21. Pindah Ke Pinggiran Kota
Setelah tujuh-delapan tahun kami berdiam di pedesaan Gunung Kepala Ayam, kami mendapat kabar bahwa kami akan pindah ke pinggiran kota di sekitar ibukota provinsi Nanchang. Perkampungan kami di Gunung Kepala Ayam bertambah sepi. Dan lagi kini – situasi ketika itu, Tiongkok sudah mulai berubah ke arah keterbukaan. Dan kami sendiri rupanya memang lebih praktis kalau bertempattinggal mendekati kota. Dan lebih banyak keperluan – kebutuhan yang adanya – tersedianya di kota. Misalnya saja tidak sedikit di antara kami yang bertugas di kota – sebagai mahasiswa – mahasiswa kedokteran – mahasiswa tehnik dan bagi para pelajar anak-anak kami yang sudah duduk di SMP maupun SMA. Dan juga yang bekerja sebagai dokter – dan juga yang diopname di rumahsakit – semuanya ada di kota. Rupanya tuanrumah kami sudah waktunya buat memindahkan kami mendekati arah kota. Dan ketika itu hubungan secara nasional dan internasional sudah banyak memainkan peranan harus mendekati kota – agar lebih praktis dan efisien.
Tetapi pada pihak lain,- pindah dan memindahkan kami ini bukan urusan gampang. Ini urusan bedol-desa – pindah satu kampung walaupun tidak banyak orangnya – tetapi sangat banyak barangnya. Dan apa saja barang-barang itu? Segala keperluan tetek-bengek yang selalu saya tuliskan susu-asma sebab sama dengan tetek-bengek. Terkadang sangat sepele – sangat tidak begitu penting. Tuanrumah kami sudah menjelaskan agar dalam kepindahan nanti – bawalah barang-barang yang sangat perlu saja atau yang perlu – yang selalu kita butuhkan sehari-hari – yang tidak boleh tidak, harus dibawa. Tetapi yang namanya melayu kami ini – segala macam cengkune – barang nyusuh kata orang Jawa – semua dibawa. Pot-bunga yang bunganya hampir layu-pun tetap disertakan. Bangku panjang yang sudah reotpun juga dibawa. Panci yang sudah peot – agak karatan, juga dibawa. Bekas botol-botol lecil yang tampaknya lucu – pada kecilmungil, juga tak dilupakan. Pisau dapur yang sudah pantas dibuang-pun juga dibawa. Sebab pemiliknya merasa sayang kalau dibuang – bukankah pisau-pisau itu telah berdiam di rumah kita selama ini dengan kita? Lalu harus kita buang mentang-mentang mereka tak begitu berguna lagi? Begitu alasan mereka – terutama kaum ibu di perkampungan kami.
Maka dapatlah dibayangkan. Begitu banyak barang-barang yang mesti dibawa. Akhirnya puluhan truk tentara memboyong kepindahan kami – bedol-desa berjalan sibuk dalam beberap hari. Termasuk tuanrumah yang mengurusi kami – sama-sama pindah. Dan tentu tidak lupa – bagaimana ternak kami – yang kami rawat dan pelihara selama ini? Juga pindah! Tetapi ada seleksi sedikit. Peternakan babi diserahkan kepada tuanrumah – teman-teman Tiongkok. Sedangkan peternakan kambing yang kian menyusut itu harus kami bawa ke perkampungan baru. Peternakan kambing yang kini tinggal puluhan yang tadinya ratusan – perspektifnya akan dihabiskan – akan ditiadakan. Termasuk dimakan sendiri – dan ada yang dijual. Biasanya pabila urusan luar – luar perkampungan kami – itu urusan tuanrumah,
Dari puluhan truk yang mondar-mandir antara pedesaan Gunung Kepala Ayam dan kota – hampir setiap hari bolak-balik. Dan pada minggu-minggu itu kami sibuk mengatur semua barang pindahan. Bayangkan bukan hanya rumah biasa – tetapi perpustakaan kami yang tidak sederhana itu-pun juga kami harus susun kembali. Gudang perpustakaan dan bengkel-pertukangan – dan kantin dan semua perlengkapan – pertokoan – klinik – puskemas – tempatcukur-rambut – dan alat-alat olahraga. Saya kira dalam satu bulan itu barulah rapi semua urusan kepindahan kami. Masing-masing sibuk mendapatkan rumah baru. Dan benar-benar perumahan baru yang sebenarnya tadinya buat sebuah guest-house. Jadi cukup bagus – indah dan lengkap. Di dalam kompleks kami ada Gedung Teater – juga buat pemutaran filem – buat pementasan drama – tari dan sebagainya. Toko dan coifure – toko cukur-rambutnya jauh lebih besar dari dulu. Dan klinik – pusklemasnya juga jauh lebih besar. Dan nah ini yang baru! Ada kolam-renang-nya dan terusterang – mewah! Kami nganyari – seperti dulu di perkampungan kami semula Desa Guung Kepala Ayam – kami nganyari – karena yang mula-mula tinggal di sana – ya kami ini. Juga perumahan baru ini – benar-benar baru dan bagus dan lengkap.
Ini pertanda ruanrumah kami sangat menghargai dan menghormati kami. Tetapi sebaliknya dari semua itu – kami semua tahu – dan tuanrumahpun sudah juga mencanangkan – bahwa semua ini bukanlah buat selamanya! Semua ini hanya buat sementara! Sementara kami belum bisa pulang. Pembuatan guest-house yang besar dan luas ini kebetulan saja kami yang menjadi orang pertamanya berdiam di sini. Tetapi jauh sesudah itu – ketika saya sudah jadi orang yang agak normal – bekerja normal di ibukota-negara : Beijing,- saya kembali ke perumahan guest-house ini buat sebagai turis. Dan sudah ada tamu-tamu tentara yang saling belajar – antaranya dari Pakistan. Dan maksud semula sebagai guest-house sudah mulai dilaksanakan.
Kami disamping kesibukan atur-mengatur segala yang bersangkutan dengan kepindahan – juga sambil menikmati perumahan baru ini. Perpustakaannya bagus sekali. Dan karena kami di kota – jadi gampang berhbungan antara kota, misalnya dengan Beijing dan dengan luarnegeri. Perpustakaan kami misalnya berlangganan 9 koran yang di Jakarta. Saya ditugaskan membacai 9 koran itu setiap harinya – dan menyeleksi berita – mengkliping – mem-foto-kopinya – menyusun indeks baru. Saya merasa sangat gembira – rasanya hidup lagi – seperti dulu – seperti di Jakarta tahun 1960. Pagi-pagi saya sudah di kantor – sejak pukul 08.00. Antara rumah dan kantor hanya sepelemparan batu – kelihatan jendela dan rumah kami. Pulang kantor jam 18.00. Biarpun malam sekira jam 20.00 kalau memang masih ada yang harus dikerjakan hari itu – saya ngantor malam. Terkadang anak saya Nita mengantarkan makanan ke kantor saya. Saya makan di kantor – rasanya sangat enak ada kantor baru – dengan bacaan yang tak terkira banyaknya. Sangat terasa – kehidupan ketika itu – 1978 – penuh dengan semangat-kerja dan sudah sedikit agak kurang rasa begitu rindu dan kangennya akan kampunghalaman – sebab rasanya sudah semakin dekat – paling tidak, bisa mengikuti semua kejadian dan peristiwa tanahair melalui begitu banyak koran – majalah dan buku-buku. Yang tetap terus mengganjel – yalah : kapan kami bisa pulang? Itu saja dan itu saja! Yang kami tetap merasa gelap,-