat penting bagi seorang Tionghoa karena terkait dengan sejumlah aturan adat dan pantang- larang yang menyertainya. Sangat unik bahwa kenyataannya kalangan Batak misalnya atau Menado bisa memiliki dan mempertahankan identitas marganya, tetapi kalangan Tionghoa tidak. Pergantian nama Tionghoa pun tidak semudah kelihatannya pada saat menentukan apakah hendak memiliki suatu nama keluarga ataukah tidak dan untuk menemukan nama keluarga yang cocok dan dapat memberikan ciri budayanya. Nyata ketentuan semacam ini adalah sebuah bentuk kejahatan yang difasilitasi negara yang menyebabkan kehilangan hak
atas asal-usul.
Kedua, Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IV/6/1967 tentang Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina (termasuk politik pengamanan yang dibuat berdasarkan payung hukum ini sebagaimana terangkum dalam tiga jilid buku Pedoman Penyelesaian Masalah Cina di Indonesia yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut) yang membentuk Badan Koordinasi Masalah Cina, sebagai sebuah unit khusus di
lingkungan Badan Koordinasi Intelijen Negara yang sangat ditakuti pada masa itu. Pemakaian istilah Cina di sana bukanlah pilihan netral, karena meskipun dibungkus oleh alasan-alasan indah, pertimbangannya jelas ditujukan untuk menimbulkan perasaan tidak menyenangkan bagi kalangan Tionghoa tersebut.
Ketiga, Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina (bersama dengan aturan turunan- turunannya). Meskipun sekali lagi kata-kata yang ada dalam instruksi ini “memperkenankan” keleluasaan mememluk agama dan memnuaikan ibadat dan tata cara ibadah “Cina”, kenyataannya tindakan tersebut harus dilakukan secara intern dalam keluarga atau perorangan, dan diatur oleh Menteri Agama setelah mendengarkan pertimbangan Jaksa Agung!!! Jelas saja instruksi semacam ini adalah hambatan politik yang sangat menakutkan, lebih-lebih mengingat bahwa Inpres ini tidak dapat dibaca secara tersendiri dan merupakan satu kesatuan tidak terpisahkan dengan ketentuan mengenai Ganti Nama tadi dan pengawasan Bakin, serta kemudian semakin lengkap aspek diskriminasinya berdasarkan konstruksi keempat, kelima dan keenam berikut ini.
Keempat, Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang tempat-tempat yang disediakan utuk anak-anak WNA Cina disekolah- sekolah nasional sebanyak 40 % dan setiap kelas jumlah murid WNI harus lebih banyak daripada murid-murid WNA Cina. Nampak pemakaian istilah WNA di sini memiliki keterhubungan dengan UU Kewarganegaraan yang disebutkan di muka, yang secara praktek mengharuskan seorang Tionghoa untuk memiliki SBKRI yang tidak lain berarti tambahan uang dan bahkan bisa jadi juga pengorbanan harga diri lagi-lagi sebagai warga negara kelas dua.
Kelima, Instruksi Menteri Dalam Negara No. 455.2-360/1968 tentang penataan Kelenteng-kelenteng di Indonesia (termasuk peraturan- peraturan dengan semangat yang serupa bahkan lebih merusak). Praktis ketentuan ini bersama-sama dengan ketentuan terselubung lainnya dari Departemen Agama, menyebabkan terjadinya penutupan kelenteng- kelenteng di mana sebagian cara untuk menyelamatkannya, adalah terpaksa diubah menjadi Vihara-vihara bercorak Hinayana (Theravada dan sebagainya) dengan memajang patung Sidharta Gautama versi Selatan yang sebelumnya tidak dikenal dan menyingkirkan patung- patung yang sebelumnya ada di kelenteng tersebut. Lihainya, ketentuan hukum tertulis yang dibuat penguasa selalu menampakkan bahasa yang indah dan terkesan melindungi meskipun membatasi, namun kenyataannya, di lapangan, yang berlaku adalah instruksi keras penuh curiga dan syak wasangka dan juga intervensi Sosial-Politik dari berbagai instansi yang memaksa penghapusan identitas kultural kalangan Tionghoa tersebut, yang lucunya juga diimbuhi dengan politik uang.
Keenam, Surat Menteri Agama Nomor A/058/1978 tentang Pelaksanaan Pelajaran Agama di Sekolah-sekolah (dan peraturan sejenis lainnya). Uniknya surat ini bertitel rahasia yang ditujukan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Sekarang Departemen Pendidikan Nasional) dan menunjukkan bahwa penguasa mencoba menghapus mata pelajaran agama Khonghucu yang waktu itu ada dalam kurikulum dan pada umumnya dipergunakan oleh kalangan Tionghoa di sekolah-sekolah, lagi-lagi dengan cara-cara bawah tangan. Secara bersama-sama dengan pola-pola yang ditunjukkan di atas, semakin lengkaplah terlihat upaya untuk menghancurkan identitas kalangan Tionghoa di Indonesia. Sudah agama dan adatnya diutak atik dan dibatasi, generasi muda mereka juga dipaksa untuk mengambil agama baru yang tentunya berbeda dengan agama yang diyakini oleh kalangan pendahulu mereka.
Sebagaimana diketahui, agama menjadi pelajaran wajib di sekolah- sekolah berdasarkan kurikulum yang dibuat pemerintah. Dengan penghilangan kurikulum agama Khonghucu, maka praktis anak-anak kalangan Tionghoa dipaksa untuk mengambil dan meyakini agama lain yang disediakan pemerintah berdasarkan lima (sebelumnya empat) bimas yang diadakan di Departemen Agama. Konsekuensi tidak ikut dalam
pelajaran agama (dan di beberapa sekolah di mana keikutsertaan ritual adalah wajib dan disertai insentif-insentif khusus) adalah jelas tidak naik kelas dan tidak lulus.
Bahkan kalangan Tionghoa yang mengambil agama Budha sekalipun sebenarnya mengalami proses pemaksaan transisi identitas yang sama meskipun orang tuanya juga beragama Budha (Mahayana), karena doktrin yang umum dimiliki kalangan Tionghoa Budhis yang lama adalah Mahayana yang jelas berbeda, bahkan dalam hal-hal tertentu agak bertentangan dengan doktrin-doktrin yang ditanamkan di sekolah mengenai agama Budha yang bercorak Hinayana. Dalam kalangan ini, generasi mudanya akhirnya menjadi asing dengan misalnya Kuan Im dan tradisi-tradisi Budhisme Mahayana khas Tionghoa.
Apalagi generasi muda yang mengambil agama Nasrani atau Islam, perbedaan doktrin yang sangat besar kadang kala menimbulkan konflik karena perbedaan konsep yang besar mengenai keberadaan roh misalnya dan kebolehan untuk menjalankan ritual-ritual khas Tionghoa tertentu. Hilangnya kebiasaan ritual ziarah kubur saat Ceng Beng, pengabaian kuburan, pembongkaran altar leluhur, hilangnya pemberian penghormatan, hilangnya tradisi persembahyangan orang tua dan sebagainya menjadi bagian kecil dari peminggiran sistematik ini.
Belum lagi penghancuran di mana dalam mata pelajaran yang terkait persoalan peran serta masyarakat, etik dan budaya, peranan kalangan Tionghoa dalam sejarah kenegaraan Indonesia dihilangkan dan tidak dianggap sebagai salah satu unsur budaya nasional Indonesia. Apa boleh buat, terpaksa kalangan Tionghoa yang sangat mementingkan pendidikan bagi anaknya mengambil jalan seperti itu demi menyelamatkan masa depan anak-anaknya. Celakanya, yang menampung limpahan orang-orang muda Tionghoa yang mengalami kebimbangan seperti ini, memanfaatkan kondisi limbung tersebut dan memasukkan doktrin-doktrin baru yang terbilang asing bagi kalangan Tionghoa tadi dan menguatkan proses penghancuran identitas.
Akhirnya banyak generasi muda yang “terpaksa” mengambil agama-agama itu dan karena pendidikan yang sangat intensif di sekolah, membentuk generasi baru yang kemudian menyalahkan orangtuanya sebagai “tidak beragama”. Mulailah juga generasi baru tersebut menyerang tata peribadatan yang dipergunakan orang tuanya. Mulai dari cara hormat, persembahyangan dan sebagainya mengalami distorsi sedemikian rupa yang diakibatkan oleh pemaksaan terselubung akibat kepicikan pandang dalam mendefinisikan agama menurut keinginan penguasa pada saat itu.
Ketujuh, Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/78 tentang Larangan Mengimpor, Memperdagangkan dan Mengedarkan Segala Jenis Barang dalam Huruf/Aksara dan Bahasa Cina (termasuk peraturan sejenis lainnya). Peraturan ini jelas sangat tendensius dan menunjukkan betapa kuatnya upaya sistematik propaganda Anti Tionghoa dalam segala aspeknya. Lagi-lagi yang terlihat secara telanjang di sini adalah sikap super diskriminatif dari penguasa. Tidak heran apabila sampai ada sindiran pada masa orde baru tersebut. Satu-satunya negara di dunia (sich!) yang tidak ada chinatown-nya adalah Indonesia! Entah saking tingginya Sinophobia atau saking kreatifnya penciptaan kebodohan seperti ini.
Kedelapan, Surat Menteri Dalam Negeri Nomor: Btux 8/3/8-78 dan produk serupa yang menghalangi proses pengembalian tanah-tanah milik (dan sebenarnya harta kekayaan lainnya) yang dirampas secara tidak sah dari kalangan Tionghoa. Padahal jelas ada perbedaan antara kasus pengambilan tanah Belanda tahun 1958 (mengingat persoalan nasionalisasi tanah yang dulunya diambil kolonialis Belanda pra-1945 yang belum dituntaskan, termasuk persoalan pampasan perang dan sebagainya) dengan kejadian tahun 1965. Nyata sekali perampasan tersebut dilatarbelakangi oleh kepentingan elite semata dan tidak ada sangkut pautnya dengan politik perang, apalagi kenyataan mengenai keberadaan kalangan Tionghoa di Indonesia.
Harus diakui bahwa hal ini mungkin akan ditutup saja bahkan oleh kalangan pewaris Tionghoanya sendiri karena sudah terlalu lama berlalu. Namun setidaknya butir ini memperlihatkan bahwa kejadian perampasan serupa tidak boleh terjadi lagi karena jelas sekali tidak memiliki dasar dan salah, sementara faktanya banyak tanah dan bangunan tersebut adalah milik sosial atau merupakan lembaga pendidikan. Daftar peraturan perundang-undangan yang ada sebenarnya dapat lebih panjang lagi, dan dalam identifikasi kasar saja dapat disebutkan lebih dari 100 peraturan perundang-undangan mulai dari yang setingkat UU sampai dengan yang setingkat keputusan menteri. Namun pada intinya, kedelapan surat di atas sudah dapat menunjukkan bidang apa yang paling diserang dari kalangan Tionghoa di Indonesia tersebut