23. Ke Ibukota
Kami sekeluarga pindah ke Ibukota pada musimpanas 1979. Setelah 13 tahun hidup di Tiongkok Selatan – dan pernah tujuh tahun hidup jauh di pedesaan – bertani – berladang dan beternak. Beternak kambing dan beternak babi. Bertani sebagaimana layaknya petani pedesaan – tetapi tetap saja menyandang pengertian sebagai orang-asing yang dihormati. Oleh pemerintah Tiongkok saya diminta bekerja di Radio Beijing – sebagai salah seorang redaktur dan penyiar. Wati, terkadang diminta buat rekaman suaranya – membacakan cerita pendek atau langen-suara yang pernah juga dia kerjakan ketika masih hidup di Medan.
Setelah berpisah selama 13 tahun dengan kehidupan ibukota negara – memang terasa bahwa selama ini kami terlalu banyak ketinggalan. Begitu jauh bedanya antara desa dan kota – dan ini menandakan taraf penghidupan belum baik. Dalam pengertian pelajaran ekonomi bertaraf tinggi – pabila sebuah negara yang sudah maju apalagi sudah industrialis – perbedaan antara desa dan kota – tidak lagi sangat menyolok – bedanya tidak banyak – semua keperluan hidup manusia – akan menjadi tidak sangat berbeda. Nah, kami ini akan bekerja di Radio – milik negara. Dan biasanya sebuah badan instansi Radio yang begitu vital – maka tentu saja penjagaannya sangat ketat – atau katakanlah cukup ketat. Bidang ini termasuk instansi militer dalam sekuritenya. Dan pengawasan keamanannya sudah tentu di bawah TPRT = Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok,- yang bersenjata lengkap. Semula pada kami ada perasaan tidak enak – rikuh – karena dalam lingkungan militer semua. Tetapi lama ke lamaan – lalu menjadi biasa saja – dan dapat menyesuaikan diri.
Dalam lingkungan asrama kami – Asrama Radio Beijing, sebagaimana saya ceritakan ketika kami hidup di Hotel Persahabatan – Friendship Hotel – banyak orang asingnya. Pada pokoknya semua orang asing yang bekerja di Radio Beijing bertempat-tinggal di kompleks Radio ini. Kompleksnya luas sekali – dulunya proyek bangunan ini adalah kerjasama dengan Uni Sovyet – ketika itu antara dua negara sedang manis-manisnya dan berbaik-baiknya dalam persahabatan. Tetapi begitu timbulnya perbedaan pendapat secara prinsipil – dan lalu berpolemik-besar lalu berselisih bahkan lalu bermusuhan – maka semua para expert Sovyet segera ditarik dan kembali ke negerinya. Dan banyak orang-orang asing lainnya yang menggantikan sesuai dengan perkembangan kemajuan Tiongkok dalam meluaskan persahabatannya dengan dunia luar.
Di Radio kami – banyak expert asing yang bekerja buat pembangunan sosialis Tiongkok. Ketika saya berdiam di kompleks Radio itu – siaran bahasa-asing yang ada saja sudah 30 bahasa asing di dunia. Termasuk bahasa yang samasekali tidak saya kenal sebelumnya – seperti bahasa Kechia – Swahili – dan bahasa Indian suku Maya. Ada juga siaran bahasa asing yang tidak ada orang asingnya – sebab belum mengadakan kontrak-kerja dengan orang asing dari beberapa negara tertentu. Jadi dikelola oleh orang Tiongkoknya sendiri.
Radio yang berbahasa Indonesia di Radio Beijing didirikan sejak tahun 1951.
Dan beberapa teman dari foundateur ini, ketika itu masih bekerja di sana. Kebanyakan mereka dari Indonesia – teman-teman Hoakiau dulunya. Dan beberapa orang dari Solo – Surakarta. Yang ketika itu mendekati masa pensiunnya. Saya masih sempat bekerja-sama dengan mereka. Sudah tentu usia mereka jauh lebih tua dari saya – termasuk kaya dengan pengalamannya. Kompleks Radio ini tentu saja lingkungan kehidupannya tidak seperti Hotel Persahabatan – yang dari segi kenyamanan kehidupan sangat lengkap dan diperhatikan. Di kompleks kediaman kami – sebagaimana sebuah instansi – proyek militer – tentu saja bukan buat semua yang nyaman dan enak itu.
Tetapi pabila bicara soal keamanan – sekurite – nah, di sinilah tempatnya. Sebab semuanya rapi – teratur – terkendali. Pasal rekreasi – hak libur dan hak menikmati alam Tiongkok – sama saja antara expert yang berdiam di Hotel Persahabatan dan kami yang tinggal di proyek Radio ini. Misalnya ada pertunjukan sepakbola – pertandingan internasional antara tamu asing dan tuanrumah – atau pabila ada konsert musik – musik luarnegeri yang sedang tour di Tiongkok – kami selalu diikut-sertakan menonton pertunjukan.
Kompleks Radio Beijing ( ini yang dulu – masa kami dulu itu – kini sudah lain ) terletak di Jalan Raya yang terpanjang si seluruh Beijing. Dan jalan ini sangat luas dan panjang serta lurus. Pengangkutan dengan bis umum sangat baik jalannya. Kami selalu naik bis line satu dan line empat. Kendaraan selalu tersedia bagi kami di kompleks Radio – tetapi kami sering sekali naik bis umum – sebab lebih sederhana – dan lebih bebas. Karcis bis umum sangat murah. Frekuensinya ketika jam-kerja malah lebih sering daripada jam biasa. Ketika jam-kerja, biasanya bis akan lewat dua menit sekali. Pabila sudah lewat jam-kerja, frekuensinya agak renggang – lima menit atau paling lama sepuluh menit satu kali. Terasa pada saya – hidup ini mendekati normal – tapi belum sepenuhnya normal seperti tahun-tahun awal 60-an. Rasanya hidup ini sudah indah – sudah ceria – padahal baru saja mendekati normal.
Karena kami baru mulai hidup di kota – lagi pula di ibukota negara – maka kami benar-benar mulai lagi dari nol. Mulai beli ini itu. Beli panci – beli piring-mangkuk – beli alat-alat dapur, beli minyak buat masak – beli bahan-bahan makanan. Pasaran tidak jauh. Karena kami berada di pusat kota – Kota Beijing yang besar dan luas itu – jadinya sangat gempang mencari sesuatu. Sebagai pegawai negeri yang bergaji sebagai orang asing dan expert pula – sudah tentu uangnya agak banyaklah. Dalam cerita yang lalu sudah saya ceritakan bagaimana abang saya Bang Amat “menugaskan” saya buat beli kain drill – Cp sebanyak 200 meter! Tapi dia tahu, bahwa saya ini bergaji besar dan lapang dalam soal keuangan.
Ada sedikit gangguan – istri saya, Wati dalam keadaan tidak sehat. Begitu dia datang dan berdiam di Beijing – dia sudah harus mondar-mandir ke rumahsakit. Berobat jalan. Jadi yang ke luar rumah buat belanja dan mencari barang keperluan rumahtangga dan keperluan hidup lainnya – saya kerjakan sendiri. Pekerjaan apa saja saya kerjakan yang dulu ketika dia sehat dialah yang mengerjakannya. Pekerjaan saya tentu saja kembali seperti di Jakarta dulu – pada tahun 1960-an. Beli beras – beli sayuran – beli minyak – beli cabe – beli bawang – terasi – ikan asin – asamjawa – garam – susu buat anak dan apa saja saya kerjakan. Nah, sekarang ini – juga begitu – termasuk cuci-piring-mangkuk dan susuasma = tetek bengek lainnya. Anak-anak saya sudah tentu ada pekerjaan buat mereka – tetapi saya khususkan agar lebih banyak buat pekerjaan dan pelajaran sekolahnya – PR-nya dan berkenaan dengan tugas dari sekolahnya. Hidup sebagai redaktur dan penyiar – terutama sebagai penyiar Radio Beijing – ini adalah kehidupan yang samasekali baru bagi saya.