Budaya-Tionghoa.Net | Pada waktu aku beberapa tahun yang lalu datang ke Surabaya dan diminta untuk berbicara mengenai riwayat orang-orang Tionghoa Indonesia, aku bertemu dengan teman-temanku lama yang tidak aku sangka sebelumnya. Mereka ada yang datang dari Hongkong, Beijing, Australia dan tentunya dari Surabaya waktu mudaku. Mereka ada yang menjadi pedagang, pegawai bank, direktur pabrik, aktivis masyarakat, konsultan, dokter, insinyur, ahli ekonomi dan lain lain . Kami sangat gembira dan membicarakan pengalaman kita masing-masing, dari Tempo Doeloe, sekarang dan bagaimana pandangan mereka mengenai hari depan kita.
|
Orang didunia menamakan anda “Sepuluh ribu buku Li Bo” , tidak berarti bahwa sepuluh ribu buku itu berada dikepala anda yang kecil ini. |
Pada suatu waktu makan siang, ada seorang teman yang berkata pada kami seperti kebiasaan dalam pertemuan yang tidak disangka dari teman yang lama dan terpencar diseluruh dunia, dan berkata: “dunia ini seluas daun kelor.” Aku lalu bicara untuk meramaikan suasana suatu cerita figuratif pada mereka yang isinya sebagai yang aku tulis dibawah ini.
Di Jaman Dinasti Tang dinasti hidup seorang yang bernama Li Bo, seorang intelektual yang luar biasa banyaknya buku yang beliau baca. Li Bo kalau mempunyai uang kebanyakan digunakan untuk membeli buku. Buku-buku itu dibacanya begitu banyaknya dan pengetahuan umumnya sangat tinggi. Nama Li Bo begitu tenar tentang hobby membaca buku dan banyak orang di Tiongkok di jamannya menamakan beliau dengan julukan “Sepuluh Ribu Buku Li Bo.”
Pada satu hari Li Bo berbicara dengan seorang Taois, temannya yang juga banyak membaca buku-buku, tetapi terutama mengenai kesehatan jiwa manusia untuk menghadapi tantangan kehidupan yang kompleks. Mereka membicarakan persoalan kehidupan, kemasyarakatan dan kejadian-kejadian di dunia. Temannya berkata padanya: “Daun kelor ada di dunia, tetapi dunia juga berada di daun kelor.” Li Bo menjawab dengan tertawa: “Ungkapan yang pertama aku tanpa ragu-ragu menyetujuinya, tetapi ungkapan kedua apakah ini suatu ungkapan belaka yang tidak mempunyai arti apa-apa?” Temannya menjawab dengan menepuk-nepuk bahu Li Bo dan berkata: ”Orang di dunia ini menamakan Anda, Sepuluh Ribu Buku Li Bo, kan tidak berarti bahwa sepuluh ribu buku itu berada di kepala Anda yang kecil ini?” Mereka berdua ketawa dan meneruskan pembicaraan dengan menikmati minum teh.
Dari cerita ini kami mempertanyakan pada diri kita apakah buku-buku yang kita baca itu kita mengerti apakah pesan dari penulis buku yang kita baca? Di dunia ini ada dunia materi juga ada dunia fenomenal, seperti yang dimaksud oleh teman Li Bo. Juga dalam badan kita ini ada dua faktor yaitu badaniah dan jasmaniah, kalau kita dapat mempersatukan dua faktor ini maka penghidupan kita akan harmoni dan berkembang dengan sehat. Apakah kita membaca buku itu percaya tanpa menganalisa apa yang ditulis oleh penulis buku yang kita baca, dengan kata lain dogmatis dan texbook thinking?
Kita tahu bahwa setiap orang mempunyai ide-ide, ambisi, keingingan dan aliran politik dan agama sendiri; karena penulis buku itu juga manusia dan mempunyai kepentingan bagi dirinya dan golongannya, maka harus kita tanyakan apakah buku yang kita baca itu sesuai dengan sebenarnya. Bukankah banyak buku-buku pelajaran yang dirubah karena tidak cocok dengan kebenaran atau situasi yang nyata? Seperti juga pertandingan sepak bola, banyak pelatih yang mengatakan: “Mengenai kualitas seorang pemain sepak bola, saya lebih percaya apa yang kita lihat dari pada apa yang kita dengar dari orang lain.”
Memang didunia ini orang membaca buku disamping buku keahlian untuk mengerjakan pekerjaannya dengan keahlian dan penuh tanggung jawab. Disamping itu mungkin untuk dapat bercakap-cakap dengan segala orang dari berbagai keahlian, tanpa tujuan arogansi atau superioritet, tidak lebih dan tidak kurang hanya demi hubungan dengan orang lain.
Semua tertawa mendengar pembicaraan ini dan memang banyak buku yang mereka telah belajar, tetapi bukan bukunya disimpan di kepala kita yang kecil, namun isinya disimpan dalam memori kita di otak. Temanku Liu masih berkata: ”Koh Hwie-Song ini tetap tidak berubah, sedari dahulu dia suka bicara tentang kebudayaan Tionghoa dan terutama filosofinya.” Teman-teman semua tertawa dan memang bukankah suatu kegembiraan bertemu dengan kawan-kawan yang lama sambil duduk dan makan bersama. Apalagi makanan Jawa- Surabaya yang diintegrasikan antara dua budaya Tionghoa dan Indonesia! Saya katakan integrasi bukan asimilasi karena makanan itu namanya “Lontong Capgomeh, Bakmi goring, cah-kwee, bakso etc. etc.” ada tahu, taoge, mi, kecap, taoge dllnya. yang telah di kembangkan dan disesuaikan pada selera Indonesia oleh ibu-ibu kita beberapa abad yang lalu.
Dr. Han Hwie-Song
Breda, 9 juni 2005 The Netherlands
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa
Pihak yang ingin mempublikasi ulang tulisan dalam web ini diharapkan untuk menyertakan link aktif : www.budaya-tionghoa.net , NAMA PENULIS dan LINK aktif yang berada didalam tulisan atau membaca lebih jauh tentang syarat dan kondisi . Mempublikasi ulang tanpa menyertakan tautan internal didalamnya termasuk tautan luar , tautan dalam , catatan kaki , referensi , video , picture , sama dengan mengurangi konten dalam tulisan ini.