Budaya-Tionghoa.Net | Diantara seniman yang masih hidup mungkin sosok perempuan yang satu bisa dikatakan salah satu yang ¡¥langka¡¦. Usianya sudah 88 tahun tapi masih saja berkecimpung dalam seni dengan menghasilkan puluhan lukisan.
Bagi masyarakat umum nama Jiang Yudi (Chiang Yu Tie) rasanya masih sangat asing. Namun bagi komunitas lukis dan kaligrafi China, Jiang sudah akrab bahkan sangat dikenal. Karya-karyanya selalu saja diminati dan tak ingin dilewatkan untuk dikoleksi bagi para kolektor lukisan.
|
Semangatnya yang tak pernah padam selalu saja terpancar meski usia sudah senja. Ketika penulis menyambangi secara langsung untuk mengorek lebih dalam pribadinya di Jl. Suwatama, Bandung, Jawa Barat, dengan lugas meski agak terbata-bata bahasa Indonesianya tapi setiap pertanyaan selalu dijawab.
Saat pertanyaan pertama dilontarkan, berapa usianya saat ini? Dijawab oleh Jiang bahwa usianya sekarang 88 tahun. Sampai kapan akan terus berkarya? Dirinya ternyata akan benar-benar pensiun dari akfitas gores menggores tersebut tatkala usianya menginjak usia 90 tahun.
Pada awalnya, perempuan yang mempunyai tiga anak (satu telah meninggal dunia) ini, sempat menghasilkan banyak lukisan gadis cantik dengan citra figur yang diambil dari para tokoh dalam novel klasik yang berjadul ¡§Impian di Rumah Merah¡¦ (Hong Lou Meng), secara hidup menciptakan figur-figur pelbagai lapisan masyarakat dengan kategori dan citra yang beraneka ragam. Dan melalui lukisan karya-karya latihan itu, mulai terlihat prestasi dan daya deskripsi seni rupa dalam bentuk tokoh tipikal.
Seiring dengan perkembangan waktu, gaya lukisannya diperluas dengan kecenderungan lukisan figur, pemandangan, flora dan satwa (bunga dan burung) dengan tipe corak halus.
Pada Desember 1995, Yu Tie ikut serta dalam perlombaan karya seni lukis dan kaligrafi orang Tionghoa sejagad. Ternyata beliau meraih piala emas khusus ¡§Jun-Long Cup¡¨ dalam judul ¡§Hidup Tanah Air, dimana piagam tersebut ditandatangani langsung oleh Zhao Puchu dan Zhu Muzhi, ahli kaligrafi dan pakar seni lukis Tiongkok yang termashyur. Hal tersebut merupakan suatu penghargaan tertinggi yang diberikan dari kalangan seni dan budaya Tiongkok.
Kartini Tiongkok
Terlahir dari keluarga yang cukup berada, Yu Tie yang dilahirkan di Kabupaten Fuyang, Propinsi Zhejiang, RRC, bisa disebut sebagai ¡¥Kartini¡¦ Tiongkok. Sebagaimana diketahui, adat istiadat kehidupan dahulu sangat beda dengan zaman sekarang. Orang tuanya bisa dikatakan sangat kuno.
Menurut cerita Yu Tie dalam bahasa Mandarin dan diterjemahkan oleh Teng Mu Yin, anak keduanya, orang tua Yu Tie masih sangat kuno dimana hanya memberikan pendidikan ke anak laki-laki. Sedangkan kaum hawa hanya disekolahkan di rumah saja dengan memanggil guru datang ke rumah.
Hidup terkekang sangat dirasakan oleh Yu Tie untuk memperoleh pendidikan lebih tinggi. Namun kebebasan akhirnya datang jua disaat ayahnya meninggal dunia. Sang ibu tidak bisa melarang Yu Tie untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Tapi untuk melanjutkan di universitas, awalnya dirinya tidak diperkenankan sebab tidak mempunyai ijazah. Karena ditolak, akhirnya dirinya mendatangi departemen pendidikan. Di lembaga ini perempuan yang tidak suka makan bubur karena selama delapan tahun dirinya hanya makan bubur saat Jepang menduduki Tiongkok, menganjurkan agar dirinya diterima universitas bukan berdasarkan ijazah namun keahlian. Di departemen ini Yu Tie memperlihatkan hasil karyanya berupa lukisan.
Apa yang dilakukan ternyata tidak sia-sia, sebab akhirnya dirinya diterima masuk universitas. Namun diberi jangka waktu, kalau bisa akan terus diperbolehkan kuliah, tapi kalau tidak akan di drop out. Catatan ini menjadi cambuk semangat Yu Tie untuk terus belajar. Usahanya tak sia-sia sebab pada tahun 1945 lulus dari Akademi Seni Lukis Negeri Xinxi, Chongqing.
Tiga tahun kemudian, bersama suaminya merantau dan menetap di kota Bandung. Di kota yang terkenal dengan peyeum ini, Yu Tie berkecimpung di bidang pendidikan. Meski sejak awal dan hingga sekarang menetap di Bandung, tapi pelukis yang gaya lukisannya banyak dipengaruhi oleh Pan Tianshou dan Guan Liang, pelukis terkenal Tiongkok ini, sempat pula mengajarnya berpindah-pindah beberapa kali ke pulau Jawa dan Sumatra.
Bahkan pernah pula melakukan perjalanan ke beberapa objek wisata di tanah air seperti Borobudur, Yogya dan Pulau Bali. Disini dirinya menghayati adat istiadat setempat serta kehidupan nyata. Dari pengalamannya tersebut ternyata telah memperluas wawasannya dan juga memperkaya tema-tema bahan cipta karyanya.
Maka tak heran di kemudian hari hasil karyanya banyak menyatupadukan antara gaya lukisan tradisional Tiongkok dengan corak halus kebudayaan Indonesia. Hal ini pula yang mungkin membedakan antara Yu Tie dengan pelukis lainnya.
Hal lain yang juga sebagai pembeda adalah selalu membubuhkan di sisi kanan atau kiri dari lukisan tersebut dengan sebuah puisi atau epigram yang sesuai dengan isi lukisannya. Oleh karena itu patutlah berbangga kita sebab pada tahun 2002 karya lukisannya yang berjudul ¡§Pemandangan dan Adat Negara Selatan¡¨ terpilih untuk dimasukkan dalam Kebudayaan Tionghoa Diantara Kelima Benua, dimana mendapat perhatian dan penghargaan yang sangat tinggi dari kalangan seni lukis dan seni kaligrafi Tiongkok.
Terkait dengan puisi, ternyata perempuan yang menghasilkan banyak murid ini juga hebat dalam hal puisi, disamping pula sajak dan cerpen. Maka tak heran bila Yu Tie bisa dikatakan sebagai seorang pujangga dan penyair. Salah satu puisinya adalah Sentimentil Tionghoa.
Dari hasil karya lukisan ternyata ada hikmah yang mungkin takkan bisa dilupakan sepanjang hidupnya. Perempuan yang mendirikan Perhimpunan Ilmiah Seni Rupa Bandung dan Rumah Santai bertemu kembali dengan mantan pacarnya. Menurut cerita Teng Mu Yin, kejadian itu terjadi pada 10 tahun yang lalu. Hasil karya lukisan Yu Tie dibuat dan dicetak dalam sebuah buku. Buku tersebut diterbitkan di China. Sang mantan pacar ternyata melihat dan mengenal Yu Tie. Setelah melakukan pelacakan akhirnya sang mantan pacar yang telah terpisah selama 60 tahun bertemu kembali. Karena masing-masing telah memiliki keluarga, hubungan itu menjadi hubungan saudara.
Satu hal yang tak boleh dilupakan pula, bahwa apa yang dilakukan Yu Tie telah memberikan nilai positif bagi hubungan kedua negara. Yu Tie yang hasil karyanya mulai seharga satu hingga puluhan juta rupiah ini, ternyata sedikit banyak menyumbangkan tenaganya demi mempererat pertukaran kebudayaan Indonesia dan Tiongkok.
Menebar Pahala Kebajikan Lewat Album Lukisan Buddha Rupang
Satu hal yang patut dipuji dan dicontoh dari sosok Jiang Yudi adalah rasa sosialnya. Dari keahlian tangannya membuat lukisan, Yu Tie tak lupa untuk berbuat kebajikan bagi manusia khususnya umat Buddha. Kegemarannya berderma sebenarnya sudah terlihat sejak duduk di lembaga pendidikan. Banyak hasil karyanya dilelang secara amal untuk dana bencana alam.
Sekarang disaat usianya sudah senja, kembali hasil karya lukisannya sebagai jalan untuk melakukan kegiatan sosial. Hasil karya yang jumlahnya tidak sedikit coba dibuatkan album. Album Buddha Rupang yang berjudul Buddha Yang Kupuja, dibuat dimana hasilnya nanti akan disumbangkan untuk Vihara Sad Paramita Bandung, Jabar. ¡§Hasil dari album Yu Tie akan disumbangkan karena rencananya akan membuat panti jompo,¡¨urai Teng Mu Yin.
Dicetak pada Agustus 2004, album lukisan Buddha Rupang ini sungguh boleh dibilang suatu kebanggaan bagi kalangan Buddhis pada umumnya dan bagi semua yang ada di Jabar, khususnya. Sebab pada zaman sekarang ini, dari sekian banyak album lukisan, bisa mendapatkan dimana lukisannya diisi kesemuanya dengan tema Buddhayana melulu itu adalah suatu yang amat sangat langka.
Untuk itu tak ada salahnya bagi kita patut untuk mendukung langkah Yu Tie dengan menyumbangkan sedikit harta yang dimiliki. Semoga saja jalinan karma yang bajik ini bisa berlangsung bagi kita semua.
Majalah SINERGI INDONESIA edisi ke-27/Mei 2005
Wartawan Majalah SINERGI INDONESIA
Budaya-Tionghoa.Net |Mailing List Budaya Tionghua 12003