Sudah Berakhir Tuntaskah Diskriminasi Hukum terhadap Kalangan Tionghoa?
Pertanyaan yang menggelitik sehubungan dengan keluarnya peraturan demi peraturan yang katanya anti diskriminasi tadi adalah pada sisi “adakah yang masih tertinggal baik dari segi teknis hukum maupun prakteknya?” Kenyataannya pembuatan UU, Keppres dan Inpres tersebut masih belum menuntaskan seluruh persoalan! Sampai saat ini, problem Agama dan Pendidikan bagi kalangan Tionghoa masih menjadi ganjalan yang sangat besar, karena kedua hal itu adalah fundamen bagi hak-hak asasi manusia yang lain.
Sebagaimana diungkapkan di muka, telah terjadi upaya penghapusan memori kalangan Tionghoa dengan melakukan penggiringan kepada agama- agama yang difasilitasi Departemen Agama ala Orde Baru, padahal di dunia ini pengakuan terhadap apa yang disebut sebagai Chinese Religion, khususnya kepada Konfusianisme dan Taoisme telah dibuktikan dari berbagai forum yang dihadiri para pemuka agama di seluruh dunia.
Lucunya, meskipun perayaan Imlek berulangkali telah dilakukan dan dihadiri oleh petinggi negara baik Presiden, Wakil Presiden, Ketua MPR, Ketua DPR dan seterusnya bahkan dengan memberikan kata sambutan yang tegas isinya dalam acara tersebut, kenyataannya sampai saat ini hak-hak untuk menjalankan hak-hak sipil berdasarkan isi Keppres Nomor 6/2000 tersebut ternyata masih dihambat oleh birokrasi.
Akibatnya adalah bahwa pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan menurut tata cara keagamaan Khonghucu misalnya atau yang hendak menjalankan tata peradatan Tionghoa (Cio Thau) atau secara Taois, tidak bisa juga mencatatkan perkawinannya di catatan sipil (pembahasan diskriminasi dalam bentuk pembedaaan golongan dalam catatan sipil akan dibahas dalam tulisan yang lain).
Keadaan seperti ini tentu saja sangat kontras dengan ucapan-ucapan dan pernyataan-pernyataan yang diberikan pada perayaan-perayaan nasional Imlek misalnya selama tahun 2000-2004 ini. Malahan dalam beberapa kesempatan, sejumlah perwakilan Departemen Agama menolak untuk memberikan penghargaan mereka akan keberadaan keagamaan Khonghucu atau Tao (termasuk juga misalnya dalam kasus Penghayat Kepercayaan dan agama Kaharingan yang merupakan folk religion
Indonesia), padahal sejumlah kalangan dari Departemen yang sama telah memberikan klarifikasinya bahwa Khonghucu juga adalah suatu agama! (lihat misalnya tulisan H. Muh Nahar Nahrawi dan Johan Effendi sebagai orang Departemen Agama yang kepakarannya juga diakui).
Jelas hal ini semakin menambah runyam persoalan. Mengapa sejumlah Bimas di sana harus menyatakan keberatan secara diam-diam dan tidak berani menghadapi forum yang disediakan? Karena ketakutan bahwa umat mereka akan mengecil karena memiliki jalur untuk kembali kepada agama yang sama dengan orang tuanya dulu? Ataukah ada kepentingan lain? Akhirnya kecurigaan demi kecurigaan ini muncul mengingat jawaban yang diberikan oleh mereka sangat mengambang dan tidak
memiliki argumen teologis, filosofis bahkan yuridis yang kuat.
Padahal Indonesia sejak lama sudah memiliki satu dasar hukum yang tidak pernah dicabut keberadaannya hingga saat ini dalam produk hukum yang setingkat Undang-undang yaitu UU no. 1/PNPS/1965 yang jelas-jelas menyebutkan keberadaan agama Khonghucu sebagai agama besar yang dianut oleh penduduk Indonesia. Malahan secara khusus UU tersebut memberikan penjelasan:
“…Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah: Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu dan Khonghucu (Confucius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Karena 6 macam Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, ….Ini tidak berarti bahwa Agama- agama lain, misalnya: Yahudi, Zarazustrian, Shinto, Taoism, dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh
pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya…”
Akan sangat unik untuk membaca pendapat pribadi Claudine Salmon dan Dennys Lombard (alm.), sejarawan Perancis yang terkenal di dunia sebagai ahli kebudayaan Tionghoa yang banyak meneliti kazanah budaya seperti itu di Asia Tenggara, dalam kata-kata:
” Waktu kami pertama kali mengunjungi Jakarta pada tahun 1966, dua belas tahun yang lalu, suasana tidak menguntungkan utuk meninjau masyarakat Tionghoa….Sekolah-sekolah Tionghoa satu-persatu ditutup, begitu juga penerbitan dalam bahasa Tionghoa kecuali satu harian di Jakarta. Semua perkumpulan yang ada dibubarkan; pemakaian aksara Tionghoa di tempat-tempat umum dilarang….Sementara itu para penduduk keturunan Tionghoa didesak untuk menanggalkan nama asli mereka serta menukarnya dengan nama Indonesia….
…Sebagian yang lagi yang condong ke Barat dan sejak lama mengalami pengaruh Belanda, mencoba memperkuat hubungan mereka denmgan Eropa lewat agama. Beberapa kelompok masyarakat Tionghoa secara besar- besaran berpindah agama menjadi Kristen. Sisanya menderita secara diam-diam dengan mengandalkan bermacam-macam nilai Tionghoa, biarpun tak terelakkan bahwa anak-anak mereka makin lama makin jauh dari dunia orangtuas mereka….
Keadaan krisis hebat ini terpantul juga pada klenteng-klenteng yang terbuka bagi semua orang, tempat orang tak terkenal pun selalu diterima dengan sangat ramah dan hangat. Di mana-mana tulisan aksara Tionghoa dihapus, papan-papan nama ditanggalkan dan disimpan dalam gudang; naskah yang dipahat pada batu ditutupi dengan kertas. Di sebelah luar, papan tempat nama klenteng tertera dalam bahasa Tionghoa, secara sistematis diganti papan baru…tulisan aksara latin…
yang bunyinya aneh dan berbau Sansekerta…dengan menitikberatkan sifat Buddhis klenteng-klenteng tersebut.
…Untuk mencegah tuduhan…maka sebuah altar dengan arca Budha dipindah ke tempat yang menonjol. Kadang-kadang altar itu samasekali baru, sedangkan arca Budha bergaya Teravada…yang agak berbeda dari aliran lama, yakni Mahayana. Suatu tanda negatif…timbunan arca dewa-dewi (Kuan Im dll) yang terbengkalai dalam satu ruang tertentu….” (dalam Klenteng-klenteng Masyarakat Tionghoa di Jakarta, 1985
Dalam pengamatannya yang kemudian, ditemukannya tetap ada semangat dan kesadaran kalangan Tionghoa untuk memelihara tempat ibadah tersebut pada era selepas tahun 1980-an dan beberapa perayaan yang dilakukan meskipun terbatas. Meskipun demikian, gambaran tadi dapat melukiskan keadaan nyata termarginalisasikannya generasi muda Tionghoa dari proses budaya yang akan diwarisinya dalam keadaan normal (tidak dapat dilupakan juga bahwa ada kalangan non-Tionghoa pun yang memeluk keagamaan Tionghoa pada umumnya (Khonghucu, Tao, Mahayana) seperti misalnya keluarga “Jawa” di Cilacap, Singkawang, Semarang, Yogyakarta dan Tangerang, juga keluarga “Menado” atau “Dayak” dan tidak tertutup masyarakat lainnya yang tidak dipublikasikan).
Dari pengamatan yang ada, persoalan bahasa, aksara dan tulisan Tionghoa pada era Keppres 6/2000 tersebut sudah tidak mengalami masalah. Begitu juga persoalan pembedaan perlakuan publik sudah tidak terpampang terang-terangan (meskipun biaya pembuatan akta catatan sipil masih dibedakan oleh kalangan swasta yang menjadi makelar seperti rumah sakit dan calo, sementara di kantor penyelenggaranya sendiri sudah tidak dipergunakan lagi), namun aspek Agama dan Pendidikan ini sebagai dua fundamen dasar budaya, masih mengalami diskriminasi dalam bentuk pengabaian negatif.
Tidak heran sampai saat tulisan ini dibuat, kurikulum agama Khonghucu belum juga dimasukkan dalam konteks pendidikan nasional, bahkan setelah era berlakunya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional yang pengantarnya menyebutkan hendak mewujudkan hak-hak asasi manusia. Mata pelajaran budaya pun belum banyak menyebutkan kontribusi budaya Tionghoa dalam kebudayaan Indonesia yang sungguh-sungguh sangat majemuk dan jelas sangat diwarnai pemasukan unsur-unsur budaya Tionghoa itu. Kemudian pembuatan akta catatan sipil yang terkait keagamaan Khonghucu atau adat Tionghoa pun masih mengganjal karena penolakan dari sebagian besar kantor penyelenggaran catatan sipil tersebut.
Bukan itu saja, sampai-sampai juga penolakan untuk mencantumkan keagamaan Khonghucu dalam dokumen kependudukan yang lain (KTP misalnya), padahal sebelumnya sudah dikeluarkan surat edaran menteri mengenai penyediaan kolom agama tersebut dalam dokumen-dpkumen kependudukan, bahkan pada saat dilangsungkannya pendaftaran pemilih untuk menghadapi pemilihan presiden tahun 2004 ini! Jadi kapan beresnya?