27. Awan Semakin Gelap
Setiap hari kami menjenguk Wati ke rs. Sakitnya bertambah parah. Dia selalu berbaring di tempat tidurnya. Nafsu makannya sangat menyusut. Dan air-kencingnya sangat sedikit. Penyakit L-E ini sangat mempengaruhi kerja buah-pinggang. Beberapa hari yang lalu ketika saya datang sore-sore, dia tak ada di kamarnya. Ternyata di ada di kamar-umum – tempat duduk-duduk para pasien. Di kamar ini banyak buku-buku – majalah dan suratkabar. Lalu ada televisi buat para pasien yang ingin menonton tivi. Di sanalah Wati dengan beberapa orang pasien lainnya. Melihat semua ini saya sangat gembira – sebab dia sudah mau dan bisa berjalan-jalan sekitar kamarnya dan ruangan-umum. Pertanda kesehatannya ketika itu agak membaik.
Saya masih ingat – kejadiannya pada hari Sabtu awal bulan Agustus. Awan sangat gelap. Lalu turun hujan yang sangat lebat. Pohon-pohon pada miring mau rebah. Banyak barang-barang yang diterbangkan angin. Dan halilintar – petir bagaikan perang guruh-gemuruh. Kota Beijing kena dilanda hujan badai. Bagaimanapun sore itu saya harus melihat Wati seperti biasanya. Walaupun antara tangga asrama kami buat mencapai mobil yang saya pesan itu tidak jauh hanya beberapa langkah – tetapi saya basah kuyup karena hujan lebat disertai angin-badai itu. Ketika saya sampai di kamar Wati – ternyata dia sudah dipindahkan ke kamar lain – yang lebih dekat ke kamar dokter-jaga di bagian sal itu. Begitu saya sampai – saya lihat dia menutupi wajahnya. Dan kedengaran bunyi isak-tangisnya. Sesenggukan dan terdengar tangisan yang sangat perih dan sedih. Saya bangunkan dia. Tetapi dia berkeras menutupi wajahnya dengan bantal. Saya panggil pelan-pelan dekat telinganya. Tetapi isakan tangisnya malah lebih terdengar sedih. Saya sedikit agak bingung. Ada apa gerangan. Saya samasekali tidak tahu, mengapa terjadi hal demikian. Lalu saya cari perawat dan dokter-jaga, mengapa Wati dalam keadaan demikian. Terus menangis dan tidak mau ngomong apapun. Tak sepatah kata dia ngomong – sampai waktu saya habis – buat segera pulang lagi ke rumah. Hari itu saya tidak berhasil buat mengetahui mengapa Wati demikian sedih dan menangis terus – tanpa mau ngomong seucapanpun.
Dari rumah saya menilpun rs yang bagian Wati dirawat – menanyakan kepada dokter – ada apa halnya. Rupanya hari itu – paginya – datang beberapa dokter dari berbagai bagian. Dari cardiologi – dari bagian syaraf ( neurologi ) – dari bagian penyakit dalam dan beberapa bagian lagi seperti urologi dan lainnya. Para dokter itu berdiskusi di kamar Wati. Rupanya kebanyakan dokter itu tidak tahu dan tidak menyedarinya bahwa Wati-pun sepenuhnya mengerti bahasa Tionghoa dialek Beijing. Para dokter itu tentu saja tidak semua tahu bawa Wati-pun adalah dokter yang prakteknya di kota Nanchang – di bagian Tiongkok Selatan. Mereka hanya tahu bahwa Wati adalah orang asing yang bekerja di Tiongkok. Jadi semua apa yang dibicarakan dokter – semua dipahaminya – dan dia mengerti secara keseluruhan termasuk dengan istilah kedokterannya dalam bahasa Tionghoa. Sudah tentu yang dia dengar adalah tentang dirinya – tentang penyakitnya – yang sebenarnya belum ada obat yang mujarabnya. Jadi kira-kira……..memang tak ada harapan sembuh yang begitu besar……dan kira-kira hal penyakit begini, tinggal……apalah dan apalah…..Tentu semua pembicaraan dokter dipahami dengan sangat oleh Wati. Dan dia sangat terpukul – sangat sedih. Barangkali juga ada pikirannya – betapa akan sedihnya berpisah dengan kami. Dua anaknya sedang benar-benar membutuhkan kasih orangtua – kasih ibunya terutama. Tetapi dia menyedarinya benar bahwa dia bagaimanapun……siapa tahu akan segera meinggalkan kami. Mengingat semua ini – maka sayalah yang mengalirkan airmata. Yang sangat jadi pikiran saya yalah bagaimana mengasuh dua anak kami ini yang baru mau menanjak dewasa – dan hidup tanpa ibu – yang padahal sangat membutuhkan
seorang ibu.
Mau tak mau saya teringat akan pendiskusian kami ketika masih di Jiangxi – Nanchang dulu itu. Siapa sebaiknya mati duluan? Ibu atau ayah. Sejak dulu saya sudah merasa rela – jauh lebih baik seorang ayah yang mati duluan
daripada seorang ibu. Tetapi saya-pun sangat menyedarinya – semua itu atas keputusan Tuhan – ketentuan apa yang Tuhan sudah gariskan. Bukan maunya kita – manusia yang selalu menanggung dosa ini. Saya tidak tahu – apa yang ada pada pikiran saya sekarang ketika itu. Tetapi ada terasa dan sangat keras rasanya – bahwa kami harus siap-siap menerima keadaan yang paling buruk – paling menyedihkan. Walaupun doa saya siang-malam mengharapkan agar Tuhan berkenan mengembalikan keadaan kesehatan Wati yang seperti dulu itu. Puncak
sehatnya Wati ketika masih jauh di pedesaan Gunung Kepala Ayam. Dia dapat dikatakan wanita yang terkuat dan tersehat ketika hampir setiap sore bekerja di kandang-babi dan memikul tahi-tinja manusia buat menyirami perkebunan kolektive kami. Lalu siapa akan menyangka, wanita yang dulu terkuat dan tersehat – kini terbaring dalam keadaan sakit berat. Mengingat ini semua, saya tidak berani membayangkan lebih buruk dari semua itu. Tetapi saya harus berani menghadapi kenyataan yang betapapun jelek dan buruknya – dan kami bertiga harus terus jalan – terus maju,-