Budaya-Tionghoa.Net | Menyusul tulisan BAPERKI kemarin, ada beberapa masalah yang kiranya perlu diajukan dan ditambahkan:
1. Latar Belakang Pendirian Baperki sebagai organisasi massa yang ber-politik
Dari namanya orang bisa mengetahui bahwa Baperki merupakan organisasi yang lahir karena masalah Kewarganegaraan Indonesia — sebuah masalah politik yang mencemaskan komunitas Tionghoa pada tahun 1953-1954.. Masalah Kewarganageraan adalah masalah politik nasional. Dan Baperki sebenarnya merupakan penjelmaan dari partai politik yang dinamakan Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI).
|
Pimpinan PDTI ¡V diantaranya Thio Thiam Tjong dan Oei Tjoe Tat ¡V merasa kekuatan politiknya lemah dalam menghadapi arus rasialisme dan dalam menghentikan proses legislatif yang didesain untuk membatalkan UU Kewarganegaraan 1946 yang telah secara resmi dan legal menjadikan semua keturunan asing yang lahir di Indonesia menjadi Warganegara Indonesia. Dan akan kembali berstatus asing setelah dibatalkan.
Oleh karena itu PDTI mempersiapkan sebuah rancangan kerja terdiri atas 3 hal utama yang dipersembahkan dalam rapat yang dihadiri oleh banyak tokoh komunitas Tionghoa pada tanggal 12 dan 13 Maret 1954:
- Merubah PDTI sebagai sebuah organisasi massa yang dinamakan Baperwatt (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Turunan Tionghoa)
- Memperkuat barisan dengan mengikutsertakan semua golongan yang ada dalam tubuh komunitas Tionghoa
- Memilih Siauw Giok Tjhan sebagai Ketua Umum Baperwatt.
Siauw Giok Tjhan bukan anggota PDTI. Akan tetapi ia dianggap “qualified” untuk memimpin Baperwatt karena kredibilitas-nya didalam kancah politik nasional. Pada waktu itu Siauw adalah anggota DPR dan di lembaga itu mengetuai sebuah fraksi yang cukup berpengaruh ¡V Fraksi Nasional Progresif yang terdiri atas tokoh-tokoh politik nasional dan partai partai politik nasional kecil. Ia juga dikenal sebagai tokoh politik yang paling keras dalam menentang RUU Kewarganegaraan yang didesain untuk meng¡¨asing¡¨kan para WNI keturunan asing.
Siauw Giok Tjhan yang berkeyakinan masalah Tionghoa bisa diselesaikan hanya dengan mengikut sertakan golongan yang mayoritas, harus diperjuangkan bersama dengan yang dinamakan ¡§pribumi¡¨, maka tidak seharusnya nama organisasi yang dibentuk tetap menekankan kata-kata Tionghoa. Dan dalam perdebatan yang cukup sengit, akhirnya Siauw berhasil mengubah nama Baperwatt menjadi Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegraan Indonesia). Siauw berkeyakinan, masalah kewarganegraan Indonesia berkaitan dengan pembentukan Nasion Indonesia dan tidak terpisahkan dari masalah Nasional Indonesia. Komunitas Tionghoa harus berpartisipasi dalam kancah politik nasional Indonesia dan harus memperoleh dukungan dari semua golongan Indonesia lainnya. Dengan demikian organisasi massa yang didirikan harus bersifat nasional dan tidak khusus untuk Tionghoa saja.
Kiranya jelas bahwa para pendiri Baperki, termasuk Yap Thiam Hien yang ketika itu menjadi wakil ketua, dengan sadar menginginkan Baperki berkembang sebagai sebuah organisasi politik ¡V mencapai tujuan politiknya melalui jalur politik nasional.
Tekad para pendiri Baperki ini diwujudkan dalam tindakan ¡V tindakan politik yang cukup berhasil, terutama di dalam hal kewarganegaraan Indonesia dan pembatalan berbagai kebijakan pemerintah yang sifatnya anti Tionghoa.
Bahwa Baperki kemudian menjadi besar dan lebih dikenal sebagai organisasi yang berkecimpung di dalam bidang sosial dan pendidikan, tapi tidak menegasi kehadirannya dan partisipasinya di dalam kancah politik nasional.
2. Baperki dan PKI
Baperki sempat difitnah sebagai bagian PKI, bahkan dituduh sebagai cukong PKI. Dan seperti kita ketahui bersama, cara fitnah dan tuduhan demikian ini-lah yang digunakan pemerintah Orde Baru untuk mengganyang dan membasmi lawan politiknya.
Menangkis tuduhan Baperki cukong PKI tentu sangat mudah. Bagaimana Baperki yang senantiasa bersandar atas sumbangan massa-nya bisa berfungsi sebagai cukong PKI? Untuk mendirikan Universitas Republika saja para pemimpin Baperki harus bersusah payah lebih dahulu mengumpulkan dana. Bagaiamana Baperki mampu menjadi cukong satu partai raksasa, PKI?
Tuduhan bahwa Baperki bagian resmi PKI bisa disangkal dengan berbagai fakta sejarah secara akademik.
Ada beberapa sejarawan barat memang mengkaitkan Baperki dengan PKI, terutama Siauw Giok Tjhan dengan PKI. Dan mereka menggunakan fakta Siauw menjadi Pemimpin Redaksi Harian Rakyat sejak didirikan pada tahun 1951, dan Harian Rakyat adalah trompet PKI.
Sayang, sejarawan barat tersebut kurang teliti dalam memperhatikan fakta yang diangkat. Benar Siauw pernah menjadi Pimpinan Redaksi Harian Rakyat , tapi pada saat itu, 1951 ¡V awal 1953, Harian Rakyat belum menjadi terompet PKI. Harian Rakyat baru menjadi terompet PKI setelah oleh pemiliknya (sekelompok pedagang Tionghoa) pada tahun 1953 dijual ke PKI. Dan sejak itu-pula, Siauw tidak lagi memimpin Harian Rakyat. Sejak tahun 1953, tampuk pimpinan Harian Rakyat berada ditangan Njoto.
Para sejarawan yang disinggung juga tidak teliti dalam mengikuti banyak dokumentasi ¡V yang seyogyanya menjadi sandaran akademik , yang sama sekali tidak mendukung asumsi kaitan Baperki dan PKI atau ke-“komunis”-an Siauw Giok Tjhan.
Perdebatan-perdebatan di zaman Demokrasi Parlementer (1950-1959) menunjukkan begitu banyak pertentangan yang terjadi antara Siauw dan tokoh-tokoh PKI. Bahkan di DPR, Siauw yang menjadi Ketua fraksi Nasional Progressif, dimana termasuk didalamnya partai Murba ¡V ¡§musuh¡¨ PKI.
Siauw, dalam memperjuangkan program ekonomi di DPR, dengan tegas menginginkan dikembangkannya kapitalisme di Indonesia dengan bersandar pada kekuatan modal domestik ¡V yang jelas bertentangan dengan paham komunisme yang dikenal pada zaman itu.
Bagi seorang pengamat yang teliti tentu akan menyimpulkan bahwa Siauw di DPR dan Konstituante ketika itu, tidak beraliansi pada PKI. Bahwa pada tahun 1959 fraksi Baperki ¡V minus Yap Thiam Hien mendukung dikukuhkannya UUD-45 sebagai UUD di Konstituante tidak berarti Baperki aliansi PKI. Karena banyak fraksi non-komunis, termasuk kelompok Angkatan Darat, juga masuk di dalam barisan yang mendukung posisi ini, dikukuhkannya kembali UUD-45.
Keputusan kolektif Baperki untuk mendukung UUD-45 inilah pangkal perbedaan pendapat yang singit dan prinsipil antara Siauw Giok Tjhan dan Yap Thiam Hien ¡V kedua tokoh yang saling menghormati dan memiliki banyak persamaan visi politik.
Juga, dalam hubungan dengan penerimaan Baperki atas serentetan garis politik Soekarno, telah menempatkan Baperki dalam posisi lebih dekat pada Soekarno dan PKI. Tapi, tetap hal ini tidak bisa dijadikan bukti Baperki adalah komunis. Bahkan dengan diterimanya konsep NASAKOM oleh Baperki dan adanya elemen komunis didalam tubuh Baperki tidak cukup untuk membuktikan Baperki adalah komunis. Karena kenyataan, pimpinan Baperki juga ada yang dari elemen nasionalis, ada yang dari Katholik dan Kristen, dan juga tidak sedikit pengusaha yang juga bertentangan dengan paham komunis. Perlu kiranya ditekankan di sini bahwa setiap partai dan organisasi massa ketika itu dari berbagai aliran – kiri maupun kanan, termasuk juga LPKB ¡V secara resmi mendukung konsepsi Nasakom.
Perlu juga ditegaskan bahwa menerima Nasakom tidak berarti anti Pancasila. Di bidang ideologi, komunisme juga tidak dilarang oleh Pancasila. Sebab, Bung Karno sendiri justru mengakomodasi komunisme di dalam kerangka negara Pancasila melalui konsep Nasakom
3. Political Blunder?
Terngiang-ngiang jelas dalam ingatan saya, bagaimana almarhum Yap Thiam Hien pada saat di Melbourne akhir tahun 1988 dirumah saya, menjelaskan pertentangannya dengan Siauw Giok Tjhan ketika itu, garis besar apa yang dinyatakan adalah sebagai berikut:
- Yap mengerti bahwa Baperki secara organisasi pada zaman itu tidak ada pilihan lain ¡V harus mendukung Soekarno untuk mempertahankan kehadirannya sebagai organisasi massa yang berpolitik. Dalam hal ini yang dimaksud adalah mendukung pengukuhan UUD-45, dan yang oleh Yap dianggap tidak demokratis itu.
- Yap juga mengerti dasar kebijakan Siauw: Menentang Soekarno berarti masuk dalam kubu yang justru anti Tionghoa.
- Akan tetapi, sekalipun secara prinsip Yap tidak bisa menerima Baperki mendukung pengukuhan UUD-45, oleh Siauw Yap “di-izinkan” untuk bersikap jantan di dalam Konstituante , menentang keputusan fraksinya sendiri.
- Ketegasan Yap dan ketabahannya dalam menjunjung tinggi prinsip ini lalu menimbulkan permusuhan antara Yap dengan elemen komunis di dalam tubuh Baperki. Yap menegaskan berkali-kali kepada saya bahwa dengan Siauw sendiri ia tidak pernah bermusuhan. Akan tetapi karena Siauw adalah ketua umum Baperki, ia tidak bisa tidak secara resmi melontarkan ketidak-puasannya terhadap kebijakan yang diambil oleh Siauw.
- Ketika saya tanya: Apakah oom Thiam Hien menganggap kebijakan dekat dengan Soekarno dan PKI menjadi dasar malapetaka komunitas Tionghoa? Ia menjawab: “Tidak. Itu tuduhan LPKB, bukan dari saya. Saya hanya menganggap bilamana Baperki tidak mendukung aliansi Soekarno dan PKI, Baperki tidak diganyang dan masih bisa memainkan peranan yang berguna di zaman Orde Baru¡”
- Yap menganggap keterlibatannya di dalam Baperki sebagai masa terpenting di dalam karier hidupnya. Perlu dicatat bahwa Yap di saat Baperki telah diganyang, secara gagah berani pernah menyatakan bahwa: ¡§Saya tidak pernah meninggalkan Baperki. Saya masih anggota Baperki hingga organisasi ini dilarang¡¨.
Tentunya yang dimaksud oleh almarhum Yap sebagai “political Blunder” adalah Baperki tidak lagi bisa berfungsi pada zaman Orde Baru karena kebijakan politik Siauw di dalam zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965) ¡V bukan dalam pengertian Baperki membawa malapetaka pada komunitas Tionghoa seperti yang kerap dituduhkan LPKB.
Dalam perjuangan politik, segala yang benar tidak selalu berjalan mulus dan bisa dimenangkan dengan mudah, bahkan seringkali harus lebih dahulu mengalami kekandasan, ditindas secara ganas, bahkan korban jiwa berjatuhan juga sulit terhindarkan. Tapi, jangan hanya yang telah menjadi korban yang disalahkan, bahkan Baperki dinyatakan membawa malapetaka pada komunitas Tionghoa. Karena salah dalam memilih ¡§kuda balap¡¨, salah berpihak? Dalam melihat proses perjuangan, pertarungan antara kekuatan-kekuatan didalam masyarakat, mengapa mereka tidak bisa menyalahkan dan mengutuk penguasa ketika itu yang justru menurunkan tangan-besi, yang secara kejam melancarkan penindasan, pembasmian terhadap lawan politik, terhadap setiap orang yang berbeda pendapat dan berani menentangnya? Dan selalu hanya secara berat sebelah menyalahkan yang kalah, yang jadi korban keganasan. Tapi tidak berani melihat bahwa korban jiwa yang jutaan itu, termasuk komunitas Tionghoa bisa dihindari, seandainya penguasa ketika itu tidak main tangan-besi, seandainya penguasa menjalankan segala hal sesuai dengan proses HUKUM yang berlaku. Seretlah dan ajukan tokoh-tokoh utama yang dianggap salah itu kedepan pengadilan dan harus mempertanggungjawabkan segala tindakannya. Jangan sentuh anggota atau simpatisan dan bahkan keluarga yang tidak tahu apa-apa itu.
Seperti yang saya ungkapkan sebelumnya, perkembangan politik dunia pada zaman itu yang sudah panas, dengan polarisasi politik kiri dan kanan, lalu AS yang sangat berkepentingan membendung pengaruh RRT di Asia, khususnya di Indonesia ketika itu, pasti berusaha menciptakan suasana anti Tiongkok dan anti Tionghoa. Jadi, kiri atau tidaknya politik Siauw Giok Tjhan dan Baperki bahkan ada atau tidaknya Siauw dan Baperki dalam kancah perjuangan politik ketika itu (tahun 1965-1967), tidak akan mencegah atau mengurangi suasana anti Tiongkok dan anti Tionghoa yang dibakarkan oleh AS. Komunitas Tionghoa yang dituduh dan dicurigai dekat atau mendukung Republik Rakyat Tiongkok tetap akan jatuh sebagai korban tangan besi penguasa ketika itu. Malapetaka tetap akan terjadi dibawah kekuasaan yang tidak menjalankan HUKUM dan menginjak-injak HAM begitu!
Diposting oleh HKSIS ke Mailing List Budaya Tionghua 11694 , 1 April 2005
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa