31.Sudah Kehilangan
Bang Anwar dan istrinya yang kami panggil Mak Tuo dan Pak Tuo – beberapa hari di rumah kami. Sudah itu mereka segera kembali ke sealatan – ke tempat di mana kami dulu hidup. Di Nanchang – Desa Kepala Ayam – yang jauhnya ribuan km dari ibukota. Kepergian Pak dan Mak Tuo sangat menyedihkan kami – karena barulah kami terasa begitu sepi – kosong. Mereka sangat berbaik-hati kepada keluarga kami. Ketika masa-masa jayanya kehidupan di Indonesia – keluarga Anwar Dharma yang berkedudukan di Medan ini – pada akhirnya pindah
ke Jakarta karena kebutuhan pekerjaan – dan bekerja di Harain Rakyat – harian organ Partai. Dia adalah salah seorang yang dianggap Bang Amat sebagai pekerja-keras – teladan dan baik. Akhirnya dia ditugaskan di Moskow.
Kini terasa pada kami – begitu banyak yang meninggalkan kami. Dan kini tinggal kami bertiga. Saya harus lebih banyak mencurahkan perhatian kepada kehidupan anak-anak kami ini. Mereka sedang menghadapi ujian penghabisan SMA-nya. Wita di SMA yang berbasiskan bagian A – sastra modern dan sastra klasik Tiongkok. Bahasa Tionghoanya dituntut harus lebih baik daripada di SMA biasa. Adiknya Nita di SMA yang basisnya berbahasa Inggris – bahasa Inggrisnya dituntut harus lebih baik daripada SMA biasa. Dia bersekolah di mana tempat kami mengajar di IBA = Institut Bahasa Asing – Beijing ketika masa pertama kami tiba di Tiongkok.
Teman-teman Radio sangat baik perhatiannya kepada saya – kepada kami. Beberapa teman sering mengajak bertamu ke rumahnya. Maksudnya agar saya dapat melupakan rasa kesedihan akibat kehilangan ini. Secara bergantian mereka datang buat mengajak saya ngobrol – main – dan bepergian atau datang ke rumah teman-teman lainnya. Saya melihat usaha mereka agar saya terlupakan akan peristiwa baru-baru ini. Karena mereka datang dan mengajak – maka sayapun ikut dengan rasa rela memenuhi ajakan mereka. Tetapi dari pihak saya sendiri tidak ada timbul niat buat mencari teman-teman itu. Karena saya sedang asik “menikmati” kesendirian saya. Dalam hati saya – biarlah saya sementara ini bersunyi diri – masih sangat melekat bahwa saya baru saja kehilangan istri dan anak-anak saya kehilangan mamanya. Kepada anak-anak, saya sering datang ke kamarnya – mengajak ngobrol. Tampaknya malah mereka lebih kuat dari saya sendiri – dan sukurlah. Saya ingin sekali agar mereka hanya berkonsentrasi kepada pelajaran mereka. Apalagi beberapa bulan lagi mereka akan menghadapi ujian penghabisan SMA-nya masing-masing.
Saya banyak membaca buku. Banyak membaca puisi asing – baik dari penyair Eropa – AS maupun yang dari Tiongkoknya. Dalam keadaan begini sepi – sendiri pabila datang ke rumah – berbagai rasa sunyi melanda diri. Dan saya mencoba membuat puisi tentang kehidupan dan sekitar saya. Saya ingin agar para pembaca juga turut melihat wajah saya ketika itu.
M A M A
Mama
ketika kau pergi, kutundukkan kepala
lalu ratusan orang mengucapkan belasungkawa
kepala kuangkat kembali
dengan wajah bersih jernih
tanda terimakasih.
Sudah itu tibalah seribu sepi
gelombang menggulung dengan seribu duka
banjir melanda keluarga nestapa
dalam isi surat
dalam isi kawat
mama,
ketika di pusara
yang masih merah basah
yang bertaburkan seribu bunga
aku berjanji di hati
tidak, aku tidak akan menyerah.
Berbilang bulan jalan kutempuh
masih juga bagaikan ayam jantan memikat betinanya
mendekat-dekat lagi ingin menyiksa
maka datanglah lagi
seribu sepi
seribu duka – seribu hina
seribu apa saja
yang akan menimpa diriku
datang – datanglah – datang
jemu mengeluh lalu menantang
datanglah – datang – datang
siapa berani antara kita berdua
berebut bertanding menang
maka benarlah sudah
tidak – aku tidak akan menyerah
kutegakkan kepala
tanda aku siap berlaga lagi!
Beijing – November 1980,-
“Zaman”- kesedihan ini saya menulis puisi yang seiring dengan kehidupan saya. Penuh dengan kesedihan – tetapi juga ada rasa perlawanan – ada perjuangan. Karena pabila diperturutkan rasa-duka begini – hanyalah semata-mata membikin diri kita tenggelam dalam kesedihan dan duka nestapa. Apalagi tugas saya kini menjadi rangkap – bukan hanya jadi ayah tetapi juga jadi mama dan teman – sahabat dari anak-anak saya. Kehidupan mereka seharusnya saya pikirkan – saya dahulukan.