02. Sekolah Tujuh Mei
Nama pedesaan atau perkampungan kami – atau lebih jelasnya kompleks kediaman kami, adalah Wu Chi Gan Siao – nama di-Indonesia-kannya adalah Sekolah Tujuh Mei = Wu adalah 5, Chi adalah 7, dan Gan Siao – adalah Sekolah Kader – Gan dari ganbu = kader. Arti lengkapnya Sekolah Kader Tujuh Mei. Maksud semula di Sekolah inilah buat menggembleng kader-kader. Nama gerakan sekolah kami yalah buat Gerakan Pembetulan Fikiran = GPF atau juga Gerakan Pembetulan Langgam = GPL. Tadinya sebenarnya berasal dari Yenan – sebuah tempat atau pusat daerah basis ketika sedang sengit-sengitnya perang-dalam-negeri antara KMT versus PKT = antara penguasa Kuo Min Tang lawan Kun Chan Tang = PKT dengan pasukan pembebasannya.
Tentu saja karena yang dididik ini adalah kami orang-orang Indonesia yang bermaksud pulang ke tanahair, maka pendidikan disesuaikan dengan syarat-syarat kongkrit yang sesuai dengan apa adanya kami. Tetapi pada pokoknya samasekali tidak terlepas dari kerja-produksi. Ada dua matapelajaran yang pokok – teori dan praktek. Teori yang dimaksud adalah segala pelajaran teori – sejarah Indonesia – Gerakan Buruh Indonesia – pelajaran guru-guru filsafat seperti Karl Marx – Frederich Engels – sedikit tentang Fouerbach – Nietszhe – Lenin dan Mao Tse-dong sendiri. Pelajaran buku-buku klasik tentang gerakan sosialis dan komunisme. Dan beberapa guru filsafat lainnya. Ini dari segi teorinya yang dihubungkan dengan gerakan Rakyat Indonesia sendiri sejak adanya perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme.
Lalu tentang pelajaran berproduksinya – kami punya ladang pertanian sendiri – punya peternakan kambing – peternakan babi dan barisan pekerja bangunan – buat bertukang – seperti memperbaiki semua alat-alat produksi – membuat cangkul – pengki – memperbaiki kursi – meja dan sebagainya. Tanah pertanian – ladangnya – kami buka sendiri – mencangkul – membuat lajur tanaman. Yang kami tanam yalah wortel – kentang – sayuran sawi – ketela-rambat – kacangpanjang – melon – terong – semangka – cabe – serai – jahe dan banyak lagi. Kami juga turut membantu para petani sekitar kampung kami buat bertanam padi – bersawah. Tetapi kami hanya membantu, kami sendiri tidak punya sawah. Yang kami kerjakan adalah tanah perkebunan – bukan bersawah.
Jadi pengaturan waktunya seperti ini : pagi-pagi sekira jam 08.00 sampai jam 12.00 belajar teori – dari buku-buku klasik seperti Das Kapital itu dan banyak buku-buku lainnya termasuk karya Mao Tse-dong. Lalu jam 12.00 istirahat makan. Lalu pada jam 14.30 mulai bekerja buat berproduksi – pertanian dan peternakan. Sampai sore menjelang makan-malam jam 18.00. Semua teman bekerja di bagian masing-masing bidang. Ada yang bertani – berladang – cangkul-mencangkul – cabut rumput – menyiangi ladang – menyiram dengan mengangkuti pukuk – termasuk dengan pupuk-tinja manusia. Kami mengangkuti – memikul pupuk-tinja dari wc kami sendiri. Dengan pupuk inilah kami menyuburkan tanaman kami.
Yang bagian peternakan – mengangon kambing – menggembalakannya di bukit-bukit sekitar perkampungan kami. Di sekitar perkampungan kami banyak terdapat bukit-bukit – padang rumput yang bagus dan tebal sekali. Peternakan kambing kami pernah sampai 150 ekor kambing. Dan kalau sudah banyak begini, biasnya kami potong buat makanan. Kami sate – kami gulai dan banyak jenis makanan lainnya. Dan tukang potong – jagalnya, kebetulam saya sendiri. Sekali potong sampai 6 ekor, paling sedikit 4 ekor, dan kami pesta makan kambing. Rasanya sudah pernah saya tuliskan – selama kami hidup di pedesaan itu, antara tahun 1970 sampai 1977, saya sudah memotong 127 kambing, yang selalu ditemani anak saya Nita yang ketika itu baru berumur 6 tahun. Pagi-pagi jam 05.00 kami sudah harus berada di pejagalan – tak jauh dari dapur umum kami.
Bagian peternakan babi – markas-besar peternakana babinya – ada kandang luas yang harus selalu dibersihkan. Peternak babi – atau pemelihara babi ini ada timnya tersendiri – salah sorang anggota timnya adalah wanita. Dan wanita itu berasal dari Aceh dan adalah istri saya (almarhum). Bayangkan – wanita Aceh – sudah dulunya Islam – lalu pemelihara babi! Peternakan babi milik barisan kami – sampai 40 ekor. Biasanya kalau sudah banyak – lalu dijual oleh Markas Barisan kami – tuanrumah kami. Tentu saja orang Tiongkok yang mengurus dan menjaga – mengawal kami. Biasanya penjualan begini – kami samasekali tidak campurtangan. Tetapi tuanrumah kami selalu minta izin dan minta persetujuan kami sebagai pemeliharanya. Barisan produksi kami – selalu dapat pujian – karena babi yang kami pelihara sangat baik – gemuk dan sehat. Tentu saja ampas-umpan-makanannya adalah kebanyakan dari sisa makanan kami sendiri. Bayangkanlah walaupun sisa – kami ini orang asing – tamu asing yang sangat dihormati tuanrumah – makanannya terpilih – yang bagus kualitasnya dan cukup banyak kuantitasnya.
Lalu tanaman wortel yang dari perkebunan – perladangan kami – sangat bagus – besar-besar dan sehat pertumbuhannya. Banyak hasil perladangan – hasil perkebunan kami yang dijual – dikepasarkan. Semua ini urusan tuanrumah – tetapi kami semua ikut dengan perkembangannya – sama-sama mengerjakannya – mencatatnya dan menghitungnya. Semua keuangannya – masuk Markas Barisan Sekolah Tujuh Mei dan masuk perlengkapam dapur. Semua keuangan keluar-masuk dari hasil ladang dan perkebunan kami diurus oleh Markad Barisan – tuanrumah kami sendiri – dan dengan sistim administrasi terbuka – demokratis dan transparan. Oleh kerja produksi secara langsung begini sangat menggembirakan dua belah pihak – pihak tamu, kami sendiri dan pihak tuanrumah kami. Ketika suasana panen – apalagi ketika panen raya – kami semua sangat merasa gembira – rasanya kami ini benar-benar adalah para petani yang berhasil. Padahal kalau dibandingkan dengan para petani aslinya – penduduk sekitar perkampungan kami – akh kami ini belum apa-apanya – baru merupakan petani-intelektuil yang baru mengenal tanah dan air – baru mengenal pupuk-tinja-manusia – baru merasakan kerja berproduksi secara langsung. Tak usahlah kami merasa begitu ge-er!
Ada kalanya saya mau sedirian jalan merambahi hutan dan pegunungan. Dan memisahkan diri dari rombongan, dan teman-teman menyetujuinya asal selalu harus berhati-hati -, demikian katanya. Sebenarnya saya ingin sekali mempelajari gerak-gerik burung yang namanya beranjangan. Beranjangan ini seperti burung puyuh – sama bulunya – berbelang burik agak kecoklatan. Beranjangan terbang tinggi lurus ke atas, dan lalu berhenti di udara sambil mengepak-ngepakkan sayapnya. Dan melihat ke arah bawah – akan ke mana dia turun dan hinggap. Sama dengan burung puyuh – beranjangan tidak pernah hinggap di pohon – cabang pohon atau ranting. Beranjangan sama dengan puyuh, hanya hinggap di atas tanah lalu berjalan. Bedanya dengan puyuh – beranjangan bisa terbang begitu tinggi dan lurus ke atas, tetapi puyuh tidak pernah terbang tinggi. Hanya terbang rendah dan tidak jauh lalu hinggap lagi di tanah dan lalu jalan.