22. Tanda Awan Gelap Akan Tiba
Setelah perkampungan kami pindah ke arah kota ini – maka kami sekeluarga dapat bersatu lagi di satu rumah. Sebab anak-anak kembali ke rumahnya – karena sekolahnya dekat. Dan ibunya yang sudah praktek di sebuah rumahsakit, juga setiap sore kembali ke rumah. Tidak seperti dulu – yang satu bulannya kami hanya bertemu satu kali. Tetapi belakangan ini, ibunya anak-anak sering dalam keadaan tidak sehat – sakitan.
Sampai ketika itu, belum diketahui penyakit apa. Tetapi gejalanya – badan lemas – tidak ada nafsu makan – dan jari-jari kukunya agak membiru – terkadang muntah-muntah dan merasa sakit pinggang. Mula-mula diobati dengan ramuan jamu akar-akaran dan tetumbuhan Zhong-yao = obat-obatan taradisional Tiongkok. Tetapi ternyata tidak menyelesaikan soal. Beberapa dokter berpendapat bahwa penyakit ini bersumber pada sakit ginjal. Ada juga yang mengatakan dan berpendapat, bahwa penyakit ini bersumber pada peredaran-darah – metabolisme tubuh yang kacau. Pendapat yang belakangan ini mengatakan mungkin penyakit El-E = Lupus Erytomatosus = penyakit bintik-bintik merah serigala. Penyakit ini sebenarnya sangat mengerikan dan sampai ketika itu belum ada obatnya yang mujarab. Tetapi pendapat dokter belum satu – mereka masih mau menyelidikinya lebih lanjut. Penyakit El-E, ini hanya terdapat pada wanita yang berumur sekitar 40 tahun – dan katanya menurun ke anaknya yang wanita ketika umur sekian. Tetapi katanya pula, menurunnya selang satu generasi. Jadi kalau menurut pendapat ini – dua anak saya tidak akan terkena – tetapi ada kemungkinan – anak mereka nanti yang wanita akan atau mungkin terkena,-
Dari sehari ke sehari – Wati, selalu dalam keadaan tidak sehat. Ada dokter yang berpendapat agar setiap dia mau ke luar harus menggunakan payung. Karena katanya penyakit ini pantang berada di bawah matahari yang bersinar terik. Rupanya para dokernya masih belum ada kesatuan pendapat yang bulat. Dalam pada itu dia selalu mendapatkan surat keterangan dokter di mana dia berpraktek, agar dia istirahat di rumah saja. Dia yang biasa bekerja – dan rajin bekerja, surat keterangan istirahat sakit itu dianggapnya suatu hukuman pada dirinya.
Dan ketika itulah kami berempat selalu ada di rumah – terutama ketika makan-malam bersama. Saya larang dia banyak bekerja – dan saya gantikan semua pekerjaan yang biasa dia kerjakan sehari-hari. Misalnya mencuci pakaian – seterika pakaian – masak-memasak di dapur sebagai tambahan. Dan mengerjakan semua pekerjaan rumahtangga. Dua anak saya terkadang membantu – seperti menyapu rumah dan cuci piring-mangkuk-gelas dan semua alat-alat dapur.
Pada suatu ketika – saya lupa siapa yang memulainya antara kami. Tetapi sampailah kepada suatu diskusi, seandainya salah satu dari kami mati – dia atau saya – siapakah sebaiknya yang duluan mati? Siapa yang sebaiknya menurut kewajaran dan kebutuhan serta pikiran yang masuk-akal, duluan mati. Semua kami mengemukakan pendapatnya. Kalau kini saya ingat-ingat, alangkah anehnya diskusi kami berempat dulu itu! Mendiskusikan siapa sebaiknya yang mati duluan! Apakah ibu – mama atau ayah – papa. Yang paling aktive bicara
justru dua anak saya itu. Kakaknya mengatakan – kalau mama mati – itu artinya kita akan banyak kehilangan. Sebab seorang mama berperanan sangat pokok dalam sebuah rumahtangga. Tetapi kalau ayah – papa mati – jauh lebih terasa tidak seberat mama pabila mama mati. Pendapat ini tetap ada yang merasa tidak puas walaupun sangat tersamar. Saya angkat bicara – saya menyetujui pendapat anak-pertama saya. Apa yang dikatakannya memang benar. Dan saya katakan – saya sangat rela mati duluan daripada mama yang mati.
Rupanya anak saya yang kedua, Nita, tahu-tahu saja terisak menangis. Kalau mama mati duluan, betapa menyedihkannya kehidupan kita bertiga – tetapi kalau ayah mati – masih ada mama yang sangat berperanan dalam urusan rumahtangga.
Rupanya pendapat saya ini tidak bulat. Yang bulat adalah – kami berdoa agar mama sehat kembali dan Tuhan mengizinkan agar mama hidup lama dengan kami. Tetapi tampaknya diskusi tanpa sengaja dan tidak tahu siapa yang memulainya itu, sangat lama berkesan dalam dan sebenarnya tetap ada ke- cemasan antara kami. Yang mengherankan – Wati, ibunya anak-anak ketika itu yang paling tidak banyak bicara – tetapi saya meliriknya – dia mencucurkan airmata. Bukankah mengapa lalu tiba-tiba ada pendiskusian mati antara mama
dan papa – kalau bukan karena dia sedang sakit berat ini? Jadi dia merasa dirinya adalah pusat maksud pendiskusian. Saya masih ingat – pada hari itu – malam itu dan beberapa hari kemudian – kami berempat serasa kehilangan kegairahan dan semangat yang seperti biasanya.
Saya selalu berusaha mengalihkan ingatan yang seperti malam pendiskusian itu. Dan secara kebetulan – ada berita baru yang kira-kira akan dapat menghilangkan kesan yang sangat tak enak ketika pendiskusian dulu itu. Ada berita dari tuanrumah bahwa saya diminta kembali ke Beijing – ibukota negara – buat bekerja di Radio Beijing. Dan kami harus pindah ke ibukota negara. Anak-anak terlihat sangat gembira. Dalam batin saya, semoga ada suasana baru lagi buat menggantikan semua perasaan dan ingatan yag tidak enak dulu itu.
Ada juga terbetik dalam hati saya – semoga Wati akan dapat dan bertemu dengan pengobatan baru buat penyakitnya ini. Dan semoga di ibukota negara nanti dia akan sembuh dan kami dengan anak-anak berdoa agar ibunya sembuh.
Kepindahan ke Beijing yang kami tinggalkan sejak tahun 1966 – kini kami kembali pada tahun 1979. Jadi artinya selama 13 tahun kami berpisah dengan Beijing,- ketika mula pertama menuju Selatan. Dan selama itu pula betapa keadaan sudah sangat berubah jauh. Kami yang belasan tahun hidup di pedesaan – jauh terpuruk di pedalaman Tiongkok – sangat merasakan – bahwa selama ini begitu banyak hal-hal – perkara – yang kami sangat ketinggalan. Terasa pada kami – orang desa masuk kota – orang yang terbelakang memasuki sedikit tambahan kemajuan,-