Budaya-Tionghoa.Net| Apakah filosofi Tiongkok yang menekankan harmoni itu menyebabkan masyarakat yang statis? Sesudah satu hari mendapatkan kemoterapi, kokh saya masih merasakan baik, hanya sedikit pusing, lemah dan mual, tetapi pikiran saya masih tidak terganggu, maka ketimbang saya memikirkan keluhan kemoterapi, saya lebih baik berpikir bagaimana membuat artikel ini, kebetulan saya membawa notebook saya ke rumah sakit. Saya berangkat dari rumah dengan taxi dari jam 07.30 sampai dirumah kira-kira jam 14.45 cukup untuk menulis artkel ini, sambil mendapatkan infus.
|
Didalam dunia sekarang ini menurut saya yang di perjuangkan oleh negara-negara terutama di negara negara Barat di Eropa dan Amerika Utara ialah mencapai masyarakat multikulturil yang harmonis, aman dan makmur. Dengan adanya penghidupan harmonis dalam masyarakat tidaklah ada kejadian seperti yang kita lihat di Perancis, Australia, ex-Jugoslavia, Irlandia Utara etc.
Untuk mengusahakan harmoni Kong Fu Zi dan Meng Zi mengajar moral. Kong Zi dan Meng Zi mengenal raja-raja yang baik dan raja-raja ini mengerjakan kebaikan untuk rakyatnya. Kedua master ini juga melihat adanya raja-raja yang jelek seperti yang ditulis oleh Nietsche. Kelainan dari Mencius daripada Nietsche ialah Beliau tidak saja melihat raja yang jelek, tetapi juga melihat kaisar atau raja yang baik. Sebab Nietsche menekankan bahwa moral itu hanya mengabdi pada penguasa, karenanya penguasalah yang memerlukan moral. Dan karenanya moral dianggap sebagai problema dalam dunia filosofi.
Tetapi ratusan tahun sebelum Kristus lahir Han Fei Zi , seorang legalist yang ternama di Tiongkok, murid dari Xun Zi (Confucianist) menganjurkan hukum sebagai pegangan yang penting dibelakang moral. Tentang ini sejauh saya tahu, mungkin tema ini terutama ditulis dengan jelas oleh John Locke, hidup pada masa Aufklärung. Jadi setiap ahli pemikir itu berkembang pada waktu tertentu dan mencari penyelesaian pada problema dalam masa itu. Karenanya masing-masing pemikir mempunyai kontribusi pada keadaan yang konkrit pada masa hidupnya dan tidak dapat dikatakan yang mana baik dan mana yang jelek. Kalau sekarang para pemikir membicarakan terutama tentang terrorisme, keharmonian dalam masyarakat multikultiril jangan sampai terjadi konflik kulturil, bahkan dikembangan sampai global, dan problema candu!
Kita tahu dari pengalaman bahwa masyarakat yang harmonis tidak jatuh begitu saja dari langit, ini harus melalui perjuangan, bahkan perjuangan yang lama dan kadang-kadang dengan kekerasan. Sebagai contoh dahulu di Tiongkok dikatakan oleh penguasa bahwa fungsi kaisar, raja itu dapat mandat (Ming) dari Thian (langit), karena itu rakyat umumnya tidak boleh sembahyang langsung pada Tuhan, tetapi boleh sembahyang pada istananya, Thian, langit.
Meng Zi (371-289 M) seorang pengikut Kong Fu Zi memperkembangkan teori Confucius tentang pemakaian nama, kalau seorang pakai nama kaisar/raja tetapi tidak memenuhi nama fungsinya, maka mandatnya harus dipotong (Ge), maka Ge-Ming berarti revolusi, si raja yang jelek ini dijatuhkan dan timbul dinasti dengan darah yang baru, ini berarti kemajuan dari perkembangan masyarakat.
Dengan ini pula Beliau mengatakan bahwa yang beri mandat itu ialah rakyat bukan Tuhan! Saya tidak jelas apakah ada pemikir Barat yang lebih dahulu memakai perkataan revolusi sebelum Mencius? Dalam hal ini Kong Fu Zi dan Mencius lain pandangannya dibanding dengan Shakespeare yang mengatakan:” Akakah nama itu, anda dapat menamakan bunga mawar nama apa saja, namun dia dalam segalanya tetap bunga mawar.” (saya salin secara bebas). Menurut Kong Fu Zi nama itu essentiil, mengatakan sesuatu kebenaran harus jelas.
Satu contoh lagi ialah konferensi Asia Afrika yang di mulai oleh pemikiran Bung Karno, dan empat negara-negara Asia lainnya, ditafsirkan oleh dunia Barat bahwa konferensi ini pasti akan gagal, terutama dengan politik negara Filipina yang sangat anti Republik Rakyat Tiongkok dan komunis, bahkan kapal udara yang akan ditumpangi oleh Perdana Menteri Chou Enlai dibom. Untungnya Beliau tidak ikut dengan kapal udara tersebut.
Tetapi Beliau tokh datang ke konferensi dan disana Beliau menganjurkan agar jangan mendiskusikan tentang perbedaan politik masing-masing negara, tetapi kebersamaan yang dihadapi oleh negara-negara yang baru merdeka dan negara-negara yang masih berkembang. Usaha Chou untuk mencari kebersamaan (keharmonian) waktu konferensi, membuahkan usul Chou tentang koeksistensi damai.
Konferensi itu mendapatkan sukses yang besar! Jadi keharmonian itu bukan statis tetapi membawa kemajuan, tergantung siapa yang menggunakan. Harap jangan salah Confucius bukannya menganjurkan keharmonian yang tidak berfaedah, tetapi keharmonian dari perbedaan.
Raja-raja Tiongkok tidak mau memakai baik Kong Fu Zi atau Meng Zi, karena mereka berani mengritik raja, tetapi raja tidak berani membunuh mereka takut kalau didalam sejarah nanti dicap bahwa dialah yang membunuh orang yang besar ini. Kalau mereka mau memakai orang yang pandai mereka lebih baik memakai muridnya Kongfuzi atau Menzius. Murid mereka pandai dan lebih gampang ditangani. Maka orang jaman kuno dahulu mengatakan bahwa Kong Fu Zi adalah raja tanpa mahkota!
Baiklah kita membicarakan tentang keilmuan, jelas bahwa falsafat Tionghoa dalam pemikirannya itu jarang memakai teori-teori mistik dibanding dengan filosof-filosof Barat. Di Barat pada jaman dahulu dalam sejarah kami lihat peperangan antar agama yang hebat. Di Tiongkok yang pernah saya baca ialah pembakaran kuil-kuil Buddha sekali saja yang agak berat. Kong Fu Zi mengatakan: “Kebenaran itu tidak jauh dari asal alam manusia, segala sesuatu yang tidak cocok dengan dasar alam manusia, janganlah dianggap sebagai kebenaran.” Beliau juga mengatakan: “Kalau anda tahu tentang sesuatu kebenaran, katakanlah bahwa anda tahu. Kalau anda tidak tahu tentang sesuatu kebenaran akuilah bahwa anda tidak tahu. Ini adalah kemurnian dari ilmu.”
Wang Chong (27 SM) memperkembangkan teori Kong Fu Zi dan Lao Zi , mengatakan bahwa :”Seorang pengarang bisa menulis cerita dan histori yang dikembangi sehingga banyak orang senang membaca, tetapi mengenai kebenaran lebih baik menulis yang jelas , jangan dikembangkan untuk menarik pembaca.”
Wang mengatakan bahwa Thian tidak punya kesadaran dan tujuan untuk merubah jagat. Manusia tidak dapat mempengaruhi Thian, juga Thian tidak dapat berreaksi pada sikap atau pekerjaan manusia. Bencana Alam itu bukan kerjaan dari Thian! Wang mementingkan teori harus cocok dengan praktek dan karenanya harus diuji.
Ada jamannya dimana Tiongkok jaya, dan ilmu pengetahuannya sangat tinggi pada waktunya. Kapal layar Zheng He begitu besar dapat memuat dua kapal dari Columbus didalam kapalnya. Dan jatuhnya Tiongkok bukan saja dari teori filosofi Tiongkok saja tetapi ada dua faktor yang penting, faktor dalam yang dikatakan oleh Kong Fu Zi , tentang kaisar yang jelek yang menyalah gunakan kekuasaan untuk kepentingan sendiri . Kedua ialah di serbunya Tiongkok oleh negara-negara koalisi negara-negara Barat dan Jepang.
Kenapa negara-negara itu mempunyai kultur yang berlainan, saya rasa ini disebabkan manusia mencari kehidupan yang tenang, aman, memenuhi dan kepuasan hidup. Ini bergantungan erat dengan keadaan fisik negara, hawa udara, dekat laut atau pegunungan, suburnya tanah dan pula tergantung dari sifat manusia yang menulis etc.
Kelainan sifat manusia menyebabkan tidak samanya isi yang ditulis, isinya bisa keras, agresif atau berbudi. Inilah bedahnya mengapa Zheng He dengan kapal dan kekuatan militer yang besar tetapi tidak menjajah, padahal Columbus dengan kekuatan yang lebih kecil dapat menjajah Amerika!
Kalau teori teori Barat tidak diragukan lagi kebenarannya saya rasa tidak ada buku-buku seperti yang dikarang oleh Dan Brown, The Da Vinci Code, Het Bernini Mysterie, Het Juvenalis Dilemma (buku-buku yang saya punya dalam bahasa Belanda), buku-buku ini dimana-mana umumnya best sellers.
Karenanya tentang persoalan ini kalau di diskusikan boleh, tetapi kalau diperdebatkan filosofi mana yang lebih baik ribuan pages masih tidak cukup, apalagi saya bukan ahli filosofi. Filosofi dan klasik Barat dan Tiongkok hanya hobby saya diluar vak saya.
Namun saya pikir perlu ditulis agar generasi muda kita tahu identitasnya agar jangan sampai timbul identitas krisis. Masing-masing ada segi positif dan ada segi negatifnya, semuanya mempunyai kontribusi pada jamannya! Maafkan kalau dalam artikel saya ini ada salahnya atau menyentuh sesorang, ini bukan tujuan saya, karena maksud saya adalah membangun dan menjaga agar generasi muda kita tahu siapa mereka itu sebagai fundamen dari penghidupannya jiwanya. Saya menghormati kelainan pendapat seseorang.
Dr. Han Hwie-Song
Breda, 15 desember 2006
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa 15898