Budaya-Tionghoa.Net | Ada tiga kota yang bertetangga dekat: kota Tengah, kota Timur dan kota Barat. Penduduk masing2 kota ini memiliki kebiasaan makan yang berbeda; Penduduk kota Tengah makanan utama adalah bakmi, makan apa saja pasti dilahap bersama bakmi. Sedangkan kota Timur makanan utama adalah nasi, segala hidangan harus dimakan bersama nasi. lain dengan kota Barat, semua sajian makanan mereka pasti dibarengi dengan kentang.
Artikel Terkait :
{module [201]}
|
|
|
Kebiasaan makan ini tidak berhenti dengan menunya, tapi juga cara makannya. orang kota Tengah terbiasa makan dengan sumpit, orang kota Timur dengan sendok garpu, orang kota Barat dengan pisau garpu.
Karena kebiasaan makan yang berbeda ini, restaurant yang ada di ketiga kota ini otomatis juga berbeda gaya dan isinya, masing2 bertahan dengan ciri masing2.
Suatu hari, seorang pengusaha dari kota Timur datang membuka restaurant cabangnya di kota Tengah, tak lama berselang, pengusaha kota Barat juga buka restaurant cabangnya di kota Tengah. ke dua restaurant ini adalah restaurant kelas satu di kota masing2, mereka mencoba mempromosikan budaya makan dari kotanya penduduk kota Tengah, yang terkenal kolot.
Setelah berjalan beberapa bulan, ternyata usaha restaurant Barat mengalami sukses besar, tamunya ber-duyung2, pelanggannya tidak saja penduduk yang berasal dari kota Barat, juga penduduk asli kota Tengah. sedangkan restaurant Timur sepi pengunjung, pelanggannya paling penduduk yang memang berasal dari kota Timur, sedikit sekali penduduk asli kota Tengah yang datang.
Pimpinan restaurant Timur pun bingung, dia mencoba mencari tahu sebabnya, dia lalu bertanya pada kenalannya, penduduk asli kota Tengah :” Mengapa kalian begitu mudah menerima hidangan restaurant Barat? dan segan mencoba masakan kami? apakah memang makanan kami lebih buruk? “
” Oh, untuk itu, seluruh team management anda harus mencoba melakukan introspeksi, menurut saya, restaurant anda harus mengoreksi cara pelayanan yang sangat tidak profesional dan buruk. Masak pelayan anda begitu sering bertengkar dengan para tamu.”
Mendengar masukan ini, Pimpinan restaurant bukannya berterima kasih, malah naik pitam: ” Kalian penduduk kota Tengahlah yang harus introspeksi, kalian memang orang yang tak memliki selera makanan yang baik, dan kalian juga tidak tahu cara makan yang bersih dan sehat! Pelayan kita kan coba membetulkan, tapi kalian tetap ngeyel, kukuh dengan kebiasaannya! kalianlah yang harus berubah. bukan kami”
Mendengar kemarahan ini, sang kenalan tak melanjutkan sarannya dan pergi. Setahun kemudian, restaurant kota timur tutup karena bangkrut, sedangkan pertaurant kota Barat makin berjaya dengan membuka cabang di berbagai sudut kota.
Seorang wartawan mencoba menggali apa sebetulnya alasan utama sukses dan gagalnya kedua restaurant ini. Setelah melakukan berbagai survey lapangan dan wawancara dengan penduduk setempat, dia menemukan sebuah gambaran menarik:
Pada awalnya, penduduk kota Tengah sama2 ragu terhadap kedua restaurant asing itu, tapi mereka tak menolak untuk mencoba. Saat memasuki restaurant Timur, mereka tak menemukan ada bakmi dalam daftar, merekapun minta khusus pada pelayan, dan sang pelayan menjawab :” Menurut kami, jenis makanan yang ada di menu kami adalah makanan yang paling enak, jauh lebih enak dari bakmi kalian, tinggalkanlah kebiasaan makan kalian yang buruk itu. “
Semua tamu mulai tidak suka mendengar perkataan ini, tapi karena sudah terlanjur pesan, ya coba bertahan. saat pesanan muncul, mulailah mereka makan, dan sang tamu memanggil pelayan :” mana sumpitnya? saya minta empat pasang “
Sang pelayan menjawab dengan arogan :” Tuan, di sini tidak disediakan sumpit, menurut pandangan kami, cara makan yang paling bersih dan sehat adalah dengan sendok dan garpu, segera tanggalkanlah sumpit kalian yang bodoh itu”
Mendengar jawaban ini, kontan semua tamu berhenti mencicipi makanan, segera berhamburan pergi meninggalkan restaurant. Kejadian ini terus berulang, akhirnya tidak ada penduduk kota Tengah yang mau mencoba masakan di restaurant Timur.
Berlainan dengan Restaurant Barat, meski jenis masakannya berbeda dengan masakan kota Tengah, mereka tetap menyediakan bakmi di menu mereka, penduduk kotapun memakan steik tidak dengan kentang, tapi dengan bakmi. dan di restaurant ini juga disediakan sumpit! Bahkan, segala macam bumbu penyedap khas kota Tengah juga mereka sediakan di meja. Karuan saja semua pengunjung merasa familiar, merekapun merasa senang memasuki restaurant ini, inilah kunci sukses mereka.
Dan setelah beberapa tahun, berkat semakin meluasnya jaringan restaurant Barat, penduduk kota ini juga mulai terbiasa makan kentang, tidak berkukuh dengan bakmi saja, bahkan anak2 remaja mereka paling cepat menyesuaikan diri , mereka sudah pintar menggunakan pisau dan garpu.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing List Budaya Tionghua
Budaya-Tionghoa.Net | Kalau secara khusus menyoroti perlawanan terhadap agresi Jepang di Indonesia dan yang dimaksud kerjasama dengan sekutu ketika itu agak sulit juga. Karena kenyataan yang dihadapi, pihak kolonial Belanda dengan pasukannya tidak melakukan perlawanan, malah yang terjadi tentara Belanda menggedor toko-toko Tionghoa untuk mengangkut makanan kalengan dan minuman, berbondong-bondong lari-ngiprit dari serangan Jepang. Praktis tidak ada yang namanya perlawanan senjata dari pihak Belanda.
Artikel Terkait :
{module [201]}
|
|
|
Lalu, pihak pejuang kemerdekaan rakyat Indonesia juga terbagi dalam dua kubu, sekalipun tetap ada kerjasama diantara dua kubu tersebut. Kubu pertama yang dipengaruhi pikiran Dr. Tjipto Mangunkusumo, yang mencanangkan bahaya fasis Jepang dan tetap menekankan pekerjaan membangkitkan gerakan rakyat untuk kemerdekaan Indonesia; kubu kedua, diwakili oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta, yang berkeinginan bekerjasama dan menggunakan Jepang untuk mencapai kemerdekaan, sementara orang menyebutnya sebagai kolaborasi pada Jepang. Masalah yang dihadapi ketika itu adalah, memilih membantu Jepang masuk ke Indonesia atau memilih membantu kolonial Belanda melawan serangan agresi Jepang. Tidak ada masalah tergabung dan kerjasama dengan pasukan sekutu.
Sedang etnis Tionghoa, sebelum Jepang masuk ke Indonesia, baik totok maupun peranakannya yang memang apolitik juga dihadapkan masalah memberikan sokongan pada Tiongkok yang diagresi Jepang atau tetap diam menonton saja. Cukup menarik kalau kita perhatikan, setelah penyerbuan total Jepang dengan peristiwa Lukuochiao, 7 Juli 1937, etnis Tionghoa mendirikan Tjin Tjay Hwee, satu organisasi pengumpulan dana bantuan pada Tiongkok atas serbuan Jepang. Dipimpin oleh Oei Chiao Liong dan Liem Hwei Giap yang berpendidikan Belanda dan tidak bisa bahasa Tionghoa. Sebagai pe-busnis yang sukses, mereka berdua dipilih untuk memimpin Tjin Tjay Hwee tentu untuk mendorong memberikan teladan dalam sumbangan dan tidak mengkorup hasil sumbangan. Gerakan amal untuk menyokong perang Tiongkok-Jepang, ternyata tidak membuat puas “arek Suroboyo”, sekalipun sudah mengirim ambulance pertama dibawah pimpinan Dr. Go In Tjhan, tanpa menunggu komando pimpinan, ada juga seorang pemuda berangkat atas biaya sendiri ke Tiongkok menjadi sukarelawan, yaitu Siauw Giok Bie.
Setelah Jepang menyerbu masuk Indonesia diawal tahun 1942, menghadapi keganasan fasis Jepang yang main tangkap, main pukul dan main bunuh, tokoh-tokoh Tjin Tjay Hwee yang jelas anti-Jepang itu ditangkap dalam penjara Cimahi. Dan sebagai gantinya, Jepang mendirikan Kakyo Shokai (yang berarti Hua Chiao Tsung Hui = Perkumpulan Perantau Tionghoa). Terjadi satu keanehan, karena Jepang memperlakukan Tionghoa tetap sebagai Tionghoa, bagi peranakan Tionghoa yang berpendidikan Belanda dan bahkan sebelumnya ke-Belanda-Belanda-an, jadi bisa bersatu dengan Tionghoa yang totok. Yang berpendidikan Belanda jadi takut dicurigai pro-Belanda dan yang bisa bahasa Tionghoa menjadi “laku”, karena mereka diperlukan untuk menuliskan nama-nama Tionghoa. Dan, … semua anak-anak Tionghoa masuk dalam sekolah Tionghoa yang diasuh Kakyo Sholai.
Jadi, mungkin bisa juga dikatakan pada-pokoknya perlawanan yang dilakuakan etnis Tionghoa, bukan dalam bentuk perjuangan bersenjata melawan Jepang. Bahkan setelah terbentuk PETA (Pembela Tanah Air) dipertengahan 1944, yang bersemangat nasionalisme, patriotisme dan siap berkorban untuk mencapai Indonesia Merdeka itu, peranan etnis Tionghoa tetap lebih banyak disalurkan ke bagian logistik kegaris depan dan pengobatan pada penderita luka digaris-depan. Sampai pada Jepang menyerah, Kakyo Shokai berubah menjadi Hua Chiao Tse An Hui (Badan Keamanan Perantau Tionghoa). Disamping itu, kemudian juga muncul Angkatan Muda Tionghoa atas persetujuan dan bekerjasama dengan BKR (Badan Keamanan Rakyat) kelanjutan dari PETA.
Sementara etnis Tionghoa ada juga yang menyusun Organisasi bawah tanah, Organisasi Rahasia Chungking atau nama lengkapnya Chung Yang Hai Wei Ting Chin yang bermarkas di kota Malang di bawah pimpinan Yap Bo Chin. Anggota organisasi ini yang tersebar di seluruh pulau Jawa dan Madura berjumlah 8000 orang, termasuk 400 orang Indonesia. Organisasi rahasia ini juga mempunyai dua pemancar radio yang digunakan untuk berhubungan dengan pemerintah Tiongkok di Chungking. Banyak aksi sabotase yang berhasil dilakukan organisasi ini, antara lain pembongkaran rel kereta api dan pemutusan jaringan telpon di lapangan terbang serta informasi-informasi lainnya yang berhasil disampaikan kepada pemerintah Tiongkok di Chungking.
Organisasi ini akhirnya berhasil dibongkar pihak intelijen Jepang dan kedua pemancar radionya berhasil disita, tetapi pemimpinnya Yap Bo Chin berhasil meloloskan diri. Di samping organisasi Chungking yang banyak menggunakan tenaga-tenaga orang-orang Tionghoa totok, masih banyak lagi gerakan-gerakan bawah tanah yang dilakukan orang-orang peranakan Tionghoa untuk menentang Jepang, terutama yang dilakukan bersama orang-orang Belanda pada awal masa pendudukan Jepang.
Di Surabaya ada gerakan bawah tanah yang dilakukan kelompok Dr.Colijn dan Oei Tjong Ie. Di Malang ada kelompok Tjoa Boen Tek yang bekerja sama dengan organisasi Chungking. Di Bogor dan Jakarta ada organisasi ” Piet van Dam” yang terdiri dari Wernick-Tjoa Tek Swat-Lie Beng Giok. Tugas organisasi ini adalah mengumpulkan segala informasi penting seperti gerakan tentara Jepang, penjagaan, transportasi, pemindahan orang-orang interniran, gerakan kapal dllnya untuk disampaikan melalui pemancar radio mereka ke markas sekutu di Australia. Di samping itu mereka juga bertugas untuk menyediakan dan mengantar senjata, suku cadang radio, pemancar dan surat-surat keterangan. Di Jakarta organisasi ini bermarkas di toko Beng, di jalan Pecenongan dan di Bogor di toko Peng.
Karena kurang berpengalaman, pada akhir Desember 1942, organisasi ini berhasil digulung Kenpeitai Jepang. Wernick, Lie Beng Giok dan Tjoa Tek Swat ditangkap dan mengalami siksaan yang luar biasa dari Kenpeitai Jepang. Tjoa Tek Swat kemudian dihukum penggal kepala di Ancol.
Nah, sementara barangkali cukup sekian saja dahulu. Untuk mengikuti lebih lanjut, bisa dibaca “Lima Jaman-Perwujudan Integrasi Wajar” – Siauw Giok Tjhan dan “Etnis Tionghoa Adalah Bagian Integral Bangsa Indonesia” – Benny Setiono.
Salam,
ChanCT
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing List Budaya Tionghua