26. Suka Dukanya
Terkadang Wati diminta membacakan cerita pendek atau sastra sejenis langen-suara – yang dulunya pernah dikerjakannya di RRI di Medan. Tetapi pekerjaan ini hanyalah sebagai honorer – bukan khusus pekerjaannya. Dan itupun pabila dia dalam kedaan sedikit sehat. Pihak Radio hanya akan memberikan tugas kepadanya pabila dia dalam keadaan layak-baca. Dia sangat antusias mengerjakan pekerjaan begini. Biasanya semua tulisan saya buat disiarkan – dia orang pertama yang lebih dulu membacanya – dan memberikan pendapat kepada saya. Dan kebanyakan saran dan pendapatnya selalu saya terima dengan baik, karena menurut saya – pendapat dan sarannya itu baik dan sangat pantas diterima.
Dalam pada itu Wati tetap berobat jalan. Di rumahsakit Persahabatan Beijing, dia mendapat pengobatan yang sangat intensif. Berbagai jenis dan cara penyelidikan penyakit dan serta pengobatannya dicobakan kepadanya. Dan pendapat dokter agaknya semakin bulat – ada titik kesamaan dengan dokter di Nancang – Tiongkok Selatan. Kebanyakan dokter berpendapat memang Wati mengidap penyakit L-E ( Lupus Erytomatusus ) – sejenis penyakit bintik-bintik merah darah serigala. Penyakit ini sebenarnya berjenis kanker darah – sangat merusak metabolisme tubuh. Merusak ginjal – merusak lever ( hati ) dan peredaran darah secara keseluruhan. Hasil dari semua pemeriksaan – para dokter dan pihak rumahsakit Persahabatan – mengharapkan agar Wati bersedia buat di-opname. Wati dan saya dan anak-anak kami menyetujui saran dan usul dokter dan pihak rumahsakit.
Akhirnya pihak Radio-pun juga menyetujui buat Wati masuk rs Persahabatan. Dan ketika saya mengantarkannya ke rs Persahabatan dengan menuntun dan menggandengnya – kami berjalan tertatih-tatih – karena dia tidak bisa jalan cepat dan normal. Sambil jalan pelan-pelan dia mengamati keseluruhan kompleks rs Persahabatan yang luas itu. Menjelang musimpanas pada bulan ujung bulan Mei – sekeliling rs banyak pepohonan – dan batang yang tinggi-tinggi rindang dengan dedaunan. Rasa teduh dan bunyi-bunyian binatang sejenis tonggeret, sangat menarik perhatiannya. Dan dia tetap melihat dan memandangi dengan pandangan mata yang menyapu kesekeliling kompleks rs. Tiba-tiba dengan perasaannya yang dalam dia berkata kepada saya dan juga kepada dirinya sendiri.
“Di sana – di gedung itu – saya melahirkan. Melahirkan anak kita yang kedua – Nita……….tetapi di gedung sana itu, rasanya saya akan mati…Jadi di rs ini berimbang – ada anak saya yang lahir di sini….tetapi juga saya akan mengakhiri hidup saya juga di sini…..semua itu adalah kehendak Tuhan…dan saya sangat rela buat semua itu…….”
Saya agak ternganga mendengar ucapan dan kata-kata yang sangat tegas diucapkannya. Ada rasa yang sangat sedih yang saya pendam-dalam. Tetapi juga ada rasa sedikit ngeri…..akan mengalami semua apa yang diucapkannya itu. Sejak dia mngucapkan semua kata-kata itu, saya sedikit terpengaruh…..rasanya ada perlawanan dan harapan dalam hati,- agar janganlah sampai terjadi apa yang diucapkannya itu….tetapi bagaimana pengaturan Tuhan-lah….begitu selalu yang ada dalam hati saya. Seandainya ya pun – harus saya terima – dan harus kami terima.
Hari itu – sore – senja dan malamnya, di rumah tinggal kami bertiga – dengan dua anak kami. Ada dan terasa sangat kesepian. Setiap senja biasanya dia akan menyiram bunga-bunga kesayangannya yang di dalam pot – beraturan letaknya di pinggir jendela. Lalu ada yang sepanjang trotoire dan koridor apartemen kami di asrama Radio. Dia sangat suka akan berjenis bunga-bungaan. Juga ada tanaman yang berdaun yang sangat aneh – ada yang runcing berduri agak tajam – ada yang berwarna beludru – ada jenis anggrek Thailand yang sangat disayanginya. Kini tugas sayalah yang menyiram dan mengawasinya – menggunting daun-daun yang agak layu. Menyiangi tanaman – tanah – dan sela-sela rumput yang akan mengganggu pertumbuhannya. Dalam pada itu ucapan yang tadi siangnya – ketika saya mengantarkan Wati buat opname, selalu mengiang di telinga saya. Akankah pada akhirnya yang entah kapan – kami akan bertiga? Tanpa ibunya – tanpa mamanya anak-anak? Lekas-lekas saya hapus pikiran saya yang demikian. Tapi muncul lagi ketika waktu yang lain. Ucapan Wati mengenai dirinya sangat mempengaruhi saya. Dan sudah tentu saya tidak menceritakanya kepada anak-anak saya.
Dalam pada itu saya berusaha keras buat melupakan ucapan itu – dengan kesibukan kerja di Radio. Berusaha melupakan semua perasaan dan pikiran yang ada dalam kepala saya mengenai ucapan Wati ketika hari pertama dia masuk rs itu. Dan kami ejak itu selalu setiap hari menengoknya ke rs. Terkadanf bertiga – terkadang hanya saya sendiri, sebab anak-anak selalu ada kesibukan dengan pekerjaan sekolahnya – selalu ada acara sore harinya. Saya lebih banyak sendirian menengok – bezoek Wati. Penyakitnya terlihat bertambah parah. Setiap hari – sesudah pulang dari rs sampai di rumah – terasa sangat sepi. Saya merangkap jadi ibu rumahtangga sekaligus – masak-memasak buat kami bertiga. Ada kantin di kompleks kami – dan makanannya cukup enak dan cocok dengan selera kami. Tetapi bagaimanapun – karena sudah terbiasa – selalu saja ada yang kami harus masak sendiri, Dalam pada itu pekerjaan rumahtangga bukan hanya masak-memasak, tetapi juga mencuci pakaian dan seterika pakaian – melipatnya dan menyusun – menatanya. Ternyata jadi ibu rumahtangga itu tidaklah semudah mengucapkannya. Saya lalu teringat ibu saya dulu di kampung. Pekerjaan seorang ibu – sejak matahari mulai mau terbit sampai matahari tenggelam-malam ketika jauh malam – selalu terus bekerja sampai kita anak-anaknya pada mau tidur – barulah ibu saya menyertai kami anak-anaknya. Tetapi saya lihat ayah saya tidak seperti ibu saya – yang jam-kerjanya jauh lebih panjang dan lama.
Sekarang, apa yang dulu pernah dikerjakan ibu saya, kini saya merasakannya. Dulu buat kami – anak-anaknya. Kini buat dua cucunya – anak-anak saya – turun dan menurun. Tetapi tetap harus kita kerjakan, karena menantunya dalam keadaan sakit dan sedang di-opname di rs Persahabatan,-