14. Kritik Dan Otokritik
Tak terhindarkan – tak dapat ditolak – bahwa antara kami-pun terkena pengaruh RBKP = Revolusi Besar Kebudayaan Proletar di Tiongkok. RBKP ini sungguh banyak membawa kerugiannya – baik kerugian barang – benda budaya – dan bahkan jiwa manusia karena perkelahian – pertempuran antara sesaudara – sebangsa. RBKP adalah pergolakan bangsa Tiongkok yang luarbiasa besarnya. Tetapi oleh Konggres Nasional PKT, sudah dinyatakan bahwa RBKP pada pokoknya salah. Sudah banyak rehabilitasi dan segala sesuatu dikembalikan kepada proporsi yang sebenarnya. Dulu ada sebutan revisionisme Liudeng – yang dimaksud adalah Liu Shao-chi dan Deng Siao-bing. Padahal dua tokoh pimpinan Tiongkok ini adalah putra-putra bangsa termasuk terbaik. Tapi
keduanya sudah direhabilitasi. Bahkan Deng Siao-bing yang telah berhasil membawa Tiongkok ke permukaan dunia – hubungan luas antara bangsa dan dengan perekonomiannya sekarang ini – maju pesat.
Ada satu segi dalam kehidupan kami di perkampungan kami ini – ada acara keluarga yang namanya Dou She Bisiu = Kritik Otokritik. Kritik Otokritik dilakukan pada acara KO ( Kritik Otokritik) ini. Boleh orangtua mengkritik anak dan boleh anak mengkritik orangtua mereka. Atau anak mengkritik saudaranya sendiri – antara abang dan adik atau antara kakak dan adik – bebas tak terbatas. Tetapi menurut “dasar dan peraturannya” kritik itu haruslah bersifat membangun dan menyadarkan dan bukan buat menyakitkan hati atau melukai seseorang. Tetapi tidak sedikit yang tidak menuruti “dasar dan aturan” itu! Bahkan ada yang menggunakan forum ini buat mengganyang orang yang tidak disukai dan ada nafas “balas-dendam”.
Istri saya, Wati, menjadi kepala bagian pendidikan anak-anak di perkampungan kami. Dia mengepalai bagian pendidikan anak-anak SD – baik dalam pengajaran maupin dalam kehidupan anak-anak itu sehari-harinya. Tidak ringan pekerjaannya ini. Dan besar sekali tanggungjawabnya kepada orangtua anak-anak itu sendiri maupun kepada teman-teman lainnya, kepada suatu angkatan muda. Saya sebagai guru bahasa Indonesia termasuk bawahan istri saya – saya salah seorang anak-buahnya.
Suatu kali ada laporan dari beberapa orang teman kami – bahwa ada serombongan anak-anak – ditemukan sedang dekat kandang kambing – yang jauhnya beberapa puluh meter saja dari perumuhan kami. Katanya anak-anak itu, adalah anak-anak kami dan anak-anak Tiongkok. Mereka bergerombolan sedang main-kartu dan merokok. Akhirnya semua anak-anak yang terlibat main kartu dan merokok itu dipanggil masuk kelas – buat didengar kesaksiannya – siapa saja yang main kartu dan merokok itu. Semua anak-anak ini berusia antara 6 tahun sampai 9 tahun. Guru-guru Tiongkok juga hadir bersama – sebab SD yang ada di perkampungan kami itu adalah sekolah gabungan semua anak-anak yang hidup bersama di perkampungan kami,- termasuk anak-anak Tiongkok.
Setelah semua hadir – bagian pendidikan pihak Indonesia dan pihak Tiongkok – dan guru-guru, termasuk saya sebagai guru bahasa Indonesianya,- rapat dibuka. Dan bagian pendidikan menanyakan dan menganjurkan agar mengaku secara jujur dan terbuka – berani mengakui kesalahan. Saya lihat di antara anak-anak itu, ada anak saya yang terkecil – Nita. Nita memang terkenal bandel dan badung dan tomboynya. Tetapi kami orangutuanya tidak menyangka bahwa rombongan anak-anak nakal ini terdapat Nita dan “sebagai tokoh” lagi! Si Jendul anak laki yang sebaya dengan Nita, satu kelas dituding oleh teman-temannya sebagai kepala bagian main kartu dekat kandang-kambing itu. Dan Nita sebagai kepala yang mulai mengajak teman-teman lainnya buat merokok! Ketika itu umur Nita belum sampai 7 tahun! Mendengar kesaksian banyak teman-temannya ini dan tidak pula diingkari oleh yang tertuduh,- saya melirik kepala bagian pendidikan anak-anak itu. Bunda Wati tercenung dan saya lihat “tampak airmukanya agak suram – diam dan sedikit pucat mendengar anaknya sendiri – wanita kecilmungil pula – tetapi menjadi kepala gerombolan tukang merokoknya”. Dalam batin saya, tentulah dia sebagai ibunya dan sebagai kepala bagian pendidikan anak-anak, akan sangat merasa terpukul mengetahui tentang anak bungsunya ini – jadi anak yang sangat badung – bandel – yang padahal anak perempuan lagi!
Saya lihat – sehabis rapat – semua tokoh bagian pendidikan anak-anak dari kedua belah pihak – pada rapat dan berunding lagi. Belakangan saya dengar dan ketahui – banyak guru-guru Tiongkok yang datang kepada Bunda Wati – buat membesarkan hatinya agar jangan merasa terlalu terpukul karena anaknya sendiri sudah begitu bandel. Anak-anak Tiongkok-pun ada yang turut merokok – termasuk anak-anak gurunya sendiri. Tetapi pengurusan mereka – mereka selesaikan di bagian intern mereka.
Ketika sesampainya di rumah, saya menunggu Bunda Wati – istri saya – mau membicarakan persoalan anak kami si Nita badung yang merokok ini. Saya sangat pesankan agar sekali-kali jangan main tangan – jangan memukul – jangan memaki. Beri alasan dengan baik – beri pengertian yang masuk-akal. Tetapi malah yang saya lihat – Wati-lah yang menangis – sangat sedih mengetahui anaknya yang bungsu itu turut bahkan menjadi kepala yang bagian merokoknya. Padahal kami di rumah tidak seorangpun yang merokok. Kemudian saya lihat Nita pulang dan mencari ibunya. Diketahuinya ibunya sedang menangis. Dan Nita saya lihat mendekati ibunya. Tetapi ibunya berdiam diri sambil terisak-isak sedih. Saya lihat Nita memeluk ibunya – merangkul ibunya sambil berkata…duibuji mama…duibuji mama….sambil juga menangis ( maaf ibu…maaf ibu…). Lalu mamanya rupanya tergerak juga hatinya buat memaafkan anak bungsunya ini. Tak ada banyak dialog. tetapi dengan airmata sedih dan sama-sama menyesali diri itu – mereka sudah bersatu dalam kebersamaan. Dan saya sendiri-pun merasa cukup lega dan ber-‘besar hati karena saya saksikan anak saya dan istri saya sudah saling memaafkan,-