28. Pada Puncaknya
Hampir tiga bulan Wati diopname di rs Persahabatan. Setiap hari kami menjenguknya. Yang lebih sering dan yang setiap hari adalah saya sendiri. Anak-anak terkadang berdua – bertiga dengan saya. Terkadang dan lebih sering
mereka bergiliran – kalau tidak kakaknya – maka adiknya. Sebab mereka banyak PR-nya dari sekolahannya. Penyakitnya semakin sulit dapat dikatakan berkurang. Badannya sudah semakin lemas. Terkadang makanpun saya suapi – dan sangat sulit menghabiskan makanan yang sebenarnya sudah begitu sedikit.
Terkadang dia batuk yang tak berkeputusan. Sekali waktu batuknya ini agak keras. Dan saya lihat terloncat dahak mengental dari mulutnya. Dan sudah itu….apakah yang saya lihat ini…..segumpal darah segar muncrat dari mulutnya. Muncratan ini terkena sepereinya dan meninggalkan bekas darah yang memerah. Saya laporkan kepada perawat. Segera mereka mengganti sepereinya. Dan masih ada lagi bekas-bekas darah merah segar yang keluar dari batuknya. Saya segera memijiti kepalanya – dan membaringkannya bertukar badan – agar agak membalik. Ketika itu saya dituntut kepada saya sendiri – agar tenang – agar menguasai diri. Dan saya berkomat-kamit berdoa kepada Tuhan agar Wati janganlah sampai……apa namanya sayapun tak tahu bagaimana cara menuliskannya. Sore dan menjelang senja itu sengaja saya lambatkan kepulangan saya – buat agak berlama menemaninya sampai dia agak tenang dalam tidurnya.
Sebenarnya dalam pada itu saya berjuang keras pada diri saya sendiri. Bahkan setelah melihat betapa Wati menahankan penderitaannya dalam keadaan begitu sakit – batuknya yang terus menerus dan darah segar yang muncrat dari mulutnya itu – saya periksa diri saya. Bagaimanakah pikiran saya ketika itu? Saya sudah menyerahkan Wati – istri saya – ibu dari anak-anak saya kepada Tuhan. Dalam batin saya, berkata kepada Tuhan, saya dan kami tiga beranak sudah rela melepaskan Wati – sepenuhnya kepadaMU Tuhan. Saya tak sanggup lagi bertahan melihat dia begitu menderita – begitu tersiksa dan dalam keadaan sakit begitu rupa. Saya berusaha keras buat mengatasi semua ini – hari-hari kesedihan kami bertiga takkan lama lagi. Dan kepada anak-anakpun sudah saya persiapkan pikiran kalau-kalau kami bertiga ditinggalkannya dalam waktu yang singkat ini. Dan mereka berdua walaupun dengan isak-tangisan dan sesenggukan, merasa juga adalah baik pabila Wati dipanggil Tuhan pulang ke rumahNYA.
Dalam pada itu pihak Radio rupanya sudah diingatkan juga agar bersiap-siap menghadapi semua peristiwa yang sangat buruk sekalipun. Semua kehidupan kami – sepenuhnya di bawah tanggungjawab Radio. Dan pihak Radio sangat memperhatikan semua keperluan dan kebutuhan kami. Dan ketika pihak Radio mengatakan kepada saya, agar sering-sering dan siap-siap mendengarkan deringan tilpun di asrama kami – di bagian apartemen kami. Tilpun ada dan diletakkan di bagian antara kamar-kamar kami dan berada di luar kamar perorangan. Masih
menggunakan tilpun secara kolektive buat beberapa kamar. Sehingga pabila ada tilpun buat kita, teman lain yang kebetulan menyambut bunyi deringan itu – akan segera melaporkannya kepada kita. Sejak pemberitahuan pihak Radio itulah – saya semakin tidak ada ketenangan. Sebab begitu tilpun berdering, saya sudah berlari ke arahnya. Dan rupanya bukan buat saya. Malam-malam-pun saya tidak bisa tenang – mendengarkan deringan tilpun siapa tahu dari pihak rumahsakit atau dari Radio.
Saya selama hampir tiga bulan ini – tidak pernah merasa tenang. Dan tidur saya selalu bermimpi buruk dan sudah tentu tidak pernah tidur lelap. Apalagi setelah dengan resmi diberitahukan oleh pihak Radio agar sering-sering dan selalulah dengarkan dan sambut pabila ada deringan tilpun. Pada har-hari itu, saya tak pernah jauh dari letak tilpun kami di asrama, terutama di bagian apartemen kami. Ketika kami kebetulan bertiga menjenguk Wati, terlihat wajah Wati agak segar. Dan sedikit gembira setelah dia tahu kami menjenguknya lengkap bertiga – yang tidak selalu terjadi begitu. Pada hari itu kami beriga berjanji bahwa pada keesokan harinya – hari Minggu kami akan menjenguknya lagi dan akan makan-bersama berempat. Kami akan bawa makanan dari rumah. Dan saya sore itu berbelanja buat makan-bersama – sudah tentu agak banyak dan memilih makanan yang Wati bisa makannya bersama. Saya dengan wajah riang dan bersuka-cita bekerja di dapur. Rebus ini – tumis itu – goreng yang ini dan banyak lagi. Tetapi ketika sedang saya asik bekerja di dapur – anak pertama saya, Wita datang dengan wajah yang sedih dan terlihat menangis sesenggukan.
“Papa”. katanya tiba-tiba.
“Tidak usahlah papa terlalu repot masak-memasak buat kita makan-bersama mama besok……Karena saya merasa mama besok sudah akan pergi……..buat selama-lamanya….”, lalu dia menangis mengucapkan kata-kata ini.
“Besok mama akan dipanggil Tuhan Yesus…dan pergi meninggalkan kita semua…..”,- Ucapan Wita ini sangat mempengaruhi saya. Darimana pula dia tahu dan merasa bahwa Yesus akan menjemput mamanya pergi buat tidak kembal? Wita samasekali tidak pernah mendapatkan pendidikan agama – agama apa saja. Saya belum
sempat buat mengantarkan pendidikannya ke arah agama. Tetapi dia sudah dengan sangat tegas mengatakan bahwa saya tak perlu repot-repot masak-memasak karena rencana kami Hari Minggu keesokan harinya itu tidak
akan berkesampaian menurut Wita. Meskpun begitu – saya tetap masak-memasak buat rencana kami besok. Ada memang rasa kebimbangan – keraguraguan saya – mengapa sampai Wita mengucapkan kata-kata itu. Antara Wita dan mamanya memang sangat erat perasaannya. Wita sangat dekat mamanya dan sangat terikat pada mamanya – lain dengan anak kami yang kedua Nita – yang secara kedekatannya – dekat pada saya.
Seharian – senja sampai malam itu – saya semakin tidak tenang. Dalam batin saya – semoga ucapan Wita tadi sore itu janganlah sampai terjadi. Tuhan, izinkanlah kami makan-bersama lengkap berempat,- Namun demikian semua perihalnya kami serahkan kepadaMU Tuhan, berjalanlah menurut kehandakMU dan bukan kehendak kami,- Kami serahkan kepadaMU,-
29. Pada Puncaknya
Berjaga-jaga – bersiap-siap buat menerima kabar buruk melalui deringan tilpun dari rumahsakit atau dari pihak kantor kami – Radio Beijing. Setiap hari pabila sudah sampai di rumah. Sudah tentu situasi tegang sangat
menyelimuti saya. Kurang tidur – syaraf terganggu – tidak ada rasa ketenangan – dan selalu dalam kehidupan cemas – penuh kekuatiran yang entah kapan datangnya. Yang saya tunggu berita deringan tilpun itu – ternyata tidak datang melalui penantian. Tetapi datang justru melalui ketokan pintu di rumah kami.
Pagi-pagi belum jam 05.00 seorang teman yang sedang bertugas malam itu di Radio – mengetok rumah kami. Dia Siao Lie tamatan Universitas Guangdong – Kanton – seorang teman muda – seorang penyiar warta-berita,
memberitahukan…. “Pihak rumahsakit memberitahukan kepada kami – agar bapak ke rumahsakit sekarang ini – karena keadaan ibu sedang dalam krisis. Mobil sudah kami siapkan di bawah. Saya memberitahukan kepada beberapa teman…….”,- lalu Siao Lie berpamitan. Saya segera membangunkan anak-anak. Saya beritahukan
dengan agak pelan dan tenang. Mereka bersiap berangkat. Kami bertiga yang menurut rencanya hari ini – Minggu, akan makan-siang bersama dan saya sudah masak-memasak. Padahal kemaren Sabtunya – Wati masih sempat tersenyum dan tertawa. Kini dilaporkan dalam keadaan krisis.
Semua yang saya persiapkan kemaren sorenya – tidak kami bawa serta. Dan apakah ucapan Wita sambil dia sesenggukan itu – sudah dalam pelaksanaan keputusan Tuhan? Kami sudah merelakannya. Sesampainya kami kira-kira jam 06.00, kami segera menuju kamar Wati. Badan – dadanya sudah penuh dengan sambungan snoer ( kawat ) halus yang disambungkan dengan mesin cardiogram – lalu ada lagi alat lainnya. Dari layar-kaca – ecran – dapat dilihat jalannya jantung yang sudah melemah. Dan dia sudah dalam keadaan koma. Sudah tak bisa
bicara dan hanya matanya yang mengecil melihat dan meperhatikan kami. Dua anak saya mendekati ibunya – memegangi tangannya dan memeluk badan ibunya. Saya biarkan mereka – siap berpisah dengan mamanya. Lalu saya katakan kepada dua anak saya, agar mereka pulang dulu ke rumah – menyiapkan pakain mamanya secara lengkap. Kebaya dan kain dan selendangnya. Saya pesankan agar mereka memilih pakaian mamanya sebagaimana mamanya pergi ke pesta di Gedung Rakyat dan KBRI. Dan pilihkan yang terbaik menurut kalian berdua. Tanpa dikatakan apapun – kedua anak saya sudah tahu dan penuh pengertian – bahwa hari itu kami akan berpisah buat selama-lamanya dengan mamanya. Mereka segera akan kehilangan mamanya dan saya sebentar lagi akan segera kehilangan istri dan lalu menduda.
Sambil menunggu di pinggiran ranjang Wati – saya memegangi tangannya yang sudah lama kurus – mengecil dan wajahnya memperhatikan saya dengan tenang. Saya berusaha sekuatnya untuk tenang dan menguasai diri. Dalam batin saya – agar lekaslah dua anak-anak saya itu kembali ke rs, – karena saya lihat mamanya seakan-akan menunggu kedatangan mereka berdua. Sudah itu lalu dia bisa pamitan dengan tenang kepada kami bertiga. Saya sangat bersukur – karena mejelang jam 07.00 mereka berdua kembali ke kamar mamanya. Dan mamanya sedikit menggerakkan tangannya memegangi tangan kedua anaknya itu. Saya lihat gambaran grafik di layar-kaca cardiogram sudah terputus-putus – melemah. Dan pada akhirnya dia memejamkan mata buat selama-lamanya.
Anak-anak sudah tahu – pertanda apa semua itu. Dan dua anak saya menjerit kesedihan karena ditinggalkan mamanya. Wita terjatuh di lantai – pingsan – dan Nita hanmpir tak sadarkan dirinya. Kini sayalah yang mengambil-alih tongkat komando sebagai orangtua – merangkap dua-duanya – sebagai ayah dan sebagai mama. Tak sebutirpun airmata saya jatuh berlinang! Saya masih bisa tahan – dan orang-orang – teman kami dari Radio semakin banyak berdatangan. Rupanya mereka sudah dipesankan oleh pihak rumahsakit – bahwa Wati memang
sudah waktunya buat pergi selama-lamanya. Sudah pada batas maksimum kekuatan pihak rumahsakit buat menyelamatkannya – tetapi rupanya kepandaian dam kesanggupan manusia sangat terbatas.
Dokter berdatangan – tidak lagi hanya mengurus jenazah mamanya anak-anak, tetapi juga mengawasi dan melindungi kami bertiga. Pihak rumahsakit langsung “menyelamatkan kami”. Pihak rs tahu akan semua kehidupan dan kesehatan kami. Seorang dokter yang saya memang sudah kenal baik – segera mengukur tekanan
darah saya – dan pols tangan saya. Masih dalam batas bisa dan masih ada kesanggupan seperti biasa. Walaupun agak naik = 180/110 dan pols 84. Wita yang tadi pingsan tak perlu pengobatan apapun. Dan adiknya masih lebih tahan dari kakaknya. Dan saya tetap dapat menahan agar tak mengalirkan air-mata. Orang-orang sudah banyak berdatangan buat mengucapkan rasa belasungkawa. Saya masih sempat melihat – para pimpinan Radio sampai ke tingkjat pusat – penuh kesibukan mengatur semua persiapan pemakaman istri saya dan mama dari dua anak saya.
Oh, dulu ketika berangkat pada tahun 1963 meninggalkan Jakarta – Indonesia – Wati sesenggukan menagis. Yang ketika itu banyak teman-teman mengantarkan kami di Kemayoran – termasuk Bung Nyoto dan banyak teman. Kini dua-dua mereka ini sudah meninggalkan kami – baik Wati yang diantarkan dulu itu – maupun pihak Bung Nyoto yang mengantarkan. Dua-duanya meninggal dengan cara berlainan, tetapi pengabdiannya masih dalam satu orbit,-