32. Puisi Sunyi
Masyarakat Indonesia di Beijing – ketika itu sangat sedikit. Boleh dihitung dengan sebelah tangan. Yang agak banyak ada di Selatan – tetapi sangat jauh letaknya. Dan lagi saya ketika itu tak ada kemauan buat bertemu dan ngobrol dengan mereka. Padahal dari pihak mereka cukup baik memperhatikan kehidupan kami. Juga banyak teman-teman Tiongkok yang sekerja maupun yang pertemanan biasa yang cukup hangat terhadap pergaulan. Pabila dalam keadaan normal – tak ada beban apa-apa, sebenarnya sangat enak ngobrol – jagongan kata orang Jawa, dengan mereka. Dan ketika dulu, kami masih lengkap, kami sering datang dan bertamu ke rumah teman-teman itu. Rasanya sangat leluasa – ngobrol sepuasnya dan bernostalgi – lalu makan-bersama. Dengan teman-teman sekerja maupun dengan pertemanan biasa – di mana selalu ada saling hubungan, akan sangat enak berlama-lama saling berkisah – bergurau – dan ngobrol sepuasnya. Biasanya teman-teman ini adalah perantau yang dulunya lahir dan dibesarkan di Indonesia. Kebanyakan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka masih tetap Indonesia yang saya lihat dan rasakan. Dan bahasa Indonesianya sangat baik, malah bahasa Tionghoanya yang agak repot!
Setelah saya kehilangan istri ini – rasanya banyak yang berubah pada diri saya dan pada diri kami bertiga. Sangat berat dan sangat bersusah-hati. Biasanya kami lengkap berempat. Kini kurang satu – dan yang kurang itu justru yang paling pokok buat rumahtangga dan lebih-lebih buat anak-anak saya yang sedang sangat membutuhkan kasih sayang mamanya. Akan sangat terasa sunyi-sepi pabila saya pulang ke rumah dan ketika sore menjelang senja. Biasanya Wati akan selalu di ruangan-tengah dan dapur. Dan dia menyirami bunga-bunganya yang dalam pot yang dipajangnya di sepanjang bibir-jendela dan koridor aparteman kami. Semua bunga-bunga kesayangannya. Mawar yang berwarna-merah-merona – mewangi semerbak – gladiol – magnolia – sedapmalam – anggrek Thailand dan beberapa lagi. Belum tumbuh-tumbuhan dan dedaunan yang saya tak tahu apa namanya – dan bukan bunganya yang jadi perhatian – tetapi dedauan yang aneh dan bagus bentuknya. Ada yang bundar seperti daun semangkok – ada yang bersirip seperti sirip ikan dan ada yang bagaikan beledru. Bermacam-macam. Wati sangat asik dan bersemangat buat menyiraminya. Dan kalau dia sedang asik – maka bisa berjam-jam di depan bunga-bunga kesayangannya. Kini bunga-bunga itu kehilangan dewi baik-hatinya. Sudah tidak begitu terawat dengan kasih-sayang seorang ibu. Dan saya tercenung tak menentu rasa ketika melihat semua ini. Ada rasa yang terpendam. Ada rasa yang mau saya lahirkan.
Dan malam itu saya lahirkan apa perasaan saya ketika melihat dan memandangi semua ini.
BUNGA dan AKU
Dulu selalu aku membeli bunga
dipajang di jambangan
di bibir samping jendela
sang pengagum – istriku membelainya dengan kasih
disiram – ditisik – ditilik
begitu dielus tangannya
begitu menjadi berseri
memarak warna – merona puspita
sungguh mengerti dirinya dicintai
tanpa diharap, dewi datang membelai.
Kini bunga-bunga itu kehilangan senyum
kering tak pernah menguntum
setelah ditinggal pergi dewiku
terpacak diam terpaku.
Bila kami berpandangan
di bawah bayangan caya rembulan
di jendela kaca yang sepi itu
kami saling mengangguk
dan lalu menunduk
karena kami sama kehilangan,-
Beijing,- November 1980.-
Pada masa itu saya sangat senang bersendiri – tidak ingin menjumpai siapapun. Dan rasanya ketika itu ada terasa tidak ingin dijumpai siapapun. Saya asik dengan merasakan sepi – sunyi dan sendiri. Banyak temam-teman mencari saya buat mengajak ke rumahnya atau main-main ke mana saja. Tetapi
rasa hati ini – selalu tawar saja. Saya lebih suka membaca buku – lebih suka merenung dan berpikir tentang bagaimana pada akhirnya hidup kami ini. Ketika Wati masih hidup – ada pikiran kami agar kami segera meninggalkan Tiongkok ini. Sudah terlalu lama buat tinggal di Tiongkok lagi. Agar meluaskan bentangan sayap – berkelepaklah mencari kehidupan di negeri lain – mencari pengalaman kehidupan di negeri asing lainnya – ini seandainya belum bisa pulang ke tanahair. Dan ketika itu Wati sudah dalam keadaan tidak sehat. Tetapi
pesannya ketika itu – seadainya aku mati di tanah ini – kalian bertiga haruslah meneruskan “mencari kehidupan di negeri asing lainnya” sementara belum bisa pulang ke kampunghalaman – begitu pesannya,-