03. Kegiatan Sehari-hari di Pedesaan Kami
Kegiatan siang sampai sore menjelang makan malam, kami belajar – belajar teori – dari buku-buku klasik. Biasanya ada diskusi membicarakan hasil belajar masing-masing. Di tempat diskusi ini sudah tentu timbul perdebatan – perbedaan pendapat. Dan terkadang diskusi itu begitu panas dan tegang, bikin merah kuping dan pabila bicara dengan berapi-api – menggelora – biasanya akan disertai sedikit hujan liur yang memancar dari mulut seseorang. Tetapi biasanya sesudah itu – sudah agak tenang dan amper-nya menurun, lalu biasa-biasa saja – teguran – bergurau lagi dan merasa lucu, kenapa kok bisa begitu panas dan hangat. Dulu – beberapa tahun sebelum ini – sebelum GPF dan GPL ( Gerakan Pembetulan Fikiran atau Gerakan Pembetulan Langgam )
perdebatan dan perbedaan pendapat itu bisa menajam sampai bisa saling tuding dan bisa meningkat menjadi perkelahian. Tiap orang – setiap teman yang terlibat perdebatan dan perbedaan pendapat tentang Sejarah Gerakan Indonesia – tentang teori revolusi, merasa dirinya paling benar – paling tepat. Bisa menganggap dirinya paling Marxis-Leninis sejati yang 100%. Paling murni kadar karatnya, ibarat emas 24 karat murni.
Sejak adanya GPF atau GPL ini, rasa yang serba benar dan serba tepat itu sudah pelan-pelan kami tinggalkan. Belajar mendengarkan pendapat orang lain – belajar menerima perbedaan pendapat dengan diri kita, ternyata bukanlah mudah! Perlu proses belajar lagi – mengendapkannya dengan tenang dan sabar. Oleh adanya diskusi-diskusi yang hangat begini – rasanya kami sangat merindukan kapan hari Minggu datangnya. Sebab hanya hari Minggu kami liburan dari semua kegiatan belajar teori dan diskusi serta berproduksi. Sebab otak kami terkadang sudah capek – lelah karena belajar dan berdebat yang tak ada ujungnya – berhenti karena ….sama-sama lelahnya. Ketika rasa lelah serta sedikit bosan dan jemu lalu jenuh – kami sangat membutuhkan hiburan –
rekreasi. Dan rekreasi ini hanya hari Minggu yang banyak waktunya. Pabila malam – sebelum tidur, ada juga beberapa teman yang menggunakan waktunya buat rekreasi.
Ada yang bermain gitar – bermusik – main kartu, yang kami gelari orang-orang golkar – golongan kartu. Ada yang membuat grup musik. Ada yang membuat grup mencari obat-obatan di hutan dan gunung yang ada di sekitar pedesaan Gunung Kepala Ayam. Ada grup mancing. Ada grup tembur = tembak burung ( termasuk
saya ) dan ada grup saling belajar tusuk-jarum = akupungtur ( juga saya di grup ini ). Ada grup cerita – cerita tentang buku klasik Tiongkok, seperti Tepi Air = Water Margin dan San Kuo dan beberapa lagi. Yang tukang ceritanya adalah teman kami yang bahasa Tionghoa-nya sudah bagus dan menguasai. Kini dia di Hongkong – sebagai guru piano. Saya juga di grup ini – grup cerita. Semua ini kami lakukan pada hari Minggu – karena waktunya cukup banyak. Tetapi tidak jarang pada hari Minggu – rata-rata kami “pesta nyuci pakaian dan benah-benah serta membersihkan rumah”, jadi rasanya biarpun ada waktu rekreasinya, masih tetap merasa tidak cukup! Ada grup nyanyi – bikin koor. Ini ada dua. Koor yang biasa – yang gurunya si tukang cerita tadi – guru musik – piano dan akordeon. Dan koor nyanyian Jawa – panembromo ( saya juga masuk di sini ). Yang anehnya – saya bisa mengikuti koor panembromo ini – tetapi saya tidak tahu apa artinya – karena semua dalam bahasa Jawa – dan saya tidak memahami bahasa Jawa.
Seseorang bisa masuk beberapa tim atau grup. Ini sih bebas saja – namanya juga rekreasi. Ada grup atau tim pembuat alat-alat musik Jawa sepeti gamelan. Teman-teman ini memang luarbiasa kreatifnya. Besinya mereka ambil dari bekas rongsokan mobil tua. Lalu ditempa dalam api yang buatan sendiri – samasekali bukan dari pabrik. Lalu disesuaikan dengan nadanya – dari pelog Jawa. Lama-lama jadi juga. Dan mereka bisa main seperti gamelan Jawa yang benar-benar hasil pabrikan – hasil tempaan yang sudah berpengalaman. Akh, kampung kami di pedesaan yang tersuruk jauh di pedalam Tiongkok selatan – betapa nikmatnya pabila malam hari dari kejauhan terdengar musik Jawa – seperangkat gamelan Jawa. Dan kami rasanya bertambah rindu tanahair – sangat kangen dengan kampunghalaman yang sudah belasan tahun terpisah ( ketika itu pada tahun 1971 – 1978 ). Indah sangat bunyi tabuhan musik itu – koordinasi antara bunyi gong – tawak-tawak, tam-tam dan gamelan. Apalagi pabila terdengar di kejauhan – sayup-sayup melalui – melewati pegunungan yang melingkari pedesaan kami. Ada grup drama – grup deklamasi – namanya Dedra – deklamasi dan drama. Beberapa kali kami adakan pementasan drama dan deklamasi ini – dan cukup sukses.
Pada pokoknya, kami semua – kehidupan kami penuh dengan aktivitas. Dalam hati kami – semua ini sangat kami perlukan – sangat kami butuhkan. Disamping memang belajar hidup di tempat yang sebenarnya abnormal begini, kami perlu menggunakan waktu sebaik-baiknya…….antaranya agar……tidak gila! Sebab kami tidak tahu akan hari depan kami – kami tidak tahu kapan kami bisa pulang ke tanahair. Dan rata-rata kami selalu ada yang kehilangan kaum keluarganya. Atau sedang dipenjara – dalam pembuangan di Pulau Buru. Dari sehari ke sehari kami mengurangi rasa yang sangat rindu dan kangen tanahair – kampunghalaman. Dan karena itulah, kami bikin kesibukan begitu rupa – agar sekedar dapatlah sedikit mengurangi rasa yang sangat rindu dan kangen
kampunghalaman dan sanak keluarga.
Karena situasi dan suasana tidak normal yang kami jalani dalam kehidupan yang begitu lama – ada rasa terkatung-katung. Maka tidak heranlah – ada di antara kami yang sakit syaraf – kata orang kampung kami :”berubah pikiran”, secara kasarnya ya gila! Bahkan ada yang mencoba bunuh diri dan bahkan ada yang sudah berhasil bunuh diri. Ini cerita jauh sebelum yang saya ceritakan ini berlangsung. Tetapi keadaan ternyata pelan-pelan mengalami perubahan – seperti yang sedang saya ceritakan ini – kami penuh kesibukan sehari-hari.
Rasanya waktu rekreasi kami terasa tidak cukup. Dan kami menjalani kehidupan ini dengan perasaan gembira dan selalu bersemangat. Tetapi apakah tidak ada lagi unsur-unsur jelek – negatif, dalam kehidupan kami – lalu semua bersih? Tentu saja ada dan di mana-manapun akan selalu ada pikiran yang agak nyeleweng dan yang lain daripada yang lain. Tetapi rasanya saya bertugas buat menceritakan yang pada umumnya – yang baik yang bisa menjadi contoh bagi kehidupan ini – agar normal – dan itu yang kami mau,-