15. Dua Anak Saya
Dua Anak Saya )
Kami punya dua anak – semua perempuan. Yang tertua bernama lengkapnya Wita Asia Latina – dipanggil Wita saja, lahir di Jakarta di rumahsakit Tjikini. Ketika usianya baru saja satu tahun lebih sedikit – kami pindah ke Beijing – Tiongkok. Ketika itu tahun 1963. Di Beijing lahir adiknya. Nama lengkapnya Wanita Tekun Pertiwi, dipanggil Nita saja. Pabila ada orang menanyakan kepada saya, siapa nama anaknya, dan pabila saya sebutkan nama lengkapnya – Nita tidak begitu suka. Dia hanya mengenalkan dirinya sebagai Nita saja. Dua anak kami ini – sebagaimana galibnya dua saudara – akan selalu tidak sama – bahkan bertentangan sifat-sifatnya – tabiatnya – perilakunya. Saya lihat dan perhatikan akan selalu pabila dua saudara. Sama juga dengan saya dan adik saya, dan abang saya dengan abang satunya lagi. Juga istri saya dengan kakaknya yang di Medan itu – akan selalu tidak sama bahkan bertentangan. Begitulah dua anak saya ini. Wita lebih impulsif dan adiknya lebih eksplosif.
Wita selalu suka jalan – ke mana-mana – tidak begitu suka berdiam di rumah. Nita selalu suka di rumah – dia lebih banyak ada di rumah daripada kakaknya. Wita lebih suka baca – suka ilmu pengetahuan. Nita jauh lebih suka akan kesenian dan kebudayaan. Wita lebih dekat ke ibunya – lebih bergaul mesra. Sedangkan Nita lebih dekat ke saya – ke ayahnya. Mungkin inipun ada sebabnya. Karena Wita dan Nita ini berbeda umurnya dan sekolahnyapun berbeda, sehingga ketika suatu waktu Wita harus pindah ke ibukota kabupaten – Gao An, buat meneruskan sekolahnya, sedangkan ibunya juga ketika itu meneruskan sekolah bidannya di sana. Jadi Wita dan ibunya ada pada satu ibukota kabupaten. Ketika ibunya meneruskan sekolah kedokteran bagian gynecolog-obstretikus – di ibukota provinsi – Wita lebih dekat dan lebih sering bertemu ibunya. Sedangkan Nita selalu ada di desa – perkampungan kami – karena memang tidak ada kebutuhannya buat diam dan tinggal di ibukota
kabupaten apalagi ibukota provinsi. Jadi di rumah, tinggal kami berdua. Dua minggu sekali atau tiga minggu sekali – kami kumpul. Ibunya dan kakaknya – Wita, pulang berlibur mingguan dan kami lengkap berempat.
Pabila Nita sakit – dan ada saja sakitnya – demam – pilek – influenza – sakitgigi – panas – selalu dekat saya dan selalu dengan saya di rumah. Mungkin karena faktor semua itu – lalu Nita merasa dekat dengan ayahnya daripada ibunya. Ketika beberapa kali sakit – selalu ibunya ketika itu ada di Gao An dan Nanchang – ibukota kabupaten dan ibukota provinsi – di mana dia belajar kebidanan dan lalu kedokteran – yang akhirnya lulus bagian akhli-kewanitaan – gynecolog- obstretikus – akhli-bedah kewanitaan. Ketika kami berdua dengan Nita di rumah – sebenarnya tidak begitu sulit buat mendidik Nita – tetapi memang ada satu hal – karena anak ini lincah – bandel
– sedikit badung dan lalu ada unsur tomboynya, ada saja yang menjadikan “berita kecil”di perkampungan kami. Salah satu ketika dia “mengepalai” anak-anak sebayanya merokok dekat kandang-kambing itu. Lalu ada lagi
kejadian lain. Ketika teman wanita mau masuk kamar-mandi-wanita buat mencuci pakaian dan mandi, dengan belum apa-apa lalu segera marah-marah. Karena kedengaran olehnya – ada laki-laki masuk kamar-mandi-wanita. Padahal kamar-mandi-laki-laki di sebelah kamar-mandi-wanita. Yang mendengar dan dengan kecurigaan itu kebetulan, seorang teman wanita yang satu grup dengan saya. Dia ini si Tin, orangnya besar-tinggi dan selalu agak galak. Galak kepada siapa saja, kecuali kepada suaminya – yang walaupun suaminya ini adalah laki-laki yang paling sabar di seluruh perkampungan kami. Suami si orang Jawa dan istri si orang Sulawesi.
Mendengar dalam kamar-mandi-wanita ada orang bersiul-siul dan siulnya itu tak pelak lagi – pastilah orang laki yang seharusnya masuk kamar-mandi-laki-laki. Ini pastilah secara sengaja bikin marah kaum wanita – kira-kira begitulah pikiran si Tin. teman se-grup belajar saya ini. Dengan membawa sepotong kayu – siap-siap buat apa saja yang akan terjadi, si Tin membentak dari luar……..
“Hei siapa itu…ayo keluar…lekas
keluar…dengar nggak kata saya…lekas keluar…”. Tapi yang di dalam
kedengarannya tenang-tenang saja……
“Hayo siapa itu…lekas keluar……!”
“Saya tante……..
“Saya siapa…..siapa kamu…?
“Saya..Nita..saya Nita, tante….
Mendengar suara yang memang suara wanita, si Tin segera masuk….
“Kamu ada-saja sih Nit….tante kira kamu anak laki – kok pakai bersiul
segala sih Nit…
Dan Nita serta tante Tin-nya sama-sama tertawa – dan merasa lucu tapi nyaris…. Dan sepotong kayu setengah meteran tadi ditinggal di tepi kamar-mandi-wanita.
Begitulah Nita – selalu membawa cerita-cerita kecil di perkampungan kami. Pergaulannya lebih setengahnya dengan teman-teman sebaya laki-laki sama-sama murid SD di perkampungan kami. Sedangkan pergaulan kakaknya lebih banyak teman wanitanya yang sebaya. Wita pandai melukis – cat air dan cat minyak dan pernah diikutsertakan dalam pameran lukisan anak-anak SD di Gao An. Ketika Nita sakit – lalu harus tinggal di rumah – saya merawatnya sebagaimana ibunya merawatnya. Sambil di tempattidur – dia membaca dan melihat buku komik cerita tentang Maxim Gorki dalam bahasa Tionghoa. Saya merasa sangat senang melihat dan mengetahui Nita sedang membaca dan mengamati gambar-gambar tentang cerita Maxim Gorki. Agar dia tahu siapa itu Gorki……
Tetapi ada hal lain yang dia paling tertariknya….
“Papa…saya mau makan yang dimakan Maxim Gorki……..”. Saya lihat – apa sih yang Nita begitu tertarik – yang dimakan Gorki – lalu dia juga mau makan yang seperti Gorki makan…… Setelah saya lihat…apa sih…..
“Ya, Allah ya Tuhanku………
NIta sangat tertarik mau makan sosis! Sosis Rusia yang besar dan sangat menarik itu…berkilat…licin – mengkal…tebal dan gemuk. Memang sangat selera melihatnya…
“Nita sayang….di perkampungan kita tidak ada sosis yang begitu, sayang. Papa kira di Gao An-pun tidak bakal ada. Kalaupun ada barangkali ada di Nanchang – di hotel-hotel besar dan internasional. Papa hanya pernah melihat sosis begitu ada di Beijing – ibukota negara…” Saya lihat wajah dan airmuka Nita – jauh memandang dan
merenung….barangkali dia membayangkan bagaimana sedap dan nikmatnya makan sosis yang seperti dimakan Maxim Gorki itu. Kami ada di perkampungan di pedesaan jauh dari kota – terpuruk di pedalaman Tiongkok Selatan. Mana pula bisa mau makan yang seperti dimakan Maxim Gorki itu, nak? Begitu pikir saya. Saya memahami kehendak yang “rada tidak biasa ini ada pada anak saya”. Ketika itu dia ada dalam keadaan sakit. Sangat sulit mau makan – tak ada mafsu makan. Sekali dan begitu ada nafsu makan…alah mak susahnya buat
mendapatkannya dan katakanlah tidak mungkin dengan kehidupan kami begini. Dalam batin saya – nak, kamu lihat dan contoh-teladani apa yang diperbuat dan apa yang dihasilkan Maxim Gorki – janganlah melihat dan membayangkan apa yang dimakan Gorki. Payah kita, nak, payah…..