Kerancuan dalam Paham Asimilasi
Berakhirnya kolonialisme Belanda dan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1945 dan khususnya mulai tahun 1960-an ternyata justru membuat identitas Ketionghoaan menjadi baju panas untuk dikenakan! Paham asimilasi yang dikemukakan oleh kelompok Bakom PKB yang dekat dengan sumbu kekuasaan Orde Baru menjadi sesuatu paham yang dipaksakan dan tentunya dirasakan sebagai pemerkosaan hak asasi.
Berdasarkan Paham tersebut, asimilasi dimaksudkan untuk “menghilangkan segala sesuatu yang memiliki unsur asing” dan lucunya dikenakan untuk segala sesuatu yang ada embel-embel Tionghoanya! Oleh karena itu, berdasarkan runutan yang dibuat di atas, penguasa mengeluarkan peraturan penggantian nama yang memiliki dampak kepada penghilangan identitas budaya dan sekaligus perlahan-
lahan menghapuskan marga yang dimiliki dan menjadi kebanggaan kalangan Tionghoa.
Lebih jauh lagi, Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang perayaan- perayaan agama dan adat-istiadat “Cina” menyebabkan selama 33 tahun identitas Tionghoa menjadi sesuatu yang tabu. Paham seperti ini bergabung menjadi proses sistematik yang didukung oleh proyek sosial politik yang didukung oleh penguasa dan senjata melalui tekanan gabungan birokrasi dan militer terhadap kalangan Tionghoa.
Paham ini mamaksakan bahwa minoritas di suatu negara harus digabungkan ke dalam mayoritas dengan melarang kebudayaan minoritas tersebut dan mengharuskan mereka untuk mengadopsi sistem nilai dan gaya hidup kelompok mayoritasnya. Masalahnya tentu saja tidak sematematis dan sesederhana itu. Siapa yang disebut mayoritas itu?
Berdasarkan hitungan komposisi di tingkat RT, RW, Kecamatan, Propinsi atau apa? Lalu apa yang disebut nilai mayoritas itu? Agama, suku, adat atau apa? Bagaimana pula dengan gaya hidup yang mayoritas itu? Hedonistik, borjuis, priyayi, pedagang, pembecak atau apa juga? Kenapa bukan orang Madura di Singkawang yang diasimilasi ke dalam masyarakat Tionghoa? Dan banyak pertanyaan yang tidak akan bisa dijawab oleh kubu asimilasi penuh curiga macam ini.
Jelas konsepsi asimilasi seperti ini sangat keliru dan tidak berdasar. Budaya memang tidak dapat dikatakan statis termasuk kebudayaan kalangan Tionghoa Indonesia itu sendiri, namun proyek “paksa” asimilasi seperti ini adalah sebuah kekonyolan yang tidak lucu lagi. Nampak nyata bahwa politik yang dianut dalam asimilasi adalah politik serba curiga dan jelas sifatnya mewakili kepentingan elite berkuasa.
Negara harusnya bersifat netral di sini dan hanya menjaga agar pengembangan budaya dari suatu kelompok tidak mendiskreditkan kelompok lain. Bukannya malahan larut dalam pertarungan yang tidak memiliki dasar pembenar yang kukuh. Pilihan yang jauh lebih baik dan dapat dipertanggungjawabkan adalah paham integrasi atau setidaknya paham sinergi, di mana perbedaan dan identitas masing-masing tersebut tidak dipaksakan hilang, namun dibiarkan untuk berjalan alamiah tanpa merusak komposisi warna yang ada. Malahan antar komunitas dapat saling menguatkan dan mendukung sehingga kecemerlangan pluralisme dapat tampak sebagai sebuah harmoni yang saling berbagi.
Untuk itu, kesadaran pemakaian nama marga Tionghoa dan bahkan penggunaannya kembali dalam nama resmi mereka tidak boleh dilarang oleh pemerintah, malahan harus dilindungi sebagai bagian budaya yang mewarnai keanekaragaman yang ada di bumi nusantara yang pada perjalanan sejarahnya juga dibentuk dari keanekaragaman yang serupa. Begitu juga mengenai penggunaan adat istiadat dan sebutan seperti Pe, Em, Cek, Cim Ko, Ci dan sebagainya juga pada kalangan Tionghoa sebagaimana panggilan yang melihat urutan generasi seperti pada Bude dan Bule pada masyarakat Jawa adalah pemberi warna yang serupa.
Pemakaian nama-nama Barat harus dipahami kembali bukan pertanda modernisasi sebagaimana sering dipersepsikan, karena itu bukan sekedar istilah gengsi atau lebih modern apabila dipanggil Oom atau Tante. Porsi kebudayaan hendaknya dikembalikan kepada masyarakat itu sendiri karena tentunya sebutan dan tata cara yang ada akan lebih bersesuaian dengan tata nilai budaya yang lainnya yang ada dan diyakini oleh masyarakat tersebut.