Diskriminasi dan Represi Ganda terhadap Umat Khonghucu Sebagai Kalangan Tionghoa pada Umumnya dan Penghayat Keagamaan
Pada bulan Mei tahun 2003, Departemen Agama kembali membuat kisruh persoalan dengan mengirimkan surat kepada Dewan perwakilan Rakyat yang isinya mengatakan bahwa negara tidak mengakui agama Khonghucu dan Kaharingan. Alasan yang dikemukakan juga mengada-ada, apalagi mengingat dilakukannya penyelewengan isinya mengenai “negara tidak mengakui agama Khonghucu dan Kaharingan sebagai agama resmi”, padahal kenyataannya negara juga tidak pernah memberikan penyataan untuk mengakui agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha sebagai agama resmi.
Jadi sebenarnya makna di dalam surat tersebut telah diselewengkan, karena asasnya adalah bahwa negara memang tidak memberikan posisi pengakuan atau tidak-pengakuan atas agama, namun dalam surat itu dibuat menjadi berbunyi penafsiran yang lain dan dipelintir bahwa negara tidak mengakui soal dua agama yang ditanyakan. Selain itu, kasus penegasan keberadaan hak-hak penganut agama Khonghucu juga tidak segera dituntaskan oleh Catatan Sipil dan bahkan Departemen Dalam Negeri dengan alasan bahwa Departemen Agama masih berkeberatan untuk menyelesaikan pelurusan permasalahan.
Mau tidak mau, pertanyaan kembali harus kembali diarahkan kepada maksud politis di balik berlamban-lambannya pemerintah dalam hal ini khususnya melalui keberatan Departemen Agama dalam menuntaskan permasalahan yang mengganjal ini meskipun sudah ada ketentuan dalam UU no. 1/PNPS/1965 maupun nantinya Keppres Nomor 6 Tahun 2000 yang membatalkan Inpres Nomor 14 Tahun 1967.
Inpres Nomor 14 Tahun 1967 termaksud mula-mula seakan-akan tidak ditujukan kepada Agama Khonghucu, malahan pada saat itu MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) sebagai lembaga tertinggi pengayom umat Khonghucu, masih diikutsertakan dalam kegiatan Departemen Agama, meskipun ditempatkan secara keliru dalam Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha. Selain itu kegiatan umat Khonghucu pun kerap dihadiri oleh pejabat negara bahkan Presiden dan Ketua MPR/DPR saat itu, termasuk aparat pemerintahan lainnya dari pusat hingga daerah. Perayaan-perayaan, kongres, dan diskusi-diskusi terbatas (karena pengaruh Inpres) tetap dapat diadakan dengan “ijin” dan “restu” dari para pejabat yang menghadirinya, meskipun tentu saja tidak banyak diekspos media karena kondisi politik yang ada.
Cuaca suram semakin dirasakan pada tahun 1970-an ketika terjadi pemaksaan pelaksanaan program asimilasi sebagaimana diuraikan dalam bagian lain tulisan ini, yang secara sosiologis jelas keliru namun terus dijalankan juga karena kepentingan penguasa dan elit-elit yang ada. Pada saat itu dimunculkan isu bahwa agama Khonghucu selalu menjadi penghambat program tersebut. Selain itu diisukan pula bahwa Agama Khonghucu tidak mengajarkan surga-neraka, tidak mengenal kitab wahyu, tidak punya nabi, dan sebagainya, sehingga hanya bersifat aliran filsafat, dan oleh karena itu karenanya tidak dapat disebut sebagai agama. Pendek kata, segala sesuatu yang terkait dengan Tionghoa dan Khonghucu adalah sesuatu yang dianggap tidak beradab dan karena itu harus dibuang jauh-jauh.
Terkait dengan maksud politik penguasa itulah, maka pemerintah kemudian mendiskriminasi umat Khonghucu, menghapuskan mata pelajaran agama Khonghucu dari kurikulum sekolah pada tahun 1975. Imbasnya adalah bahwa murid-murid sekolah kemudian dipaksa untuk mengikuti pelajaran salah satu agama dari lima agama yang disebutkan dalam kurikulum (mengingat mata pelajaran agama adalah wajib, sehingga mau tidak mau harus diikuti dengan menginduk kepada buku ajaran yang ada), yang selanjutnya berbuntut juga kepada keharusan untuk mengikuti ritual yang bukan keyakinannya kalau tidak ingin disebut tidak beragama, dan kemudian secara sistematis digiring dalam pengingkaran terhadap keberadaan Khonghucu (dan chinese religion pada umumnya) sebagai agama!
Sejak kecil anak-anak umat Khonghucu didogmakan dengan pengingkaran dan apabila orang tua anak tersebut tetap mempertahankan agamanya, dibukakan friksi mengenai keagamaan yang menimbulkan kerenggangan dan kesalahpahaman seakan-akan orang tua bersangkutan “harus disadarkan” dan harus dibuat memilih agama baru!
Kalau pilihan agama dalam mata pelajaran tersebut tidak diikuti, mau tidak mau anak tadi tidak dapat meneruskan sekolahnya. Bagaikan buah simalakama. Terpaksalah orang tua ini mengalah demi anak, apalagi semangat untuk belajar yang diajarkan dalam agama Khonghucu menjadikan pilihan prioritas, lebih baik pindah agama daripada tidak dapat bersekolah. Terciptalah sebuah generasi yang tumbuh dalam krisis kepercayaan.
Lebih jauh lagi, kebijakan diskriminatif yang konspiratif-terpadu itu dijalankan dengan berbagai turunan derivatifnya seperti penghilangan kolom agama Khonghucu dalam Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk, lalu penggiringan perkawinan umat Khonghucu kepada agama lain karena Kantor Catatan Sipil menolak adanya perkawinan menurut agama Khonghucu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah bentuk intervensi negara dan pemaksaan pemurtadan oleh negara kepada umat Khonghucu yang berada dalam kondisi lemah secara hukum dan politik akibat peristiwa G 30 S yang tidak ada sangkut pautnya dengan mereka! Patut diketahui, bahwa ketentuan termaksud bukanlah sesuatu yang bersifat fakultatif, karena disertai dengan sanksi sosial, hukum dan bahkan intimidasi sistematis yang tidak dapat dielakkan akibat trauma yang ada. Tidak ada pilihan!
Dalam kolom KTP, tidak ada hak untuk memintakan pengisian kolom agama Khonghucu. Kalau pun petugas berkehendak untuk lebih halus menjawab keberatan umat Khonghucu, mereka akan mengelaknya dengan mengatakan bahwa mereka hanya mengikuti ketentuan dari pusat, tanpa bisa memberi tahu yang pusat itu siapa dan ketentuan hukum mana yang tegas-tegas menyebutkan larangan pencantuman agama Khonghucu tersebut. Yang lebih kasar, akan secara terang-terangan mengatakan bahwa Khonghucu bukan agama, malahan bisa-bisa sampai menyuruh umat Khonghucu untuk mencari agama yang baik dari lima agama “yang ada”. Rasanya hal tersebut juga dikenakan kepada penganut agama di luar yang lima dan para penghayat Kepercayaan.
Kalau pun umat Khonghucu tersebut hendak mencari jalan keluar yang lebih elegan, karena tidak bisa meminta dicantumkan agama Khonghucu- nya, dia seharusnya bisa minta supaya kolom agamanya dikosongkan saja. Namun alih-alih berbuat demikian, dalam iklim kecurigaan yang sangat tinggi, bisa-bisa dirinya dikategorikan tidak ber-Tuhan, yang urusannya bisa lebih berbahaya lagi, apalagi di daerah di mana kesadaran intelektualnya masih rendah, dan di mana sentimen keagamaannya bisa disulut dengan mudah.
Selain itu, ternyata kolom agama dalam KTP tersebut bersifat wajib memilih di antara lima pilihan yang ada. Jadi dengan cara paksa yang “agak halus”, umat Khonghucu pun dihadapkan kepada pilihan yang sangat sulit. Tidak punya KTP akan sulit berurusan dengan aparat (karena KTP menjadi komoditi yang wajib dimiliki dalam berbagai urusan, mulai dari mengurus akte, mengurus surat dagang, urusan tilang sampai urusan keuangan dengan lembaga bank atau menyambung telepon), sementara punya KTP pun (karena ketentuan agama yang memaksa untuk memilih tadi) berarti mengingkari keyakinannya.
Jangan heran apabila untuk kemudahan administrasi, seorang umat Khonghucu bisa memiliki isian agama yang berbeda-beda, kadang-kadang sesuai dengan kemauan sang pengetiknya karena umat Khonghucu tadi tidak bisa memilih karena bertentangan dengan keyakinannya, sementara petugas tadi tidak mau buang-buang waktu untuk menunggu. Celakanya, isian kolom agama dalam KTP itu juga yang dipakai saat melangsungkan perkawinan. Jadi represi tersebut sangat sistematis!
Kondisi semacam itu rupanya telah membekas dengan sangat kuat dalam darah daging instansi pemerintahan yang rupanya masih enggan untuk memperbaiki kinerjanya yang dari dulu sangat birokratis dan penuh nuansa diskriminatif (entah dengan alasan yang bermacam-macam, mulai dari indikasi politik, uang, kenyamanan, dan kombinasi yang sangat banyak kemungkinannya). Keadaan mana bertahan selama lebih dari 30 tahun lamanya, waktu yang cukup panjang untuk menghilangkan satu generasi umat Khonghucu dan menimbulkan keterasingan generasi barunya terhadap keyakinan yang dianut oleh generasi orang tua atau kakek moyang mereka, yang dalam keadaan normal akan lestari sebagai bagian pewarisan budaya dan keagamaan keluarga.
Umat Khonghucu dalam hal ini adalah korban dari penyiksaan sistematis yang dilakukan oleh negara. Bayangkan saja, untuk mengaku sebagai umat Khonghucu saja dituntut keberanian tersendiri, apalagi di daerah-daerah di mana kental tindakan represi akibat kesalahan memahami esensi agama yang terus dipompakan selama 40 tahun terakhir ini. Bayangkan juga, bagaimana hak-hak umat Khonghucu tidak juga dapat diperoleh dan selalu disamarkan seolah-olah menjadi umat Khonghucu adalah tindakan subversif, di mana kelenteng mereka dulunya telah diubah, di mana mereka juga tidak dapat mendirikan Kelenteng atau Lithang, di mana mereka tidak dapat mengadakan ritual terbuka tanpa mengundang syak wasangka dan mungkin intimidasi lebih lanjut dari mereka yang mengaku aparat.
Generasi baru yang lahir dalam masa-masa tersebut dibentuk dengan tekanan sosial yang sedemikian kuat untuk “dialihkan” kepada agama yang difasilitasi negara, dan dipaksa pula untuk “menghujat” agama leluhur-moyangnya dengan dalih bahwa Khonghucu bukan agama, memiliki bahaya laten dan berbagai isu negatif lainnya yang tidak bisa langsung dijawab, meskipun jawabannya mudah, yaitu hanya karena kebebasan untuk bersuara tidak ada.
Pembela keberadaan agama Khonghucu jangan-jangan akan disekap karena dianggap melawan penguasa. Belum lagi melawan tekanan masyarakat yang digiring untuk diskriminatif dan memandang sebelah mata kepada penganut agama Khonghucu! Dengan aparat yang selalu membawakan titipan pesan bahwa Khonghucu tidak diakui negara, seakan-akan merupakan sesuatu yang menjadi sampah masyarakat. Dan itu terjadi di negara Indonesia yang katanya merupakan negara modern!
Untungnya dalam perkembangan terakhirnya, Inpres no. 14 Tahun 1967 tersebut sudah dicabut seiring dengan terbitnya Keputusan Presiden nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, yang dikeluarkan pada tanggal 17 Januari 2000. Keputusan Presiden mana juga sejalan dengan Instruksi Presiden nomor 26 tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-pribumi dalam Semua Prumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintah. Keppres nomor 6 Tahun 2000 tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/805/Sj yang dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 11 Maret 2000 dengan kepala perihal: Pencabutan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri 477/74054 tanggal 18 Nopember 1978 perihal Petunjuk Pengisian Kolom “Agama” pada Lembaran Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 221a Tahun 1975, sehingga praktis memungkinkan pengisian agama Khonghucu di
dalam kolom termaksud.
Seharusnya, berdasarkan aturan-aturan disiplin hukum yang baku, tidak ada lagi permasalahan yang ditimbulkan dalam administrasi negara, dalam hal ini khususnya mengenai pencantuman agama Khonghucu di dalam Kartu Tanda Penduduk. Namun kenyataan di lapangan berbicara lain. Hambatan demi hambatan terus terjadi, baik itu dengan alasan teknis operasional “petunjuk atasan” yang selalu dikemukakan oleh aparat rendahan, atau malahan arogansi pemerintahan daerah dalam menerjemahkan otonomi daerah yang berbuntut kepada tiadanya kesepakatan yang sifatnya nasional mengenai persoalan kolom agama tersebut. Dalam bahasa sehari-hari, Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tersebut dianggap bukan pegangan apalagi instruksi oleh aparat daerah dan bahkan oleh Catatan Sipil yang dibina oleh Departemen Dalam Negeri, malah bisa jadi level-nya dianggap berada di bawah peraturan daerah yang justru berupaya melanggengkan praktek diskriminasi yang selama itu berjalan karena menguntungkan pemerintah daerah setempat.
Jangankan untuk yang sifatnya administratif seperti ini. Bahkanpun putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap saja masih sengaja diingkari oleh aparat yang ada dengan berbagai dalihnya yang jelas hanya dibuat-buat. Dapat diterka bagaimana Departemen Agama yang melalui surat Balitbangnya Nomor BD/Set.BD/HM.01/601/2003 tanggal 13 Mei 2003 yang ditujukan kepada Komisi VI DPR, ternyata tetap saja ngotot menyebutkan bahwa Khonghucu (dan Kaharingan yang disebutkan dalam surat itu) bukan agama. Lucunya surat Kepala Balitbang pada tahun 2003 tersebut bertentangan sendiri dengan saat
Kepala Balitbang dipegang oleh orang lain dengan suratnya yang bernomor P/BA.02/548/1999 yang menegaskan pengakuan Khonghucu sebagai agama yang nyata keberadaannya.
Keadaan seperti ini jelas berseberangan dengan isi Keppres 6/2000 yang disebutkan di muka, dan dapat diklasifikasikan sebagai pengingkaran dan diskriminasi hukum terhadap kalangan Tionghoa yang terus dipraktekkan negara karena sampai saat ini tidak juga dituntaskan. Masih setengah hati. Belum lagi doktrin pembangunanisme juga terus dipakai sebagai alasan untuk menggusur situs-situs budaya atau umum yag menjadi warisan budaya Tionghoa dan bangsa Indonesia.
Sebutlah misalnya upaya untuk menggusur pemakaman Tionghoa yang sudah berusia tua di Cirebon dan Tangerang. Belum lagi praktek pemungutan retribusi dan lain-lain pada saat kesempatan ziarah kubur yang berbuntut kepada gejala premanisme untuk meminta uang secara paksa kepada para peziarah tersebut yang menyebabkan adanya keenganan untuk menjalankan ritual penting tersebut (apalagi saat di mana ada kebimbangan yang diprovokasi sejumlah pemuka agama di mana kalangan Tionghoa tersebut mendekatkan diri selama ini, yang memang berseberangan yang selalu menuturkan bahwa ziarah kubur tersebut sesat dan sebagainya propaganda negatif).
Akhirnya semua menjadi campur aduk. Tidak heran apabila Jayadi Damanik menyebutkan bahwa tindakan pengabaian seperti dilakukan pemerintah saat ini pun sama kualitasnya dengan apa yang dibuat oleh pemerintahan orde lama dan orde baru dulu, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan dengan cara baik secara aktif atau pengabaian untuk tujuan melenyapkan kebudayaan masyarakat Tionghoa di Indonesia, dan tidak lain merupakan gejala ramifikasi dari genosida, tindakan sengaja untuk melenyapkan suatu kelompok.
Kapan lagi kita mendengar keindahan tata kebudayaan majemuk nasional Indonesia yang dibawakan kalangan Tionghoa Indonesia dalam nama-nama seperti Tjio Telly Nio, Oey Picis Nio, Tan Gobang, Liem Pengki, Yo Item, Be Burik dan sebagainya dengan pola akulturasi yang sudah berabad-abad berjalan sebelum ditindas oleh pemerintahan Indonesia merdeka yang harusnya justru mengayomi dan melayani warganya?
Apakah Cokek juga akan dianggap sebagai budaya sempalan? Apakah Lenong juga akan hilang karena memiliki unsur Tionghoa? Bagaimana juga dengan Tanjidor? Akhirnya semua jadi rusak apabila aspek moral utama yang dibawakan dalam misi budaya, adat istiadat dan keagamaan terus diombang-ambingkan seperti sekarang ini. Akhirnya temuan dalam tulisan ini menjadi jelas. Bahwa diskriminasi hukum bukan hanya sekedar diskriminasi di atas kertas, namun diskriminasi yang sistematis atas dasar pemahaman yuridis yang keliru. Sehingga oleh karena itu, penghapusan diskriminasi hukum pun bukan hanya bisa dilakukan di atas kertas dengan bunyi ketentuan yang kadang-kadang sedemikian indahnya namun mengambang sebagaimana kelihaian seorang pemain bahasa yang meniti di antara buih kata-
kata. Yang diperlukan dalam penghapusan diskriminasi hukum tersebut adalah penatalaksaan isi tulisan menjadi kebijakan dan pelaksanaan yang berlaku konkrit.
Apa artinya kebebasan menjalankan ibadah apabila akta perkawinan masih dihambat. Apa artinya kebebasan menjalankan agama apabila kurikulum keagamaan Tionghoa tidak diadakan dan tidak dibolehkan untuk memilih. Apa pula artinya kebebasan menjalankan adat istiadat apabila jaminan keamanan tidak disediakan pada saat ziarah kubur dan menghantarkan penghormatannya di sana. Bahasa Tionghoa sudah ada, kesenian Tionghoa sudah marak, tapi itu barulah pelengkap. Sementara bagian intinya yaitu keagamaan, tata peradatan, sistem pengetahuan masih dikekang dan dihambat. Jadinya yang dilakukan baru membentuk kulit, tapi tidak ada isinya.
Pelajaran yang Sementara Ini Dapat Diambil
1. Pemerintah belum serius untuk menghilangkan sepenuhnya diskriminasi hukum yang mengena kepada kalangan Tionghoa.
2. Masyarakat masih belum mendapatkan penyadaran mengenai hak- hak budaya kalangan Tionghoa dan sebagian masih memiliki persepsi yang keliru sebagai akibat politik curiga yang berpuluh tahun dipertontonkan kepada mereka.
3. Semangat yang hendaknya dikembangkan adalah sebagaimana yang diterakan dalam Lambang Negara Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika
di mana unsur kebudayaan Tionghoa adalah salah satu unsur budaya nusantara juga.
4. Merupakan hak kalangan Tionghoa Indonesia untuk menjalankan nilai-nilai Budayanya, Adat-istiadat dan Agamanya sendiri sambil menegaskan aspek Kewarganegaraan Indonesianya. Tidak perlu overacting, karena semuanya dapat duduk sama untuk memberikan sinerginya bagi kemajuan Indonesia.
5. Permasalahan yang terjadi lebih banyak diakibatkan propaganda elite, karena kenyataannya di masyarakat sendiri persoalan perbdaan sudah menjadi kazanah kekayaan hidup. Untuk itu yang perlu dikuatkan justru adalah keseriusan sikap pemerintah untuk melawan diskriminasi di tingkat pembuat kebijakan atau sarana
pertemuan umum yang dimanfaatkan hanya untuk menghasut dan mengumbar kebencian.
Terima kasih atas masukan anda….
hormat saya
Oleh: Suma Mihardja, Tim Analisis dan Evaluasi Hukum pada BPHN
***
Budaya Tionghoa : Mailing-List Budaya Tionghoa
Nomer Arsip : 7232
Diposkan oleh : Suma Mihardja , 29 September 2004
Kategori : Tionghoa
Partisipan : –
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa
Pihak yang ingin mempublikasi ulang tulisan dalam web ini diharapkan untuk menyertakan link aktif : www.budaya-tionghoa.net , NAMA PENULIS dan LINK aktif yang berada didalam tulisan atau membaca lebih jauh tentang syarat dan kondisi . Mempublikasi ulang tanpa menyertakan tautan internal didalamnya termasuk tautan luar , tautan dalam , catatan kaki , referensi , video , picture , sama dengan mengurangi konten dalam tulisan ini.