Budaya-Tionghoa.Net| Salah satu kisah cinta yang terkenal di masa peperangan adalah Gladys Tayler dan Yang Xianyi. Pasangan lintas bangsa yang melewati berbagai masa dari Sino-Japanese War II , Perang Saudara sampai Revolusi Kebudayaan.
|
Gladys dilahirkan di Tiongkok pada tanggal 19 Januari 1919 dari pasangan orangtua yang misionaris. Suatu hari , Gladys dan saudarinya sedang menuju taman kanak-kanak . Seorang prajurit tertarik dengan penampilan kanak-kanak asing yang unik , kemudian sang prajurit itu mengajak mereka bermain. Gladys dan saudarinya kembali dengan selamat , tetapi orangtua menyimpulkan bahwa Tiongkok bukan tempat yang aman bagi anak mereka . Orangtua mereka memutuskan untuk mengirim anaknya kembali ke Inggris.
Di tahun 1930 , Gladys berjumpa dengan Yang Xianyi , seorang anak dari keluarga kaya di Tianjin yang dikirim ke Oxford untuk studi. Mereka saling jatuh cinta dan memutuskan untuk segera menikah. Orangtua Gladys khawatir dengan kesukaran hidup di Tiongkok pada masa itu dan juga ditambah prasangka pasangan yang berbeda etnis sehingga menentang rencana pernikahan mereka. Akhirnya kompromi tercapai , pasangan muda ini akan menempuh perjalanan ke Tiongkok sehingga Gladys dapat melihat kehidupannya seperti apa kelak. Jika dia tidak merubah pendiriannya setelah beberapa bulan tinggal , orangtua Gladys akan memberi persetujuan.
Di tahun 1940 , Eropa sudah meletus Perang Dunia II , mereka tetap menempuh perjalanan laut ke Hong Kong. Di Tiongkok , pasangan ini menerobos wilayah Tiongkok yang diduduki Jepang untuk mencapai ibukota sementara , Chongqing , dan kemudian menikah. Selama perang berkecamuk , pasangan ini mengajar di berbagai universitas. Setelah Jepang menyerah mereka pindah ke Nanjing .
Seusai perang saudara antara Komunis – Nasionalis , mereka bergabung untuk mendirikan Foreign Languanges Press. Pasangan ini memasuki masa produktif yang panjang untuk menerjemahkan berbagai karya klasik Tiongkok
Gladys bersama suaminya menjadi penerjemah yang berpengaruh dari literature Tiongkok kedalam bahasa Inggris . Karya terjemahan mereka ditujukan untuk mempromosikan literature Tiongkok untuk para pembaca dari Barat.
Menurut Perry Link–seorang professor bahasa dan literature Tionghua di Princeton University–mengatakan bahwa diantara Arthur Waley dan James Legge , Gladys nomer satu. Gladys menerjemahkan berbagai karya klasik Tiongkok dari masa abad 5 SM sampai karya terakhir di abad 19 dan karya-karya modern.
Salah satu terjemahan Gladys adalah “Kisah Kisah Pilihan Lu Xun [Foreign Languanges Press , 1960]. Di pertengahan tahun 1950an , Gladys menerjemahkan karya Liang Bin , “Keep The Red Flag Flying [China Youth Publishing House, 1957] . Liang Bin adalah seorang novelis realis-sosialis yang pro-Komunis. Karya terjemahan lainnya , novel abad 18 – Dream Of The Red Chamber dan berbagai karya penulis lain seperti Lao She , Mao Dun , Cao Yu dan Sheng Cunwen.
Di tahun 1960 , Gladys sempat mengunjungi Inggris dengan putrinya yang termuda untuk bertemu dengan keluarga yang sudah 20 tahun ditinggalkan.
Pasangan Gladys dan Yang juga aktif membantu pemuda asing dan Tionghua yang pergi ke Beijing untuk menjadi penerjemah atau guru di awal tahun 1960an. Mereka bermurah hati dan ramah dalam memberikan bantuan meskipun menghadapi resiko tinggi bagi Tionghua untuk berkomunikasi dengan pihak asing.
Pasangan ini menjadi korban persekusi pada saat meletus Revolusi Kebudayaan. Di tahun 1968 merupakan puncak Revolusi Kebudayaan. Ibu Gladys meninggal dunia tanpa mengetahui keberadaan Gladys. Suami-istri Yang mengalami persekusi dan penahanan dalam sel yang terpisah. Gladys di tahan sendirian selama empat tahun. Pada saat mereka dilepaskan , kondisi Gladys lebih baik dari Yang Xianyi, yang ditahan dibersama kriminal dan tapol .
Selagi mereka ditahan , anak-anak mereka menghadapi gejolak revolusi. Putra mereka mengalami gangguan mental dan delusi. Keluarga Yang memutuskan untuk mengirim anaknya ke London. Tragisnya , anaknya memutuskan bunuh diri dengan membakar rumah dimana dia tinggal , di awal tahun 1979. Gladys tenggelam dalam duka mendalam dan tidak pernah pulih seutuhnya.
Di tahun 1980 , suasana Tiongkok mulai kondusif di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping. Pasangan Gladys dan Yang mulai disibukkan dengan aktivitas baru dan berteman dengan banyak penulis muda pasca-Mao. Keluarga Yang memperkenalkan generasi muda terhadap penerjamahan Barat.
Gladys menjadi tertarik dengan gerakan wanita . Dia menerjemahkan penulis muda wanita yang telah matang di tahun-tahun revolusi , mempublikasi beberapa diantaranya bersama Virago Press. Kebebasan di masa Deng juga memberikan kesempatan bagi keluarga Yang untuk mengunjungi berbagai universitas di Asia dan Eropa , termasuk juga almamater mereka , Oxford.
Keluarga Yang kembali ke Beijing di tahun 1989.Di tahun-tahun terakhir kehidupannya , Gladys menentang insiden Tiananmen. Kehilangan vitalitas di masa tua , Gladys mendapat perhatian ekstra dari suaminya , putrinya dan mertuanya. Segenap kerabat dan teman mengunjungi Gladys dengan senyum.
Gladys wafat di Beijing pada usia 80 tahun ditahun 1999 dengan meninggalkan suami , dua puteri dan empat cucu.
REFERENSI :
- William Honan , “Gladys Yang Is Dead At 80 ; Translated Chinese Classics” , NY TIMES , 24 November 1999
- “Obituary Gladys Yang” , Guardian , 24 November 1999.
- Yang Xianyi ,”White Tiger : An Autobiography” , Hong Kong , Chinese University Press , 2002 dalam Diana Lary, “China’s Republic” , Cambridge University Press, 2007
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa