13. Sehari-hari di Perkampungan Kami
Menurut saya – sebenarnya kehidupan kami sehari-hari di perkampungan kami ini – cukup baik bahkan mungkin sangat baik. Kami dapat uang-saku dari tuanrumah – makanan berlimpah – disediakan obat-obatan dan dokter – dokter memetiksa setiap orang pada waktunya dan datang sendiri ke kamar-kamar. Orang tua dan yang tidak sehat, sangat diperhatikan. Semua dijamin – pakaian dapat dari pembagian. Lalu dapat rokok gratis lagi – semua kebutuhan disediakan – dan lagipula bukankah ada uang-saku setiap bulan. Secara fisik – secara kebutuhan kehidupan dari materi, semua ada dan disediakan. Menurut saya lagi, yang tidak ada itu adalah kebebasan pribadi sebagaimana manusia normal – seperti orang-orang yang normal itu. Tetapi hal inipun sangat relative – setiap orang memandangnya akan berbeda – tak sama. Apalagi seandainya kita berpikir – beginilah orang yang kalah dalam perjuangan-keras – menerima semua pengaturan. Tetapi hal beginipun tetap masih bisa diterima. Sebab
tanggungjawab kehidupan secara fisik semua kami ada pada tuanrumah. Tuanrumah menjamin semua kebutuhan dan keperluan hidup secara fisik. Mau bebas seperti orang normal itu, adalah tidak mungkin.
Tetapi apalagi sih! Kebun – perladangan disediakan – tanah buat bertanam apa saja disediakan. Buat bertukang – pekerjaan-tangan ada bengkel dan gedungnya. Mau olahraga apa saja ada tempat dan arena-nya. Mau berbelian ke kota secara kolektive, tetap disediakan secara bergiliran dan menurut permintaan secara pengajuan permintaan – tetapi diatur satu bulan dua kali. Mau makan secara permnitaan – dapur siap menyediakannya. Sebenarnya menurut saya – kami ini berkehidupan cukup dimanjakan tuanrumah. Setiap musim-panas disediakan peninjauan ke provinsi Tiongkok lainnya. Selama satu bulan penuh diadakan dan diatur peninjauan yang selalu naik kereta-api – naik kapal bahkan naik pesawat dan ditempatkan di hotel yang terbaik di kota-kota tertenu. Makanannya menurut mekanan tamu istimewa! Tetapi maklumlah teman-teman di antara kami ini. Selalu ada-ada saja yang tidak puas. Kurang inilah kurang itulah – mau inilah mau itulah – dan dengan kata yang tidak begitu enak didengar, adalah cerewet!
Sudah tentu kami tidak bisa mau ke mana saja ke kota lain secara sendiri dan semaunya. Misalnya besok atau lusa mau ke Shanghai atau ke Beijing. Mau jalan-jalan – mau lihat-lihat – mau pelesiran biasa. Ini tidak mungkin! Kami hidup secara kolektive – secara punya aturan dan disiplin sendiri. Dan perkampungan kami adalah salah satu proyek yang dijaga bagian keamanan TPRT = Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok. Sebab mereka bertugas melindungi tamu-tamu asing – tamu-tamu luarnegeri. Sedangkan komposisi perorangan kami – berasal dari banyak lapisan dan bidang pekerjaan dulunya – dan pendidikan tertetu. Di kalangan kami banyak insinyurnya – banyak dokternya – banyak profesornya – banyak tenaga akhli lainnya. Banyak mahasiswa yang hampir menamatkan pelajarannya. Tetapi karena peristiwa-gelap-bangsa tahun 65 itu, tidak bisa pulang dan menjadi orang buronan! Dan beginilah komposisi kami itu.
Banyak anak-anak yang lahirnya di luarnegeri. Tidak hanya di Tiongkok tetapi juga ada yang lahir di Uni Sovyet – ketika zaman itu. Dan semua anak-anak ini begitu berkumpul di tengah masyarakat Tiongkok, mereka semua lancar berbahasa Tionghoa – sama dengan anak-anak orang Tiongkok para tetangga kami yang orang Tiongkok totoknya. Di perkampungan kami ada SD berbahasa Tionghoanya. Pabila sudah duduk di SMP – mereka akan melanjutkan bersekolah di ibukota kabupaten – namanya Gao An. Antara kami sudah bersepakat – terutama para orangtua dan teman-teman yang bertanggungjawab, bahwa anak-anak kami ini harus belajar bahasa Indonesia. Kebetulan buat bertugas mengajar bahasa Indonesia itu adalah saya – karena dulunya saya berasal dari bidang pekerjaan pendidikan – sebagai mahaguru di Institut Bahasa Asing – Beijing. Teman-teman memutuskan bahwa anak-anak kami yang puluhan banyaknya ini diharuskan belajar bahasa Indonesia. Mereka kebanyakan belum pernah belajar bahasa Indonesia. Antara mereka setiap hari selalu berbahasa Tionghoa.
Jadi ketika mulai pertama mereka diharuskan masuk kelas buat belajar bahasa Indonesia – yang diatur dua kali dalam satu minggu – ketika selepas mereka bersekolah SD-nya. Mereka mulai belajar bahasa Indoensianya pada jam 15.00 dan hanya dua jam setiap kali mata-pelajarannya. Tentu saja ada yang merasa senang – tetapi tidak sedikit ada juga yang merasa malas-malasan dan tidak bersemangat. Saya yang langsung memberikan mata-pelajaran bahasa Indonesia ini – merasa sedih juga – dan merasa agak sedikit tertekan, karena mendengar anak-anak itu bertanya dan berkata tentang matapelajaran bahasa Indonesia ini.
Seseorang anak – namanya Tin yang sebaya dengan anak saya, Nita, bertanya “Nita jin tian you mei you wei wen…? Shi ni papa ciao shima….( Nita, hari ini ada tidak palajaran bahasa asing. Kan katanya bapak kamu yang ajar ya kan?). Aduh mak! Bahasa Indonesia mereka anggap adalah bahasa asing…dan bahasa Tionghoa adalalah bahasa mereka sendiri…..Ketika dialog antara anak-anak itu, saya berpikiran – tugas yang saya hadapi ini bukan hanya mengajar bahasa saja – tetapi menyadarkan mereka bahwa yang diajarkan ini adalah bahasa mereka sendiri – dan tugas ini bukanlah tugas ringan – ini termasuk tugas kejiwaan – tugas nasionalisme. Tetapi harus dipikul,-