17. Kesepian dan Kangen?
Sesuai dengan kemajuan zaman dan Tiongkok sudah sedikit terbuka – di mana Menlu AS bahkan mantan presiden Nixon pernah datang dan mengunjungi Tiongkok yang disebut ketika itu “politik dan diplomatik – bola-pingpong”,- maka ada perubahan pada kehidupan kami. Banyak teman-teman kami yang sudah keluar dan
bepergian yang kami tidak tahu ke mana dan buat berapa lama. Semua pengaturan memang dibuat demikian – pabila tidak ada kepentingannya buat kita ketahui – tidak perlu terbuka semaunya. Segala sesuatu ada aturannya – ada cara mainnya. Maka teman-teman yang tadinya begitu banyak di perkampungan kami – lama-lama menyusut – lama-lama terasa ada yang kurang – rasanya agak sepi di perkampungan kami.
Sudah itu, karena anak-anak dan ibunya juga tidak ada di perkampungan kami, maka saya benar-benar sendirian di rumah. Ibunya – istri saya – melanjutkan sekolahnya di ibukota kabupaten – kota kecil Gao An – dan juga Wita bersekolah SMP-nya di kota itu. Lalu karena Nita sudah tamat SD, dan harus pula pindah melanjutkan sekolahnya di Gao An – maka tiga beranak itu ada di satu kota. Tetapi tak lama kemudian – ibunya lalu pindah lagi ke ibukota provinsi buat meneruskan sekolahnya – mengambil keakhlian tentang penyakit dan kesehatan tentang kewanitaan. Jadi kini – ketika itu – dua anak saya di Gao An dan istri saya di Nanchang,- dan saya di pedesaan – perkampungan gunung Desa Kepala Ayam. Kami berkumpul secara lengkap dalam satu bulan hanya dua kali – terkadang hanya satu kali. Mereka pulang pada Sabtu pagi dan kembalinya pada Senen pagi.
Ketika bersama pulang – dan kami secara lengkap di rumah – ada-ada saja cerita mereka ketika di ibukota kabupaten dan ibukota provinsi. Ibunya bercerita bagaimana mula-mula dia bertugas-jaga di pintu depan – penerimaan tamu – para pasien yang datang berobat. Dia ditegur oleh profesornya – karena salah dalam mengajukan pertanyaan.
Dia tanya “anaknya berapa?”,- dan ibu orang pedesaan itu menjawab hanya satu. Lalu gurunya memperbaiki pertanyaan itu “anak kamu yang laki-laki ada berapa dan yang perempuan ada berapa?”. Setelah dalam kelas dijelaskan oleh gurunya, barulah dia tahu. Orang pedesaan hanya menghitung jumlah anak laki-laki, sedangkan jumlah anak perempuan tidak masuk hitungan! Mengetahui perkara ini, Wati merasa sangat sedih – lalu marah – tapi lalu mau apa? Orang-orang pedesaan – apalagi tak pernah mengenyam pendidikan – akan sangat berat sebelah dalam menghargai anak dan manusia. Yang ditanyakan Wati ketika mendapat teguran gurunya –
ternyata ibu itu punya satu anak laki dan dua anak perempuan – tetapi dua anak perempuan itu tidak masuk hitungan! Sungguh keterlaluan – telalu menyedihkan buat menjadi anak perempuan. Perkara ini sebenarnya perkara lama yang sesungguhnya ada pada masarakat lama – tetapi sisa-sisanya masih ada – terutama di pedesaan.
Banyak hal-hal yang baru didapatkan dari berbagai pengalaman mereka. Begitu juga pengalaman anak-anaknya yang di Gao An. Di mana masih ada anak-anak yang pergi ke sekolahnya tidak bersepatu – karena memang anak-anak tani-miskin.
Sebelum mereka bertiga datang di perkampungan kami – pada Sabtu siang itu – saya sudah sejak kemarennya siap-siap masak beberapa macam masakan. Terutama buat kami bersama – lalu buat dibawanya ke kota ketika mereka kembali ke kota. Buat Wati – tentu saja balado-daging yang pedas. Dan buat dua anak-anak itu makanan setengah kering, buat disimpan agak lama. Saya sudah sibuk sejak hari Jumatnya. Saya pergi ke pedesaan yang jauh – ketika hari pasaran, saya membeli daging dan ayam hidup. Di pedesaan sekitar perkampungan kami – selalu ada hari pasaran. Biasanya satu kali satu pekan – ada yang dua kali satu pekan. Jauh pedesaan itu ada yang 5 sampai 10 km dari pedesaan kami. Dan saya tidak merasa terlalu jauh buat mendatanginya. Kalau
kita mau dan ada pula semangat – sedangkan semua ini adalah buat sekeluarga yang sangat kita sayangi – manapula ada ukuran jauh dan lelah – tak ada! Semua dilakoni.
Di hari pasaran itu, biasanya sejak pagi-pagi sudah mulai orang-orang berdatangan. Terutama orang-orang berjualan, lalu yang bermaksud berbelian. Di hari pasaran ini, banyak sekali jualan yang kita tidak sangka tetapi
ternyata ada. Hanya sesuai dengan keadaan pedesaan, maka yang orang perjualbelikan juga sesuai dengan kebutuhan orang-orang di pedesaan. Misalnya ada jualan alat-alat dapur – kuali – panci – piringmangkuk – lalu
ada jualan selimut – makanan banyak sekali. Dan ada orang menjual ayam – kambing – kerbau sampai kuda. Saya pernah menanyakan berapa harga seekor kuda. Katanya antara 1500 sampai 2000 yuan. Harga seekor kambing antra 50 sampai 100 yuan. Harga ayam antara 7 sampai belasan yuan. Ada juga yang praktek pasang-gigi-palsu. Ada obat-obatan kuat – obat perkasa laki-laki. Dalam hati saya, ternyata para petani inipun tidak asing dalam perkara ranjang demi ranjang ini – bukan monopoli orang kota saja rupanya.
Pasaran ini juga sebenarnya tempat rekreasi. Orang datang ke sana tidak mutlak karena ada yang harus dibeli. Tetapi bagaikan pasarmalam – orang-orang hanya datang dan melihat-lihat keramaian hari pasaran. Ada juga
jenis permainan – sejenis judi ringan – sebagaimana di kota-kota. Orang-orang pedesaan ini biasanya tidak bisa bahasa Tionghoa – mandarin-nya. Mereka hanya bisa bahasa setempat – bahasa lokal – bahasa pedesaan Jiangxi.
Kami hanya tahu sedikit-sedikit. Karena saya sering bergaul dengan orang-orang pedesaan itu, ketika tembur = tembak burung maupun ketika kami bertandang – dan bertamu di rumah orang-orang tani pedesaan atau ketika hari pasaran itu. Kami jadi tahu juga sedikit-sedikit bahasa Jiangxi mereka.
Ketika ke hari pasaran – terkadang saya berdua atau bertiga dengan teman-teman grup tembur. Terkadang saya sendirian – merasa akan lebih bebas sendirian. Dan terkadang ada kalanya saya memang membutuhkan buat bepergian sendirian saja.
Buat keperluan masak-masak “menyambut anak-anak saya dan ibunya” dan buat kami makan-malam bersama serta buat dibawa mereka ke ibukota kabupaten dan ibukota provinsi – saya bertitik berat beli ayam dan daging segar – buat dimasak. Agak berat juga dibawa pulang sampai belasan km pergi pulangnya. Tapi mana ada kerjaan berat pabila hati memang senang. Ini pengalaman. Pekerjaan seringan apapun pabila hati tidak suka – tidak rela mengerjakannya – selalu lekas capek lekas lelah,-