Kondisi yang Melatarbelakangi Perlawanan terhadap Diskriminasi dan Hasil Minimal yang Diperoleh dalam Masa Tersebut
Kerusuhan Mei 1998, memberikan pengaruh yang sangat kuat kepada pengkajian kembali sikap anti etnis Tionghoa yang terkadang dianggap sebagai golongan yang kaya. Kalangan Tionghoa yang trauma akibat kerusuhan Mei 1998, memang banyak yang pergi ke luar negeri, malahan di antara mereka ada juga yang melarikan modal. Tapi hal ini tidak boleh disamaratakan. Jauh lebih banyak kalangan Tionghoa dari level menengah ke bawah yang bertahan di dalam negeri. Juga banyak dari kalangan beradanya pun bertahan di dalam negeri yang dianggapnya sebagai negeri mereka sendiri! Bagaimanapun peristiwa Mei 1998 tersebut memberikan pelajaran berharga (kembali) bahwa diskriminasi rasial kepada kalangan Tionghoa justru semakin merugikan Indonesia baik dari sisi politik, ekonomi maupun juga sosial-budaya.
Pada masa-masa krisis itu, kegiatan usaha yang memang banyak digerakkan oleh kalangan Tionghoa, baru dapat bangkit setelah ada jaminan keamanan dari Presiden saat itu, BJ Habibie. Pada saat itu jugalah dikeluarkan misalnya Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan
Program ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintah. Inpres mana meskipun berlaku intern eksekutif, setidaknya menunjukkan angin segar bahwa kebijakan pendikotomian pribumi dan non pribumi adalah tidak benar dan merugikan karena selalu memancing kecurigaan buta.
Transisi politik terus bergulir. Untuk lebih menguatkan lagi kebijakan anti diskriminasinya, pemerintahan Habiebie kemudian bersama-sama dengan DPR mengundangkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965) yang meskipun tidak disebutkan bentuk teknisnya, setidaknya secara prinsip perundang-undangan praktis menghapuskan segala bentuk diskriminasi yang terjadi pada peraturan perundang-undangan lainnya sampai setingkat Undang-undang (mempergunakan prinsip hukum yang lebih baru mengesampingkan hukum setingkat atau di bawahnya yang lebih lama, lex posterior derogat legi anteriori).
Transisi politik terus bergulir semakin kencang. Pada saat itu pertanggungjawaban Habiebie ternyata ditolak oleh DPR karena alasan kebijakan negaranya dianggap tidak sesuai dalam Sidang Istimewa. Pemerintahan baru yang kemudian dijalankan oleh Abdurrahman Wahid yang selama itu dikenal sangat vokal dalam persoalan anti- diskriminasi dan menjadi anggota kehormatan dari World Conference on Religion and Peace (yang mewakili hampir seluruh pemuka agama di dunia, termasuk juga dari kubu konservatif seperti Vatikan, sampai kepada yang paling spesifik dan minoritas dalam bentuk folk religion dari berbagai negara di dunia) menyadari bahwa pembuatan Undang- undang saja tidaklah cukup karena kultur birokrasi Indonesia yang sangat kaku menyebabkan adanya hambatan dalam peanfsiran.
Untuk itu Gus Dur bertindak lebih tegas dengan cara membuat sebuah Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Butir yang sangat penting dalam Keputusan Presiden tersebut adalah: “Dengan ini penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung selama ini”
Keputusan Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 17 Januari 2000 tersebut merupakan sebuah kado besar bagi kalangan Tionghoa Indonesia, di mana kemudian sebuah perayaan Imlek secara khusus untuk pertama kalinya secara nasional dilakukan di Indonesia setelah hampir 35 tahun lamanya terkubur. Perayaan tersebut dilakukan oleh organisasi keagamaan tradisional kalangan Tionghoa yang diwadahi dalam Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN), organisasi yang selama 30 tahun lamanya berada dalam tekanan dan keadaan hidup susah, mati tak mau. Dari era itulah kemudian seakan-akan dalam kalangan Tionghoa terjadi euphoria lepas dari tekanan yang sangat menghimpit dan hampir-hampir saja memusnahkan aspek-aspek kebudayaan yang selama masa-masa pembentukan Indonesia justru sangat banyak memberikan sumbangannya. Untungnya euphoria seperti itu tidak memancing ekses berlebihan atau kemewahan yang tidak perlu, mengingat bagaimanapun kalangan Tionghoa Indonesia merasakan juga krisis yang menggelayuti Indonesia selama ini sebagai negara mereka.
Keadaan pengakuan pluralisme tersebut disusuli kemudian dengan dikukuhkannya Tahun Baru Imlek sebagai hari nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002 pada era pemerintahan Megawati yang “menggantikan” Abdurrahman Wahid. Tidak pelak, sejumlah kalangan yang dulu dekat dengan kelompok orde baru mengkritik pembuatan Keputusan Presiden ini dan menuduhnya hanya sebagai konsumsi politik. Bagaimanapun juga, kritik semacam itu setidaknya memperlihatkan kembali bahwa para pengkritiknya justru adalah kalangan yang memang bukan penganut agama/kepercayaan tradisional Tionghoa dan mereka selama itu justru berperan mempercepat penghancuran identitas budaya yang dimiliki kalangan Tionghoa tersebut (lihat tulisan Warga Baru dari Siswono Yudohusodo, kemudian Saya Seorang WNI dari Yunus Yahya dan berbagai buku lain dengan topik sejenis yang diterbitkan selama periode orde baru tersebut, lihat juga komentar-komentar Sindhunata, dan kalangan [mantan] Bakom PKB), sehingga bisa jadi hanya merupakan pertanda reaksi spontan atas kegagalan proyek asimilasi yang mereka dengang- dengungkan selama orde baru yang kemudian terbukti gagal karena sebenarnya tidak mampu menjawab kebutuhan mendasar negara Indonesia yang sangat heterogen ini untuk membentuk sebuah sususan masyarakat yang pluralis.
Dalam masa-masa belakangan inilah muncul kembali sejumlah buku yang membahas diskriminasi yang selama ini dialami oleh kalangan Tionghoa Indonesia. Sebutlah misalnya buku-buku berjudul Prasangka terhadap Etnis Cina dari Yusiu Liem, 2000, Jalan Panjang Penghapusan Diskriminasi Rasial dari Esther Indahjani Jusuf, 2001, Diskriminasi dalam Praktek dari Indradi Kusuma 2002, Hukum sebagai Alat Kekuasaan (Politik Asimilasi Orde Baru) dari Jafar Suryomenggolo, 2002, Diskriminasi Rasial Ethnis Tionghoa di Indonesia dari suntingan J. Babari dan Albertus Sugeng, 1999, Identities in Flux dari Thung Ju Lan, 1999, Kapok jadi Nonpri dari suntingan Alfian Hamzah, 1998, Etnisitas dan Integrasi di Indonesia dari LIPI, 2000, Negara dan Etnis Tionghoa dari Leo Suryadinata, 2002, Antara Prasangka dan Realita, 2002, Harga yang Harus Dibayar: Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia suntingan I. Wibowo, 2000, Dari Ahong sampai Ahmad oleh Zaiyardam Zubir dan Lindayanti, 2004, Memupus Silang-sengkarut Relasi Jawa-Tionghoa dari Maarif Jamuin, 2001, lalu Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina suntingan I. Wibowo, 1999, juga Kasus Pencatatan Kartu Tanda Pengenal (KTP) Agama Khonghucu dari Suma Mihardja, 2004.
Hal itu belum lagi ditambahi dengan topik yang lebih khusus, utamanya mengenai perlawanan terhadap penghancuran kebudayaan dan keagamaan kalangan Tionghoa yang dilakukan melalui sisi agama seperti tergambar dari buku Kejahatan Genosida dari Jayadi Damanik, 2003, Hak Asasi Beragama dan Perkawinan Khonghucu, 1998, Konfusianisme di Indonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri, 1995, Jalan Keselamatan melalui Agama Khonghucu dari Ikhsan Tanggok, 2000, juga Memahami Khonghucu sebagai Agama dari H. Muh. Nahar Nahrawi, 2003, Mengenal Hari Raya Konfusiani dari Hendrik Agus Winarso, 2000. Dari sisi yang spektrumnya lebih spesifik misalnya Sastra Cina Peranakan dalam Bahsan Melayu dari Claudine Salmon tahun 1985 disambut karya Perlawanan atas Diskriminasi Rasial-Etnik pada tahun 2000. Juga patut diperhatikan Membanting Tulang Menyembah Arwah dari Gondomono, 1996 dan Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia dari Hidajat ZM, membantu untuk memperlihatkan bahwa sisi budaya tersebut belum sepenuhnya hilang. Juga bisa dicatat misalnya Pelangi Cian Indonesia tahun 2002, serta masih cukup banyak buku lainnya yang patut menjadi pembahasan mengenai diskriminasi yang selama itu dialami oleh kalangan Tionghoa Indonesia.