20. Sekitar Perkampungan Kami
Ketika sudah banyak teman-teman kami meninggalkan perkampungan – kompleks perumahan kami, termasuk dua anak saya dan ibunya – dua di kota kabupaten Gao An dan ibunya di ibukota provinsi Nanchang – maka bertambah sepilah kami. Bertambah sepilah saya. Rasanya perkampungan kami bagaikan baru saja ditinggalkan begitu banyak orang. Di rumah tidak enak – mau ke luar ya mau ke mana? Sekitar rumah – banyak tanaman – bunga-bunga dan tanaman buat makanan – seperti tanaman cabe – cabe rawit – cabe Vietnam – yang bukan main pedasnya. Ini sekitar depan dan pinggiran rumah. Di belakang – dekat saluran air dari dapur – saya tanami serai – yang kini sudah menjadi begitu subur dan tinggi batangnya.
Pembagian kerjanya gampang diuraikan. Istri saya bagian bunga-bungaan – bagian makanan mata. Sedangkan saya bagian tanaman makanan – yang buat dimakan – bagian perut. Semua tanaman yang boleh dimakan dan buat dimakan – sayalah yang bertanggungjawab. Baik menanamnya maupun memeliharanya – seperti menyiram dan memupukinya. Sudah menjadi adat kebiasaan – sudah umum – pabila tanaman pribadi – perseorangan – akan jauh lebih baik dan lebih subur daripada tanaman kolektive. Kebiasaan ini terjadi pada siapa saja – pada semua kami yang ada di perkampungan kami. Sebab banyak di antara kami yang punya tanaman pribadi – sepetak kecil di sekitar rumahnya. Dan tanaman itu bermacam-macam. Tanaman dan tetumbuhan buat makanan mata – penglihatan – maupun buat makanan perut – kenikmatan dan kelezatan buat selera. Ada tanaman daun sup – sledri ada tanaman cekur – kucai dan jeruknipis yang banyak digunakan dalam masakan dan ada tanaman kacang-kacangan – kacang panjang – kacang ercis dan lainnya.
Ketika saya diminta bertugas menyirami semua tanaman yang ada – tugas dari istri saya yang tak sempat merawat bunga-bungaannya – rasanya ada sedikit berat-sebelahnya. Tanaman bunga-bungaannya kurang begitu sepenuh hati saya menyiraminya – tetapi pabila tanaman saya sendiri – yang boleh dimakan itu – rasanya sepenuh hati saya menyiraminya. Tanaman cabe rawit dan cabe Vietnam saya bukan main subur dan lebatnya. Berbuah lebat dan subur batangnya. Dan pabila digunakan buat menyambal, bukan main pedasnya – jauh lebih pedas dari cabe yang biasa kita kenal.
Barangkali ada rahasianya yang saya sendiri terheran-heran. Pokok cabe itu saya pupuki dengan tahi ayam – kotoran ayam, Kata teman-teman yang lebih tahu tentang pertanian daripada saya – pupuk tahi ayam – memang sangat bagus buat tetumbuhan cabe – tetapi belum tentu bagus buat tanaman lain – misalnya bunga-bungaan. Karena pupuk tahi ayam – sangat panas, begitu katanya.
Jadi saya mencari pupuk tahi ayam – disekitar perumahan teman-teman Tiongkok. Karena mereka banyak beternak ayam sekitar rumahnya – kami tidak diperkenankan beternak ayam – dan lagi kata pengaturan tuanrumah kami – demi kebersihan. Namun demikian ada juga satu dua orang teman yang pelihara ayam satu dua ekor – yang tidak mengganggu tetangga lainnya. Tetangga kami ada yang pelihara ayam – itupun hanya seekor saja – yang saya sering tirukan bunyi suara kokoknya.
Pernah juga saya berkata dengan nada bangga – bahwa tanaman saya sudah diekspor ke luarnegeri. Ada teman yang memang dari Vietnam datang meninjau ke Tiongkok. Ketika pulangnya saya bawakan seikat serai yang sudah saya bersihkan – dan cabe rawit serta cabe Vietnam “hasil tanaman dan perkebunan kami” dari pedesaan Gunung Kepala Ayam. Alasan itulah yang saya sebutkan bahwa saya sudah meng-ekspor hasil tanaman saya……..
Ketika dua anak dan ibunya bertugas di kota lain, saya agak rajin menyiram dan merawat tanaman sekitar rumah kami. Kalau diusut-usut ternyata bukan karena rajin dan kerelaan dari hati – tetapi daripada sepi – tidak ada yang mendesak buat dikerjakan – maka menyiram dan mencari pupuklah saya. Dan kalau semua itu sudah saya kerjakan – saya lalu menuju ke pegunungan – jalan dan jalan. Naik bukit dan mendaki gunung yang ada di sekitar perkampungan kami. Dari puncak gunung itu akan tampak kompleks perkampungan kami. Bagus dan indah letaknya – di dataran lembah. Saya menikmati pemandangan semua ini. Tetapi siapakah akan menyangka – bahwa saya ketika itu sangat merindukan kampunghalaman. Kapan kami bisa pulang? Tidak ada surat-surat yang datang. Tidak ada berita yang bisa kami terima dari keluarga dan sanak-saudara. Begitu jauh dan begitu terpuruk di pedalaman – pedesaan Tiongkok. Selalu saya teringat akan emak dan ayah saya – teringat
akan abang-abang saya – abang tertua sudah mati diteror – disiksa dan tak seorang yang tahu di mana kuburannya. Saya selalu teringat akan semua itu.
Semakin sunyi-sepi di rumah dan di perkampngan kami – semakin sering saya teringat akan semua itu. Terkadang di luar kesadaran saya bahwa sudah ada air-putih-bersih yang menitik menggenangi keduabelah pipi saya – yang datangnya dari kelopak mata saya. Airmata tua saya – melepaskan kerinduan dan kekangenan saya akan keluarga – sanak-saudara dan kampunghalaman selama belasan tahun ini. Selalu saja ada pertanyaan pada diri saya… Kapankah kami bisa pulang….kapan dan kapan…?