10.Sehari-hari di Perkampungan Kami.
Musim panas terasa sangat panas di perkampungan kami. Pabila pada puncaknya -antara bulan Juli dan Agustus, terutama minggu kedua bulan Juli sampai minggu pertama bulan Agustus – cuaca panasnya sampai 43 dC. Ketika itu maunya hanya minum air-sejuk saja. Dan nafsu makan sangat kurang dan juga rata-rata kami kurang tidur. Jam 21.00 masih terang dan tidak perlu menyalakan lampu, dan pada jam 05.00 sudah mulai terang dan perlu memadamkan lampu. Selepas kerja dari ladang – kami masih punya banyak waktu sampai ke waktu tidur malam. Ketika itulah banyak teman-teman dengan masing-masing kegiatannya. Ada yang berolahraga main badminton ada yang main volley dan ada yang jalan kaki – jalan jauh sampai satu dua jam.
Kami berdua mas Bad ( sudah meninggal tahun 1998 ) biasanya berenang di telaga yang agak besar, tak berapa jauh dari perkampungan kami. Banyak juga yang berenang antara teman-teman kami. Di seberang sini – kami para melayu ini dan di seberang sana – kawanan kerbau juga berenang dan main air – berendam – dan apa yang saya ceritakan ini adalah betul-betul kawanan kerbau seperti di kampung kita. Dan sebelum sampai ke telaga itu, kami melewati perladangan kami – yang kami kerjakan sendiri. Dan sambil melihat ke kiri dan ke kanan, kami petik buah timun-suri yang besar dan sudah pada matang.
Di tempat kami namanya melon. Dan enak sekali. Yang heran dan ajaibnya – kami petik buah melon itu dengan rasa mencuri – sebab secara liar – padahal sebenarnya tadi siangnya kami juga yang menyiram – menyiangi dan memperbaiki galangannya. Dan sorenya kami curi sendiri yang kepunyaan bersama kolektive kami. Tapi yang namanya mencuri adalah mencuri – nggak usah macam-macam berdalih. Rasanya lucu juga yang kami kerjakan ini. Rasanya mencuri cara begitu asyik juga – dan rasa buahnyapun enak juga.
Pada suatu kali kami dikejutkan oleh suatu kejadian. Ketika seorang teman kami – malam-malam melewati jalan tikus yang sebelah menyebelahnya masih tergenang air karena hujan lebat kemarennya – mau bertandang ke blok lain – tiba-tiba terasa di kakinya ada gigitan. Tetapi dia, teman kami itu namanya Bung Elemen, tidak membawa batere atau sentolop bahasa antara teman-teman kami. Ketika itu tidak terasa sakit yang serius. Tetapi beberapa puluh menit kemudian terasa sangat sakit dan sangat menyengat. Dan dia lalu merintih.
Teman yang menyaksikan luka di atas telapak kakinya sudah merasa curiga – ini adalah gigitan ular yang sangat berbisa. Karena kakinya itu menjadi bengkak besar sekali – dan badannya menjadi gemetar. Segera teman-teman sekeliling kamarnya membawanya ke puskemas. Oleh dokter Yang namanya – segera diobati – diinjeksi penahan sakit dan pencengkal bisa – racun. Tetapi Mas Elemen masih tetap merasa sakit dan sambil merintih. Banyak teman-teman yang mengerumuninya menyatakan rasa iba-kasihannya. Malam itu juga pihak tuanrumah dan puskemas kami mengambil keputusan, bahwa mas Elemen dibawa ke kota – ke Nanchang buat masuk rumahsakit-tentara yang biasa kami berobat. Mas Elemen disertai dua dokter dan satu jururawat.
Kabarnya setelah kami ketahui keadaannya – nyaris saja kami kehilangan mas Elemen. Gigitan ular itu adalah gigitan ular-lima-langkah. Yang terkenal di antara orang kampung penduduk Jiangxi sebagai ular yang sangat berbisa. Biasanya kebanyakan orang yang dipagut – digigitnya – hanya lima langkah bisa hidup – lalu mati tegeletak karena bisa-racunnya yang luarbiasa. Sesampainya di rumahsakit sampai keesokan harinya, mas Elemen masih sakit serius – badannya membiru dan gemetar seperti orang sakit malaria. Sesudah hari kedua dan ketiga, barulah mas Elemen terlepas dari krisis penyakitnya. Dan betapa cukup sengsaranya mas Elemen – setelah hampir tiga bulan di rumahsakit tentara itu – barulah mas Elemen dinyatakan sembuh dan boleh pulang ke perkampungan kami. Kami para tembur – tembak burung yang biasanya selalu bertemu berjenis ular – semakin sangat berhati-hati – tidak sembarangan seperti dulu lagi. Tidak berani lagi secara sembarangan tiduran di bawah pohon rindang yang kelindungan dan sepoi-sepoi angin bertiup lalu menidurkan kami. Tidak tahu dan tidak terasa seekor ular menaiki badan kami – dan begitu terasa, sangat pantang lalu mengejutkan si ular – sangat berbahaya.
Mengingat pengalaman masing-masing ini, kami lalu sangat berhati-hati. Pabila ada teman-teman yang nekat lagi tiduran di bawah pohon rindang karena kelelahan- kepanasan dan ngantuk, lalu ada teman yang meningatkan …..”emangnya ente mau jadi mas Elemen – tiga bulan dikerangkeng di rumahsakit. Mau ya?”. Lalu teman itu ingat peristiwa menyedihkan di perkampungan kami. Tapi yang namanya tergila-gila pada hobby nembak – mana ada kata kapok atau jera! Termasuk saya! Tetap saja kami sebagai penembur, juga suka nangkap ular, karena daging ular sangat enak – apalagi kalau di sop oleh mbak Martini – dengan banyak mericanya – bukan main enak sop ular itu – lupa akan adanya ular lima langkah yang mengigit mas Elemen dulu itu.