Budaya-Tionghoa.Net | Dalam jalannya abad ke tujuhbelas di Eropa, terutama dari missi jezuïeten [admin : jesuit] – perkenalan tentang Tiongkok lebih terkenal dengan adanya publikasi yang besar-besaran, lalu juga dengan penyalinan buku-buku klassik Tiongkok. Tingginya nivo (level) dan tuanya civilisasi membuat impresi yang luar biasa, terutama karena telah dicapainya oleh orang-orang Tionghoa begitu tingginya civilisasi, politik dan etik tanpa mengenal christen. Diskusi mengenai pertanyaan sampai bagaimana kepercayaan tentang kebenaran dapat di temukan melalaui rede (kemampuan pikir manusia), dan ini hanya dapat distimulir melalui ditemukan di Eropa filosofi Tiongkok.
|
Dalam periode antara 1650 dan 1750 banyak pemikir-pemikir Eropa sibuk memelajari Tiongkok dan pikiran orang Tionghoa dan dipublisir, diantara mereka ialah terdapat nama-nama yang besar dari periode aufklärung: Leibniz, Malebranche, Wolf, Voltaire dan lain-lainnya. Episode tentang sejarah filosofi Eropa akan dibicarakan dalam kuliah ini dan beberapa teks-teks akan dibacakan, dengan sebagai kern (pusat) tulisan filosofi dari Leibniz tentang filosofi Tiongkok.
Bolehkah saya mengatakan disini bahwa integrasi dapat dipertahankan identitas sesuatu etnis, minoritas dan ini menyebabkan timbulnya multikulturalisme. Tentang setuju integarsi atau asimilasi saya tidak perlu memperdebatkan ,karena saya beranggapan setiap orang dapat mempertahankan ide-idenya sendiri. Dan saya beranggapan bahwa setiap orang dapat dengan bebas menurut kamaunnya sendiri mengintegrasikan atau mengasimilisasikan dirinya kedalam masyarakat dimana mereka tetap tinggal. Tetapi menurut saya masyarakat multikulturil sekarang ini di negara-negara Barat adalah suatu kenyataan.
Dari studiegids universitas Amsterdam ini menunjukkan bahwa filosof-filosof dari verlichting, enlightenment memuji filosof-filosof Tiongkok, dan menamakan mereka sebagai filosof, maka saya yang bukan seorang filosof, hanya hobyis mau tidak mau juga menamakan mereka sebagai filosof.
Dalam hal filosofi saya hanya sebagai transmittor saja, karenanya juga saya mengakui banyak kekurangan. Saya pernah membaca di buku filosof Jerman, bahwa Kant mengatakan persis apa yang dikatakan oleh Confusius baik dalam kata-katanya, meskipun Beliau tidak mengopi begitu saja dari Confusius; sayang saya tidak menemukan lagi buku itu. Untuk menyesuaikan tulisan anda baiklah saya mengambil Kant sebagai referensi (lihat bawah): How Chinese was Kant? Mengapa sampai ditanyakan demikian ini karena beliau sangat memuji filosof filosof Tiongkok dan memakai teori-teorinya.
Ada yang berkata bahwa di Eropa tiada ada kekerasan dalam sejarah agama, tentang ini anda dapat baca buku-buku sejarah, katakanlah peperangan Belanda dengan Spanyol yang dikatakan “Tachtig Jarige Oorlog”, Perang selama Delapan Puluh Tahun” karena Spanyol adalah negara katholik dan kuat pada masa itu, Belanda sebagai negara protestan. Bukan saja di Belanda tetapi juga di Eropa, bahkan sekarang masih dapat kita lihat di Irlandia dan eks-Jugoslavia.
Mungkin anda juga tahu bahwa berapa banyak orang-orang di Eropa jaman dahulu yang dibakar hidup-hidupan karena meragukan pada Christus dan dianggap sebagai Heks (ahli nujum). Bagaimana pengaruh negatif uskup-uskup terhadap raja, bacalah sejarah kerajaan Inggeris tentang ini etc. etc. dan terutama bagaimana kekerasan Perang Sabil. Kenapa sampai Napoleon memakai mahkotanya sendiri bukan dalukan oleh Paus atau wakilnya!
Kita harus jelas dan mengetahui bahwa kesalahan yang kita lihat ini bukan kesalahan Tuhan, tetapi dibuat oleh manusia. Karena kesalahan yang dibuat oleh manusia ini, maka di Eropa sudah banyak direformasi teori-teori yang salah untuk menyesuaikan dengan perubahan masyarakat.
Saya hentikan sampai disini dahulu dan dibawah ini ada referensi bagaimana filosof-filosof Eropa pada jaman verlichting memandang tinggi pemikir-pemikir Tionghoa ini yang saya rasa tidak impoten dan kosong. Saya pernah membaca adanya gerakan dibawah tanah melawan Hitler dengan nama “Bunga Mawar Putih” menurut ajaran Taoisme. Referensi dibawah ini adalah tulisan-tulisan filosof-filosof Barat dan bagi saya cukup menerangkan pandangan pemikir-pemikir Barat pada jaman verlichting.
Salahkah kalau saya katakan dari tulisan-tulisan filosof-filosof kaliber besar pada jaman Verlichting :”bahwa sedikit banyak, kalau kita tidak mau mengatakan banyaknya pengaruh dari crème de la crème dari Chinese filosofi terhadap filosofi jaman Verlichting?
REFERENSI :
1. Verlichting en de Chinese filosofie Universiteit van Amsterdam UEVA studiegids .
In de loop van de zeventiende eeuw werd in Europa-met name door de missie van de jezuïeten-meer bekend over China en vanaf het midden van deze eeuw verschenen de eerste omvangrijke publicaties over China, tegen het einde van de eeuw gevolgd door de eerste vertalingen van Chinese klassieken. Het hoge niveau en de grote ouderdom van de Chinese beschaving maakte een enorme indruk, vooral omdat de Chinezen dit niveau van beschaving en ethisch bezielde politiek hadden weten te bereiken zonder de christelijke openbaring te kennen. Discussies over de vraag in hoeverre de geloofswaarheden konden worden ontdekt door het licht van de rede alleen werden door de ontdekking van de Chinese filosofie gestimuleerd. In de periode tussen 1650 en 1750 hebben tal van Europese denkers zich met China en het Chinese denken bezig gehouden en erover gepubliceerd, onder hen de grote namen van de Verlichting: Leibniz, Malebranche, Wolff, Voltaire e.a. Deze vergeten episode uit de geschiedenis van de Europese filosofie zal in dit college worden opgerakeld en een aantal van de betreffende teksten zal worden gelezen, met als kern het traktaatje van Leibniz over de Chinese filosofie.
2. Maja Milèinski : Leibniz and the Chinese philosophy
……. discusses Leibniz’s approach to Chinese philosophy, which was built on his knowledge of Yijing and neo-Confucian philosophy. His main sources were the works of the Figurists, early eighteen century Jesuits, that held the conviction that there is a common background to all humankind. Leibniz’s theory of monads is very close to Chinese correlativistic philosophy. In addition to this, in his analysis of the Yijing trigrams, Leibniz also discovered confirmation for his binary system. The fact that 4500 years ago the Chinese possessed a mathematical system, as well as engaged in a discipline of rationality and logic, brought Leibniz to the thesis that the ancient Chinese practised a sort of natural religion, which was understood by Leibniz’s student Christian Wolff as atheism. With Leibniz and Wolff, the brief encounter of European philosophers with Chinese philosophical works came to a close, and the approach it opened up to the non-European philosophical traditions in the history of philosophy was suspended for two centuries. In Europe, philosophy reestablished itself as a »Western philosophical tradition.
3 How “Chinese” was Kant ? Steve Palmquist
Kant claimed his paternal grandfather had immigrated from Scotland, but there is no parallel evidence to suggest that any of his ancestors were Chinese. Moreover, he could not have had more than a minimal, second-hand knowledge of China, since he never travelled more than about thirty miles from his birthplace. Aside from reading, his only contact with anything Chinese would have been through the relatively large minority of Oriental merchants who lived in Konigsberg. This did not stop him from writing about Chinese philosophy and culture on several occasions. ………… In this sense, the most influential of all Chinese philosophers, Confucius, actually shares more with Kant than with the average member of most Chinese cultures. For Confucius had a surprisingly “Kantian” attitude toward private beliefs in ghosts and spirits. He never categorically denied their possibility; rather, he consistently emphasized their moral emptiness. In the Analects, for example, when Chi Lu asked about serving the spirits of the dead, Confucius responded: “‘While you are not able to serve men, how can you serve their spirits?’ Chi Lu added, ‘I venture to ask about death.’ He was answered, ‘While you do not know life, how can you know about death?'” Chinese Kant-scholarship has long recognized a basic similarity between Kant and the major school of Chinese philosophy, neo-Confucianism.
Dr. Han Hwie-Song
Breda 18-11- 2004 (Belanda)
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing List Budaya Tionghua 15926